Konsisten Ideologi Parpol atau Pergeseran Ideologi dalam Parpol ? bagian satu
Terhitung 25 tahun sudah reformasi berjalan gairah perpolitikan di Indonesia kian berkembang, mungkin masih kuat dalam ingatan dulu partai politik sangat tidak berdaya saat berhadapan dengan penguasa karena begitu hebatnya bentuk-bentuk kekuatan kekuasaan pada masa Orde baru yang memang sebagai pengontorol agar senantiasa langgeng dalam menjalankan kekuasaanya. Jika kita kembali mengulas sejarah secara jujur semangat yang teramat bergairah akan hal Ideologi Partai Politik pernah ada pada masa awal kemerdekaan dan itu adalah hasil yang manis dari revolusi panjang suatu negara dalam melakukan perlawanan atas penindasan kolonial.
Perasaan yang sangat teramat
bahagia pada masa itu atas kebebasan politik begitu tergambarkan dengan
kemunculan banyak sekali partai politik beserta identitasnya. Sekali lagi jika
kita mau jujur dalam membaca sejarah yah memang tidak sedikit akan banyak yang
menilai bahwasanya pemilu pertama adalah pemilu yang paling demokratis. Mengapa
bisa demikian? Karena peserta pemilu disertakan asas jujur dan adil yang memang
bisa dikatakan relatif dapat dipertanggung jawabkan itu semua karena yang
berkuasa atau penguasa pada masa itu dapatlah dikatakan belum mempunyai ragam
macam pola untuk bisa mempengaruhi jalannya pesta demokrasi.
Sebagai kaca benggala hal seperti
itu dengan kondisi sekarang senantiasa menjadi persoalan tersendiri dan sudah
tentu ada celah bagi siapapun yang berkuasa sangat mungkin dapat mempengaruhi
tatanan pemilu, dengan cara semisal melakukan pergornisasian yang teramat
sistematis untuk mencari pangsa ceruk suara agar bisa memilih partai
penguasa,terlebih dengan cara money politic,membuat pola seakan permainan data
pemilih hingga bermain-main dalam mengatur pihak penyelenggara pemilu demi
memenangkan para kandidat di level legislatif.
Dari sini dapat kita pahami
bagaimana catatan sejarah menjadi pelajaran berharaga pada saat pemilu di tahun
1955 dan diikuti sebanyak 171 partai politik,bukankah itu sudah bukti betapa
bahagianya kebebasan berpolitik yang memang faktanya betul-betul terjadi
setelah sekian lama terbelenggu karena penjajahan.
Belenggu Orde baru terhadap partai politik
Tidak sedikit dari kita memoar
ingatan bagaimana Orde baru sangat berperan penuh dalam mengontrol Partai
politik yang memang hanya dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan saat itu
agar bisa mempertontonkan kepada dunia internasional bahwasanya Indonesia masih
taat dalam menjalankan asas-asas demokrasi, seakan itu cara yang lumrah
dipertunjukan partai politik adalah salah satu pilar sebagai simbol memang
demokrasi masih berjalan di negara saat itu. Meskipun pada faktanya bagi mereka
yang sangat memahami tradisi-tradisi di negara demokrasi kondisinya partai
sangat tidak berdaya saat head to head dengan penguasa. Bahkan partai politik
juga tidak mampu memainkan tupoksinya sebagai alat kontrol terhadap penguasa.
Lebih dari itu partai politik tidak lagi menjadi alternatif untuk masyarakat agar ada perubahan. Contohnya ada partai yang bukan non beringin seperti PPP dimaknai hanya sebagai partai pelengkap pembangunan,sedangkan PDI dikatakan dengan julukan partai damai itu indah. Dan pandangan itu dinilai sangat wajar karena partai yang ada tidak punya kekuatan agar bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang berkuasa pada saat itu. Loh kok bisa? Jujur pada ingatan sejarah memang pahit karena bagaimana tidak penguasa di masa orde baru punya kekuatan hebat dalam mengendalikan partai-partai yang ada.
Bahkan bisa mempengaruhi untuk
pemenangan para elite partai yang sangat bisa bersikap menyesuaikan diri dalam
tata pergaulan politik agar bisa menjadi ketua umum partai. Pernah terjadi pada
kasus partai demokrasi indonesia yang memang menjadi contoh sejarah paling
jelas, dan acap kali terjadi konflik di tubuh partai tersebut terus berulang,
itu dapat dikatakan cipkon (cipta kondisi) atau rekayasa dari pemerintah
melalui para aparatnya agar bisa melemahkan partai dan memang dalam hal ini
sampai mencari pengurusnya secara watak sangat akomodatif kepada Soeharto.
