Manusia, Kota, dan Makna Kerja: Membaca Ketenagakerjaan di Bekasi dari Banyak Wajah
Oleh: Gorby Saputra
Pendahuluan: Kota yang Tak Pernah Sepenuhnya Tidur
Bekasi bukan sekadar kota penyangga Jakarta. Ia adalah ruang hidup yang mencerminkan denyut ekonomi nasional: padat, produktif, penuh kontradiksi. Di balik hiruk-pikuk industri, perumahan, dan jalan tol yang tak pernah sepi, tersimpan pertanyaan mendasar: apa makna kerja bagi manusia hari ini?
Dan lebih jauh: apakah manusia bekerja untuk hidup, atau hidup untuk bekerja?
Untuk memahami itu, Bekasi memberi contoh yang kompleks—karena ia adalah laboratorium sosial antara filsafat manusia, sejarah agraris yang berubah industrial, dan teknologi yang mengubah wajah kerja dari generasi ke generasi.
Kata Kunci: Ketenagakerjaan Bekasi, kerja manusia, perubahan sosial, industrialisasi, kebahagiaan kerja, budaya produktivitas, teknologi digital.
1. Filsafat Manusia dan Hakikat Kerja
Dalam pandangan klasik, seperti yang dijelaskan Karl Marx, kerja adalah ekspresi eksistensi manusia. Namun dalam konteks Bekasi modern, kerja sering kali berubah menjadi rutinitas bertahan hidup. Para pekerja di pabrik Cikarang atau Tambun mungkin tidak lagi “mengungkapkan dirinya” lewat kerja, melainkan “menggadaikan waktunya” demi stabilitas ekonomi.
Filsafat manusia mengajarkan bahwa kerja seharusnya mewujudkan martabat, bukan menindasnya. Tapi di kota industri seperti Bekasi, martabat manusia sering diukur lewat upah, bukan makna. Di sinilah paradoks lahir: kerja yang mestinya membebaskan, justru membelenggu.
2. Dari Sawah ke Pabrik: Pergeseran Sejarah Agraris ke Industrial
Dua dekade lalu, lahan Bekasi masih dikuasai sawah dan ladang. Kini, kawasan seperti MM2100, Jababeka, dan EJIP menggantikan lanskap itu dengan dinding beton, suara mesin, dan barisan pekerja berseragam.
Transformasi ini bukan sekadar ekonomi, tetapi pergeseran nilai.
Dulu, kerja diartikan sebagai bagian dari alam dan kebersamaan. Kini, ia adalah bagian dari sistem dan target produksi.
Pergeseran ini juga menciptakan kelas sosial baru: buruh migran urban, kontraktor, hingga generasi muda pekerja start-up yang hidup di tengah ketidakpastian fleksibilitas kerja digital.
3. Dimensi Psikologis: Dari Harapan ke Keletihan
Secara psikologis, kerja di Bekasi tidak hanya fisik tetapi emosional. Sebelum bekerja (pra), individu membawa harapan—status, stabilitas, dan keluarga yang terjamin. Ketika bekerja, muncul tekanan, target, lembur, dan rasa kehilangan waktu pribadi. Setelah bekerja (pasca), kelelahan dan alienasi sering menjadi warisan sunyi.
Banyak penelitian (seperti riset LIPI 2023) menunjukkan bahwa burnout meningkat hingga 46% di kalangan pekerja industri di Jabodetabek, terutama yang hidup jauh dari pusat rekreasi, lingkungan hijau, dan waktu keluarga.
Kerja tak lagi hanya tentang hasil, tetapi tentang kehilangan diri di dalam proses.
4. Budaya Kerja: Antara Kolektivitas dan Individualisme
Kebudayaan Bekasi menyimpan dua arus besar: nilai gotong royong dari masyarakat agraris dan etos individual kompetitif dari masyarakat urban. Keduanya kini bertabrakan. Di pabrik, kerja adalah kolektif—namun penghargaan dan promosi bersifat individual.