Terus menerus konflik dari masa Sanusi Hardjadinata,Hardjanto,hingga Suryadi.
Pasca lengsernya rezim Orde Baru barulah
ada nafas bagi Partai politik untuk bisa menghidupkan atau berkehidupan
politik. Juga ruang untuk bisa berpolitik diberikan melalui undang-undang
sampai bisa membuat partai politik seperti pada masa awal kemerdekaan dengan
jumlah partai politik pada saat itu ada 171 partai politik sebagai peserta
pemilu. Dengan begitu sudah menjadi tanda bahwasanya partisipasi masyarakat
untuk berpolitik tinggi. Karena memang sudah tidak ada lagi pemberlakuan asas
tunggal pancasila sebagai ideologi sehingga dapatlah ruang cukup bebas untuk
masyarakat membuat partai politik yang berbeda.
Angkernya
Ideologi
Kembali haruslah kita membuka
ingatan sejarah yang nan pahit pada masa Orde Baru Ideologi adalah kata yang
angker untuk didengar bahkan dipelajari,karena memang kondisi sangat tidak
diperbolehkan ada ideologi lain selain Pancasila. Perlu ditegaskan serta
diketahui sebagai pengetahuan bahwasanya ideologi berasal dari bahasa latin
yang terdiri dari dua kata, yaitu ideo artinya; logis atau logika, ilmu
pengetahuan. Maka dapat didefinisikan ideologi merupakan ilmu mengenai
keyakinan dan cita-cita. Dalam pengertian luas ideologi sebagai suatu sistem
sebaran ide, kepercayaan yang membentuk sistem nilai serta norma hingga
peraturan ideal yang dapat diterima sebagai fakta sekaligus kebenaran oleh
kelompok tertentu.
Lebih luas lagi menggali bagaimana mencirikan ideologi kita akan menemukan jawaban pertama ideologi politik berkaitan dengan pertanyaan siapa yang akan menjadi pemimpin? Bagaimana mereka dipilih, dengan prinsip-prinsip apa nantinya mereka memimpin? Sudah tentu akan sangat membutuhkan faktor-faktor sebagai bahan pertimbangan seperti sisi religiusitasnya,jiwa sosialnya,jumlah kekayaanya,kemampuan akademiknya,sampai fisik atau penampilanya,suku hingga etnisnya jenis kelaminya laki-laki atau perempuan. Dan bagaimana cara mendapatkan pemimpin kriteria tersebut? Semakin melebar faktor keturunan perlu dipersoalkan atau tidak?
Kedua ideologi juga mengandung banyak sekali argumen untuk persuasi atau melawan (counter) ide-ide berlawanan. Ketiga ideologi teramat sangat bisa mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan manusia,aspek ekonomi,pendidikan,kesehatan,kesejarteraan,dan lain sebagainya. Keempat, ideologi sangat terkait dengan hal-hal penting dalam kehidupan sosial, baik mengajukan program ataupun menentangnya.
Dalam ideologi tersebut terdapat ide-ide ataupun gagasan bagaimana masyarakat hidup dan diatur oleh norma-norma yang diyakini maka hal ini dijadikan landasan dalam menyusun rencana berupa kebijakan ataupun program yang tepat dan sesuai kepentingan untuk masyarakat tersebut.
Di lain pihak dengan ide-ide tersebut dapat juga dijadikan dasar untuk merespon dan bahkan menentang tatkala muncul kebijakan-kebijakan yang dirasa membahayakan atau merugikan dari tatanan masyarakat yang dicita-citakan. Kelima, ideologi mencoba merasionalisasikan kepentingan kelompok sehingga kepentingan tersebut sangat beralasan dan layak diperjuangkan.
Hal ini berkaitan dengan ciri yang keempat, dengan adanya ide/gagasan atau cita-cita tatanan masyarakat yang diinginkan yang didalam menyangkut masalah ekonomi atau kesejahteraan masyakat banyak maka hal tersebut dijadikan landasan yang mantap untuk melindungi atau mempertahankan masyarakat yang memang manjadi basis. Keenam, ideologi berisikan hal-hal yang bersifat normatif, etis, dan moral. Setelah panjang lebar paparan diatas yang agak menjemukan untuk dibahas meskipun sangat penting diketahui sebagai pelajaran bahwasanya ideologi adalah suatu tatanan masyarakat yang didalamnya terkandung sistem ekonomi,politik,sosial dan budaya serta cita-citakan oleh individu,kelompok,golongan atau masyarakat luas sehingga menjadi landasan dalam bertindak.
Kontestasi
Ideologi Partai Politik Di Indonesia
Sebetulnya ada
kata lain yang lebih tepat atau kata lain dari sub judul diatas yaitu
Positioning Ideologi Partai Politik di Indonesia. Yang memang patut di ketahui dan
dirasa harus dipelajari dengan cermat serta nan bijak dengan begitu kita juga
akan berupaya menarik memoar ingatan ideologi partai politik serta fenomenanya pasca
pemilu 2004 sampai 2019. Mari kita coba kupas dari pasca pemilu 2004-2009 akan
hal tersebut.
setidaknya
menunjukkan terjadinya pragmatisme politik yang ditandai dengan krisis
identitas, dan kaburnya ideologi partai-partai politik di Indonesia. Hal
demikian membuat arah perjuangan partai tidak jelas dan sulit membedakan partai
satu dengan yang lainnya. dalam kondisi yang berkembang seperti itu, partai
politik menjadi sangat pragmatis, dikarenakan tidak lagi melibatkan masalah
ideologis. yang ketat sehingga faktor atau perdebatan ideologi semakin mengikis
dan kabur. Di samping itu juga, basis ideologi yang semakin luntur pemaknaannya
oleh partai dan/atau elitenya, dikarenakan mereka lebih memfokuskan pada
bagaimana meraih kekuasaan dan memenangi pemilu. Sehingga dalam situasi seperti
ini, menurut Kirchheimer akan menimbulkan fenomena pergeseran yang mendasari
proses transformasi kepartaian dari partai ideologis ke bentuk catch-all party.
Lahirnya
konsep catch-all party, sebenarnya didasari oleh kajian Downs tentang
perspektif perilaku rasional. Ia berpendapat bahwa semakin modern suatu
masyarakat, maka akan semakin mengutamakan prinsip-prinsip pragmatisme dan
rasionalitas. Oleh karena itu, kehadiran catch-all party untuk menawarkan suatu
program dan kebijakan umum, bukan menawarkan persoalan ideologis. Oleh karena
itu, posisi dan fungsi partai politik mengalami perubahan fundamental dan
mencairkan ketegangan antara “kubu kiri” dan “kubu kanan”. Format partai ini
juga menerima pluralisme, bersikap inklusif, dan non-sektarian serta lebih mengedepankan
pengembangan secara horizontal, menampung berbagai isu dan agenda dari berbagai
kalangan di masyarakat.
Lalu
pertanyaan yang muncul adalah apakah pergeseran positioning partai ideologis ke
bentuk catch-all party merupakan suatu keharusan? Dalam prakteknya, pergeseran
positioning ideologi partai-partai mendapatkan kritik tajam. Pertama konsepsi
catch-all party tentang pragmatisme dan rasionalitas yang bertumpu pada model
untung-rugi (ibid) telah menciptakan inkonsistensi tindakan partai dalam program
dan kebijakan. Partai bersangkutan lebih mengutamakan tujuannya memenangkan
setiap kontestasi politik. Ditambah lagi dengan dalil Downs yang menyatakan
bahwa suatu partai dan elitenya harus memiliki keluwesan kebijakan untuk
bergerak ke KiriKanan, demi mencapai hasil yang maksimum. Menanggapi hal ini,
publik merespons keras atas sikap partai politik dan elitenya. Berdasarkan
survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2009, tingkat kepercayaan publik
terhadap partai politik mencapai angka terendah yaitu 36% dibandingkan dengan
lembaga lainnya. LSI juga merilis hasil temuannya tentang “Party
Identification”, yaitu masyarakat (pemilih) Indonesia yang mengidentifikasikan
dirinya dengan partai politik hanya berjumlah 20%. Bahkan berdasarkan survei
mutakhir (Desember 2013) dari Lembaga Survei Cirus didapatkan fakta bahwa hanya
9,4% masyarakat yang masih percaya terhadap partai politik. Riset menarik juga
dihadirkan oleh Johnson dalam tulisannya “AntiParty Reaction in Indonesia” yang
mencoba melakukan konfirmasi mengenai reaksi anti-partai di Indonesia. Dalam
studinya itu, fenomena reaksi anti-partai yang tak terkendali menimbulkan
delegitimasi terhadap partai dan demokrasi. Hal itu disebabkan karena
pragmatisme politik yang melanda partai-partai politik di Indonesia.