Budaya “kerja keras” kadang berubah menjadi “kerja tanpa batas”. Sementara di sisi lain, muncul gerakan kecil—komunitas kopi, bengkel kreatif, UMKM—yang mencoba memulihkan makna kerja sebagai ruang ekspresi dan kebersamaan.
5. Pendidikan dan Jarak Antar Generasi
Bekasi kini memiliki universitas, SMK, dan lembaga pelatihan vokasi. Namun banyak pekerja masih merasa pendidikan tidak menjamin kesejahteraan.
Masih ada jarak antara pendidikan yang diajarkan dan kompetensi yang dibutuhkan industri.
Laporan BPS (2024) menunjukkan hanya 27% lulusan SMK di Bekasi yang bekerja sesuai jurusan. Sisanya berpindah bidang, menjadi buruh kontrak atau pekerja informal.
Artinya, pendidikan belum adaptif terhadap perubahan dunia kerja yang cepat—khususnya otomasi dan digitalisasi industri.
6. Harapan dan Kelayakan Hidup
Kelayakan hidup diukur bukan hanya dari upah minimum (UMK Bekasi 2025 sekitar Rp5,2 juta), tapi dari rasio antara penghasilan dan pengeluaran hidup dasar. Banyak keluarga pekerja yang mengaku gajinya habis untuk biaya kontrakan, transportasi, dan pendidikan anak.
Harapan hidup finansial pun sering terasa seperti utopia yang jauh.
Namun, dari sisi lain, muncul fenomena adaptif: pekerja muda membangun usaha sampingan digital—dari reseller e-commerce, ojek daring, hingga konten kreator lokal. Mereka mencari “kebebasan finansial” di luar sistem formal.
7. Kebahagiaan dan Kesejahteraan Mental
Apakah warga Bekasi bahagia?
Survei BPS (2023) menempatkan indeks kebahagiaan Bekasi di angka 70,35, sedikit di bawah rata-rata nasional. Angka ini menunjukkan ketegangan antara produktif tapi lelah.
Kesejahteraan fisik tidak otomatis melahirkan kesejahteraan mental. Banyak pekerja kehilangan waktu sosial, waktu keluarga, bahkan waktu tidur. Bekasi menjadi kota yang bekerja keras, tapi sulit beristirahat.
8. Tata Ruang dan Tata Kota: Antara Efisiensi dan Alienasi
Bekasi tumbuh cepat, tapi tidak selalu teratur. Perumahan mewah berdampingan dengan kampung padat; tol dan mal berdiri di atas lahan bekas sawah.
Transportasi seperti KRL, LRT, dan tol memang memudahkan mobilitas kerja, tapi juga memperlebar jarak sosial.
Warga dari klaster modern hidup dengan ritme berbeda dari pekerja kontrakan di gang sempit.
Tata kota belum sepenuhnya menimbang psikologi ruang manusia—bagaimana manusia butuh keseimbangan antara produktivitas dan kedekatan sosial.
9. Pola Pikir dan Nalar Masyarakat Kerja
Banyak warga masih menilai kerja sebagai simbol status: ASN, karyawan tetap, atau pegawai bank lebih dihormati daripada pedagang kaki lima, padahal keduanya sama-sama menopang ekonomi kota.
Pandangan ini membentuk nalar sosial yang mengukur nilai manusia dari profesi, bukan dari kontribusi atau kebahagiaannya.
Namun generasi muda mulai menggugatnya. Mereka memilih kerja fleksibel, digital, dan bermakna personal, walau berisiko finansial. Ini bentuk redefinisi kerja yang muncul secara alami.
10. Regulasi dan Peraturan Daerah
Pemda Bekasi memiliki berbagai regulasi ketenagakerjaan, dari pengawasan upah, jam kerja, hingga penyediaan BLK (Balai Latihan Kerja). Namun implementasinya sering timpang.
Pengawasan lemah terhadap perusahaan nakal, sementara birokrasi rumit untuk wirausahawan baru.
Ketika hukum berpihak pada modal, pekerja sering harus melindungi diri lewat serikat buruh—meski dengan segala keterbatasan politik.