Kritik kedua
atas bentuk catch-all party adalah pereduksian ideologi partai politik. Pada
konteks ini, partai dan elitenya diperbolehkan berpolitik tanpa alur, tanpa
distorsi ideologis dan tanpa memerdulikan ideologi. Padahal seharusnya, ideologi
menjadi code of conduct bagi partai, elite dan kadernya. Tanpa dasar ideologi,
suatu partai tidak dapat membuat patokan interpretasi dan evaluasi. Apabila hal demikian terjadi, maka
fungsi memberikan.
referensi
kepada masyarakat yang seharusnya dilakukan oleh partai sebagai institusi,
malah dipegang oleh elite sebagai individu. Pada akhirnya format catch-all
party justru melahirkan rejim yang tidak demokratis. Bagaimanapun, dinamika
pergeseran positioning ideologi partai-partai ke arah tengah atau berubah ke
bentuk catch-all party, berdampak negatif bagi sistem kepartaian di Indonesia.
Di samping partainya kehilangan jati diri, masyarakatnya pun akhirnya menjadi
apatis bahkan antipati terhadap partai. Dan dalam kasus ini, janganjangan
partai-partai peserta pemilu 2014, tidak sadar telah mengalami dan/atau
melakukan pergeseran positioning ideologinya. Oleh karena itu, penulis menilai
penting untuk menggambarkan secara gamblang dinamika pergeseran positioning
ideologi masing-masing partai. Berangkat dari pendahuluan yang sudah penulis
paparkan di atas, maka rumusan penelitian ini adalah: (1) Bagaimana peta
ideologi partaipartai politik peserta pemilu 2014? (2) Bagaimana gambaran pergeseran positioning
ideologi partai-partai dalam pemilu 2014?.
Dengan demikian kita akan terkonsentrasi pada positioning ideologi para parpol dalam kontestan pemiu 2014. Lebih dari itu kita juga membutuhkan diskursus mengenai pemetaan ideologi Partai Politik di Indonesia. Kajian pemetaan ideologi partai-partai politik di Indonesia, sudah sepatutnya mengacu pada karya-karya tokoh sebelumnya seperti Herbert Feith dan Lance Castle, Daniel Dhakidae dan Kevin Raymond Evans, yang menyajikan gambaran dan skema menarik tentang pemetaan ideologi partaipartai politik di Indonesia yang antara satu tokoh dengan tokoh lainnya memiliki perbedaan khas masing-masing. Feith dan Castle yang memfokuskan kajiannya pada fenomena kemenangan 4 partai politik di pemilu 1955 mencoba memetakan ideologi –istilah mereka “aliran pemikiran politik”– ke dalam lima macam: Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme-Demokratis dan Komunisme. Pembagian tersebut menggambarkan aliran-aliran dalam kaitannya dengan ketegangan antara warisan-warisan tradisional khusus serta kaitannya dengan dunia modern, terutama dunia Barat dan ide-idenya. Feith dan Castle melihat bahwa ada sifat ganda warisan-warisan tradisional Indonesia. Fakta bahwa tradisi Jawa yang lebih tua serta terjalin erat dengan tradisi Hindu dan Budha terpisah jelas dari Islam. Sementara itu pengaruh ideologis yang diambil dari dunia Barat tidak menunjukan perbedaan tajam. Pengaruh yang paling kuat adalah Marxisme, baik dalam bentuk Leninisme maupun Sosialisme-Demokratik, sedangkan pengaruh demokrasi liberalnya jauh lebih lemah. Lihat gambar di bawah ini.
Partai
Komunis Indonesia (PKI) menurut Feith dan Castle merupakan partai dengan
ideologi Komunis yang memiliki kesan kuat dalam memutuskan ikatan dengan masa
lalu, dan mengambil konsep pemikiran –secara langsung maupun tidak langsung–
berasal dari Barat, sekalipun mereka masih menggunakan himbauan dari corak
abangan tradisional dan sejenisnya. Ideologi Sosialisme-Demokratis
(SosDem) begitu mengakar dalam tubuh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Meskipun
demikian tidak sedikit elite Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi yang
juga terpengaruh oleh gagasan dari kelompok SosDemo tersebut. Sementara itu,
Nahdhatul Ulama (NU) dan Masyumi menjadi representasi politik dari corak pemikiran
Islam. Namun, kedua partai tersebut berbeda dalam mengekpresikan keIslam-annya.
NU adalah partai Islam yang akomodatif dan relative terpengaruh oleh pemikiran
tradisionalisme Jawa.
Sementara
Masyumi adalah partai Islam yang memiliki kecenderungan reformis dan modernis.
Sedangkan Tradisionalisme Jawa tercermin dalam diri Partai Indonesia Raya (PIR)
yang bersifat ningrat. Nasionalisme Radikal terutama sekali direpresentasikan
oleh PNI. Bagian ini merupakan perpaduan antara Tradisionalisme Jawa, Sosialisme
Demokratik dan Komunisme. Sementara itu, dalam konteks pemilu 1999, pemetaan
ideologi partai-partai politik coba ditawarkan oleh Daniel Dhakidae dengan
membagi partai ke dalam dua jalur utama: Jalur Kelas dan Aliran. Dhakidae
berpendapat bahwa partai yang mengambil Jalur Kelas membedakan dirinya
berdasarkan pandangan terhadap modal, yang membagi masyarakat atas kelas
pemilik modal dan kamu buruh dengan segala kompleksitasnya.
Pada jenis
ini, dipilah menjadi dua kelompok yaitu Developmentalisme dan Sosialisme
Radikal. Developmentalisme merupakan kelompok yang berpihak kepada pemodal
asing dan/atau domestik, melihat indikator itu, Dhakidae menegaskan bahwa
Partai Golkar masuk dalam kelompok tersebut. Selanjutnya kelompok sosialisme
demokratik yang berpihak pada kaum buruh, mengarah pada partai-partai progresif
di antaranya Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Sedangkan,
partai yang mengambil Jalur Aliran membedakan dirinya berdasarkan pandangan
terhadap dunia dan persoalannya, dan bagaimana cara memecahkannya. Pada jenis
ini, partai-partai dipilah menjadi dua kelompok juga yaitu Kelompok Agama dan
Kelompok Kebangsaan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masuk dalam kategori
kelompok agama. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi
kelompok berbasis kebangsaan.
Dalam pemetaan
di atas, Dhakidae berbeda dengan Feith dan Castle, terutama dalam menentukan
sumber pengaruh ideologi. Apabila Feith dan Castle memasukkan tradisi
Jawa–Hindu dan tradisi Islam sebagai pembentuk ideologi, sejajar dengan pengaruh
pemikiran Barat, Dhakidae mengesampingkan pengaruh tradisi tersebut. Baik
variable agama, kebangsaan, developmentalisme, dan sosialisme, dalam kacamata
Dhakidae kesemuanya adalah pengaruh dari Globalisme Penjelasan lain tentang
pemetaan kepartaian di Indonesia disampaikan oleh Kevin Raymond Evans. Melihat
kondisi yang ada, Evans memilah garis ideologis partai politik di Indonesia
secara sederhana dengan membagi dua kategori ideologi, yaitu Islam dan Sekuler
yang ditempatkan dalam sumbu horizontal, sementara dalam sumbu vertikal menjadi
dua kategori, yaitu Elitis dan Populis Pada garis ideologis, Evans menyatakan
bahwa spektrum sosial Indonesia terbagi atas kalangan “kiri” atau sekuler dan
“kanan” atau agama, dengan pembeda paling dasar bagaimana menempatkan agama
dihadapan negara. Kalangan sekuler adalah keseluruhan entitas yang menolak
pengkhususan terhadap entitas agama, khususnya Islam, dalam hubungannya dengan
negara.
Sementara itu,
kalangan agama adalah mereka yang mendukung transformasi agama dalam negara.
Menelisik pemilu tahun 1999, PDI-P merepresentasikan entitas sekuler atau kiri,
sedangkan PPP, PBB dan partai Islam lainnya merepresentasikan entitas agama
atau kanan. Sementara belahan sumbu vertikal menggambarkan ikatan para elite
partai terhadap konstituennya. Alhasil, terpilah menjadi konsentris elitis dan
populis. Pada sisi elitis, menyatakan bahwa pertimbangan terhadap posisi
kebijakan lebih utama dibandingkan pertimbangan atas loyalitas pribadi dan
identifikasi kepada pimpinan nasional partai. Contohnya Partai Golkar dan PAN.
Sementara itu pada sisi populis menyatakan bahwa ikatan dengan partai politik
lebih bersifat emosional dan simbolik terhadap perumusan kebijakan-kebijakan.
Contohnya PKB dan PDI-P. Pemilu 2014 masih akan mengikuti model pluralisme
ekstrem ditandai dengan 12 partai politik peserta pemilu nasional dan 3 partai
lokal. Lalu pertanyaan yang muncul adalah bagaimana peta ideologi partai-partai
pada pemilu kali ini? Ideologi partai politik tercermin dalam berbagai ranah,
baik kebijakan dan perilaku kebijakan, maupun dokumen partai. Dalam tulisan
ini, basis pemetaannya adalah dokumen normatif partai-partai politik, khususnya
AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) masing-masing partai politik.