11. Perspektif Pengusaha dan Investor
Dari sisi pengusaha, Bekasi adalah lahan strategis: dekat Jakarta, akses logistik mudah, tenaga kerja melimpah. Tapi mereka juga menghadapi tantangan: upah tinggi, kemacetan, dan protes buruh.
Investor global menilai Bekasi “efisien tapi rapuh”—produktif, tapi bergantung pada kestabilan sosial.
Di sinilah diperlukan ekosistem kerja yang adil: efisiensi tanpa menindas, investasi tanpa mengorbankan kemanusiaan.
12. Teknologi dan Otomasi
Digitalisasi mengubah segalanya. Robot, AI, dan sistem ERP mulai menggantikan kerja manual.
Sisi positifnya: efisiensi meningkat. Sisi gelapnya: banyak pekerja berisiko kehilangan pekerjaan.
Namun muncul lapangan baru—freelancer digital, e-commerce, logistik, hingga kreator konten.
Teknologi bukan hanya alat, tapi kekuatan yang mendefinisikan kembali arti produktivitas dan identitas kerja.
Lapisan Sosial Lain yang Menentukan
Isu Primordial dan Komunitas Sosial
Di Bekasi, identitas kesukuan (Betawi, Sunda, Jawa, Batak), agama, dan ormas sering memengaruhi rekrutmen kerja, jaringan bisnis, bahkan keamanan lingkungan.
Kadang solidaritas lokal memperkuat jejaring sosial, tapi bisa pula memunculkan eksklusivitas yang menghambat meritokrasi.
Ruang Hidup dan Ketimpangan Akses
Warga yang tinggal di klaster elit dengan akses tol dan LRT tentu berbeda dengan buruh yang tinggal jauh dari pusat kota.
Dekatnya akses terhadap transportasi dan fasilitas publik menciptakan privilege spasial yang berdampak langsung pada efisiensi kerja, kesehatan, dan kebahagiaan.
Keluarga, Usia Produktif, dan Kualitas Mental
Usia produktif (15–64 tahun) mendominasi struktur demografi Bekasi. Namun tekanan hidup perkotaan membuat banyak keluarga kehilangan waktu untuk membangun ikatan emosional.
Anak tunggal sering tumbuh dalam tekanan prestasi; keluarga besar dalam tekanan ekonomi.
Keduanya membentuk pola pikir kerja yang fungsional tapi miskin makna emosional.
Kesehatan, Pajak, dan Biaya Sosial
Kesehatan tubuh dan mental kini menjadi faktor utama dalam produktivitas kerja. Namun biaya kesehatan, transportasi, pajak, hingga kewajiban sosial (iuran RT, sumbangan, kegiatan agama) menekan daya beli dan keseimbangan psikologis.
Kesejahteraan sosial diukur bukan hanya dari penghasilan, tetapi dari proporsi waktu luang dan kualitas hidup sehari-hari.
Status Sosial dan Paradigma Kerja
Masih ada pandangan sempit bahwa kerja ideal adalah 9 jam di kantor, berseragam, bergaji tetap. Padahal ekonomi baru menuntut fleksibilitas, kreativitas, dan inovasi.
Pandangan ini harus dirombak agar kerja tidak sekadar rutinitas, tapi juga ruang aktualisasi manusia.
Penutup: Mencari Arti Hidup di Tengah Mesin Kota
Bekasi adalah cermin manusia modern: hidup di antara harapan dan keletihan, mesin dan makna.
Persoalan ketenagakerjaan di sini bukan hanya soal upah dan lapangan kerja, tetapi tentang cara manusia memaknai dirinya di tengah sistem yang terus berubah.
Solusi tidak tunggal. Ia harus adaptif, reflektif, dan berbasis empati:
pendidikan yang relevan, kebijakan yang manusiawi, ruang kota yang hidup, serta budaya kerja yang memberi ruang bagi kebahagiaan.
Sebab, kota tidak akan benar-benar maju bila manusianya kehilangan makna dari kata paling sederhana: “bekerja.”

Posting Komentar untuk "Manusia, Kota, dan Makna Kerja: Membaca Ketenagakerjaan di Bekasi dari Banyak Wajah"