Pemetaan
ideologi partai dapat dilakukan dengan menelaah AD/ART partai politik. Khusus
pada konteks Indonesia, pembilahan dapat dilakukan dengan melihat posisi partai
dalam kaitannya dengan hubungan antara agama dengan negara. Dalam pemetaan
partai-partai politik di Indonesia, kajian yang telah disuguhkan oleh Dhakidae
dan Evans memiliki persamaan dan juga perbedaan. Persamaanya adalah memetakan
garis pertentangan ideologis nasionalis dengan Islam.
Sedangkan perbedaanya adalah pada penentuan sisi lainnya, Dhakidae menyuguhkan pada pengelompokkan Developmentalisme dan Sosialisme Radikal, sedangkan Evans menyajikan perbedaan antara elitis dan populis. Untuk kebutuhan dalam tulisan ini, maka kita juga akan mengetahuinya dengan cara menggunakan pemetaan garis berdasarkan pertentangan ideologis tanpa menggunakan variabel lain seperti yang telah ditawarkan oleh Dhakidae –berlandaskan kelas– maupun Evans –berlandaskan relasi elite dengan konstituennya–. Berikut di bawah ini tabel pemetaan ideologi partai-partai politik peserta pemilu 2014.
Dalam hal ini
mari kita coba diskusikan peta pergeseran positioning ideologi partai-partai
politik peserta pemilu 2014. Sebelum melihat fenomena tersebut, penting
meletakkan di mana positioning awal ideologi masing-masing partai. Oleh karena
itu, tabel 2 yang penulis sajikan di atas, menjadi pegangan dan landasan utama
dalam melihat positioning awal, yang berguna untuk menggambarkan fenomena
pergeseran positioning ideologi partai-partai politik pada pemilu 2014 ini.
Dalam membaca fenomena pergeseran positioning ideologi partai-partai politik,
hal demikian sudah jauh hari disampaikan oleh Anthony Downs. Downs menyatakan
bahwa setiap partai-partai yang berkontestasi dalam pemilu, memiliki daya
mobilitas yang tinggi untuk melakukan pergeseran positioning ideologinya. contohnya
membuat kebijakan dengan menabrak atau mengenyampingkan rambu-rambu ideologi
partainya. Hal itu dimotivasi pilihan rasional (rational choice) untuk mendapat
keuntungan yang besar pada momentum tersebut. Bahkan, partai-partai dapat
dengan mudah menempatkan diri di titik manapun dalam kontinum positioning
ideologinya, dengan maksud dan tujuan menarik simpati pemilih
sebanyak-banyaknya. Partaipartai melakukan hal itu, dikarenakan para elitenya
tidak terlalu peduli soal ideologi partai atau bagaimana seharusnya partai yang
ideologis itu bertindak. Mereka lebih dimotivasi oleh keinginan untuk memeroleh
keuntungan pribadi dan jangka pendek.
Dengan begitu memetakan
pergeseran positioning ideologi partai-partai politik peserta pemilu 2014
dengan membedakan tiga pola pergeseran positioning ideologinya, yaitu
Konservatif, Konservatis Progresif dan Ekstremis. Namun demikian pola-pola
tersebut, hanya berlaku pada partai dengan positioning ideologi “Kiri” atau
“Kanan”, sedangkan positioning “Tengah” tidak mengalami pergeseran karena
berada pada comfort zone sebagai cacth-all party. Berikut matriks tiga pola
pergeseran positioning ideologi partai-partai politik.
Pertama, Pola
Konservatif, yaitu suatu partai yang tidak melakukan pergeseran positioning
ideologinya. Pola ini penulis sebut juga sebagai pola Status Quo, dikarenakan
partai politik dalam posisi ini, sangat kuat memegang teguh asas ideologinya
dan sangat konservatis atas status qou partainya. Partai Islam dalam posisi ini
sangat menolak sekulerisasi negara, begitu pula halnya dengan Partai Nasionalis
Sekuler sangat menolak gagasan Islamisasi negara. Baik Partai Islam maupun
Partai Nasionalis Sekuler sama-sama memperjuangkan tegaknya negara ideal menurut
pandangan masing-masing, Partai Islam menghendaki Indonesia menjadi negara
Islam, sedangkan Partai Nasionalis Sekuler ingin menjadikan Indonesia sebagai
negara yang benar-benar sekuler. Demikian berlanjut dengan pertentangan yang
keras antar keduanya, Partai Islam dalam posisi ini akan menentang berdirinya
Negara Sekuler, dan Partai Nasionalis Sekuler akan menentang berdirinya Negara
Islam. Dalam pola ini, baik Partai Islam maupun Partai Nasionalis Sekuler
sama-sama bersifat eksklusif terdapat keanggotan (kader), pengurus partai, dan
calon anggota legislatif (caleg). Misalnya, Partai Islam dalam posisi ini tidak
akan menerima keanggotan non-muslim, apalagi duduk sebagai pengurus dan menjadi
caleg. Begitu juga dengan Partai Nasionalis Sekuler, tidak akan menjadikan seorang
muslim yang “radikal” sebagai anggota, pengurus apalagi calegnya. Selain itu,
ciri dari pola ini berdasarkan pembentukan aliansi atau koalisi, Partai Islam
dengan tipikal Konsertavif tidak akan bersedia beraliansi atau berkoalisi
dengan Partai Nasionalis Sekuler, begitu juga sebaliknya. Dalam konteks pemilu
2014 ini, kita tidak menemukan partai-partai yang dapat dimasukkan dalam
pola ini.
Kedua, Pola Konservatis Progresif, yaitu suatu partai yang melakukan pergerakan atau pergeseran positioning ideologinya namun tidak begitu ekstrem. Partai dengan pola ini diduga menghendaki pergeseran positioning ideologinya karena ingin melakukan kompromisasi ideologi atas konstelasi politik yang berkembang untuk kepentingan partai dan/atau elitnya. Peran ideologi bagi partai dalam pola ini diminimalisasi namun tidak dihilangkan begitu saja. Contohnya, seperti Partai Islam tidak total (setengah hati) memperjuangkan tegaknya negara Islam, begitu pula Partai Nasionalis Sekuler tidak total (setengah hati) mewujudkan negara sekuler.
Dalam pola ini, Partai Islam maupun Partai Nasionalis Sekuler sudah mulai inklusif (terbuka) terhadap keanggotaan partai, pengurus dan calegnya. Partai-partai Islam akan menerima dengan senang hati keanggotaan non-muslim di dalam partainya dan memperbolehkannya menjadi caleg dari partai Islam ini. Namun non-muslim ini tidak dapat menjadi pengurus struktural di partai yang bersangkutan. Sedikit berbeda dengan Partai Nasionalis Sekuler, mereka akan menerima keanggotaan seorang muslim “radikal” namun tidak akan menjadikannya sebagai pengurus dan caleg partai yang bersangkutan. Dalam pembentukan aliansi atau koalisi, partai-partai dalam posisi ini terbuka koalisi dengan partai-partai yang berbeda ideologi namun dengan batasan yang ketat. jadi kita dapat mengkategorikan PKS dan PDI-P sebagai partai yang melakukan pergeserakan positioning ideologi pada pola Konservatis Progresif. Ketiga, Pola Ekstremis, yaitu suatu partai yang melakukan pergerakan atau pergeseran positioning ideologinya dengan ekstrem ke tengah dan/atau berubah bentuk menjadi catch-all party. Partai dengan pola ini melakukan reduksi (pengenduran) atas ideologi partainya sendiri. Oleh karena itu, positioning ideologi partai-partai tidak jelas alias kabur.
Dalam pola ini, Partai Islam sangat total tidak memperjuangkan tegaknya negara Islam, begitu pula Partai Nasionalis Sekuler sangat total tidak ingin mewujudkan negara sekuler. Partai Islam maupun Partai Nasionalis Sekuler sudah cukup inklusif (terbuka) terhadap keanggotaan partai, pengurus dan calegnya. Partai-partai Islam menerima keanggotaan, pengurus, dan caleg dari non-muslim, namun masih terdapat batasan mengenai penerimaan di kepengurusan pada tingkat Dewan Pengurus Pusat (DPP), mereka (non-muslim) hanya dapat menduduki jabatan kepengurusan struktural di tingkat lokal, dan itupun di daerah yang muslimnya minoritas. Dalam pembentukan aliansi atau koalisi, partai-partai dalam posisi ini terbuka koalisi dengan partai-partai yang berbeda ideologi tanpa batasan apapun. Misalnya, partai-partai Islam terlihat mengalami pereduksian ideologi. Partai dijadikan sekedar kendaraan bagi para elitenya dalam meraih jabatan-jabatan publik. Partai-partai peserta pemilu 2014 yang masuk dalam kategori pola ini adalah PPP, PBB, PKB, PAN, Gerindra, dan PKPI. Berdasarkan paparan di atas, mari kita lihat skema pergeseran positioning ideologi partai-partai politik pada pemilu 2014 di bawah ini.
Telah kita lihat bagaimana skema diatas menunjukkan bahwa partaipartai yang berada pada sisi “Kiri” (Nasionalis-Sekuler) maupun “Kanan” (Islam) mengalami pergeseran positioning ideologinya ke arah tengah. Namun, tidak demikian dengan partai “Tengah” (Cacth-all Party). Pada gambar di atas, terdapat angka 3 (tiga) yang menandakan positioning ideologinya berpola Konservatif, yang mempertahankan status qou partainya sebagai partai ideologis. Dalam konteks pemilu 2014 ini, penulis tidak mendapatkan partai yang cocok untuk masuk dalam kategori ini. Pada angka 2 (dua), menunjukkan bahwa positioning ideologinya mulai mengalami pergeseran, penulis menyebutnya dengan istilah pola KonservatisProgresif, melakukan pergeseran namun tidak begitu ekstrem, masih terhitung moderat. Seperti ungkapan Mietzner tentang partai politik Islam.
Partai-partai yang masuk dalam
pola ini adalah PKS dan PDI-Perjuangan. Sedangkan, angka 1 (satu) menunjukkan
bahwa suatu partai melakukan pergeseran positioning ideologinya begitu tajam,
oleh karena itu penulis menyebutkan dengan istilah pola Ekstremis. Partaipartai
yang dalam kategori ini adalah PKB, PAN, PBB, PPP, Gerindra dan PKPI. Selaras
dengan itu, Giovanni Sartori mengemukakan bahwa di dalam situasi multipartai
yang begitu terpolarisasi, partai-partai bergerak secara tajam dan ekstrem ke
arah comfort zone –bagi mereka– demi kepentingan dan tujuannya masing-masing.
Maka pada
bagian pertama ini kita sudah mendapatkan kesimpulan i, setidaknya kita dapat
melihat “Bagaimana peta ideologi partai politik peserta pemilu 2014 berdasarkan
AD/ART partainya? Dan bagaimana gambaran pergeseran positioning ideologi-nya
dalam menghadapi pemilu 2014?” Catatan berikut ini merupakan kesimpulan dari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pada pemilu 2014, sistem
kepartaian di Indonesia masih bermodel pluralisme ekstrem, ditandai dengan 12
partai politik peserta pemilu nasional dan 3 partai lokal di Aceh. Dalam
memetakan partai-partai politik, penulis menggunakan pemetaan garis berdasarkan
pertentangan ideologis, Nasionalis-Sekuler versus Islamis yang menghasilkan
tiga variasi ideologi: Pertama, ideologi Pancasila yang berdiri pada garis
ideologis Nasionalis-Sekuler, seperti PDI-Perjuangan, Gerindra, Partai Nasdem
dan PKPI. Kedua, berasas/ideologikan Islam, seperti PKS, PBB, PPP, PKB dan PAN.
Ketiga, berlandaskan pada ideologi Nasionalis-Religius, yang berdiri pada
posisi tengah atau cacth-all party, seperti Partai Demokrat, Partai Golkar dan
Partai Hanura. Berdasarkan pemetaan di atas, penulis menemukan tiga bentuk
pembilahan partai-partai politik dengan melihat jarak ideologis dan positioning
ideologi-nya, yaitu “Kiri” (Nasionalis Sekuler), “Kanan” (Islam) dan “Tengah”
(Cacth-all Party). Dalam menghadapi pemilu 2014 ini, partai-partai politik yang
berada pada sisi “Kiri” (Nasionalis Sekuler) maupun “Kanan” (Islam) mengalami
pergeseran positioning ideologi ke arah tengah. Namun, tidak demikian dengan
partai “Tengah” (Cacth-all Party). Pergeseran positioning ideologi partai dapat
dibedakan menjadi tiga pola yaitu Pertama, Konservatif yang mempertahankan
status quo partainya sebagai partai ideologis. Kedua, Konservatis Progresif melakukan
pergeseran, namun tidak begitu ekstrem, masih terhitung moderat, contohnya PKS
dan PDI-P. Ketiga, pola Ekstremis, di mana partai melakukan pergeseran
positioning ideologi begitu tajam, contohnya PKB, PAN, PBB, PPP, Gerindra dan
PKPI.
Bersambung....
Posting Komentar untuk "Konsisten Ideologi Parpol atau Pergeseran Ideologi dalam Parpol ? bagian satu"