Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Semua Orang Ingin Jadi Content Creator: Mengapa Kita Ingin Di Like tapi Enggan Memberi Like?

 

Ilustrasi Ketika Semua Orang Ingin Jadi Content Creator : Mengapa Kita Ingin Di Like tapi Enggan Memberi Like? Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Ketika Semua Orang Ingin Jadi Content Creator : Mengapa Kita Ingin Di Like tapi Enggan Memberi Like?
Gambar : gorbysaputra.com 

Fenomena "Content Creator untuk Semua": Dari Hobi ke Obsesi Sosial

Pernahkah kamu menghabiskan 30 menit hanya untuk memilih filter Instagram yang aesthetic, lalu menunggu notifikasi like berjam-jam? Atau mungkin, saat melihat TikTok orang lain yang mendadak viral, kamu bergumam: 

"Ah, konten gue lebih bagus, kok yang ini di-like banyak orang?"

Inilah dunia kita sekarang: setiap orang ingin jadi pusat perhatian, tapi enggan menjadi penonton yang baik.

Kita hidup di zaman di mana:

  • Upload story kopi pagi dianggap bukti "aku ada".
  • Jumlah follower dijadikan patokan kesuksesan sosial.
  • Like bukan sekadar apresiasi, tapi alat ukur harga diri.

Tapi di balik layar yang terang itu, ada paradoks yang pelik:

  • "Semua orang ingin di-like, tapi jarang yang mau memberi like."

Kamu pasti pernah mengalami ini:

  • Posting konten tentang perjalanan liburanmu, lalu cemas mengecek notifikasi tiap 5 menit.
  • Saat lihat konten temanmu yang sedang berjuang membangun bisnis, kamu scroll cepat tanpa memberi like—padahal kamu tahu itu penting untuk mereka.
  • Merasa iri ketika ada creator baru yang mendadak viral, tapi diam-diam berharap kontennya flop berikutnya.

"Kenapa ya, kita ingin diperhatikan, tapi sulit sekali memperhatikan orang lain?"

Fenomena ini bukan sekadar soal malas klik tombol hati. Ini tentang krisis validasi digital yang menggerogoti cara kita berelasi. Seolah ada kontrak tak tertulis: 

"Aku boleh exist di linimasa kamu, tapi jangan harap aku mengakui keberadaanmu."

  • Apakah ini pertanda kita semakin individualis? 
  • Atau justru algoritma media sosial yang mengubah empati menjadi komoditas?

"Apa artinya ‘peduli’ di era yang mengajarkan kita untuk selalu bersaing?"

Psikologi di Balik Keinginan Divalidasi tapi Enggan Memvalidasi

Dopamin dan Jerat "Perhatian Sepihak"

  • Otak manusia terprogram untuk mencari imbalan instan. Setiap notifikasi like memicu pelepasan dopamin hormon kebahagiaan. 

Tapi ada masalah: 

  • kita kecanduan menerima, tapi tidak terbiasa memberi.

Contoh sederhana: 

Pernakah kamu memperhatikan seorang creator menghabiskan 3 jam membuat konten, lalu refresh berulang untuk melihat like. 

Tapi ketika melihat konten orang lain, ia hanya scroll tanpa memberi apresiasi. Mengapa?


Ilustrasi Mengapa Kita Ingin Di  Like Tapi Enggan Memberi Like? Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Mengapa Kita Ingin Di  Like Tapi Enggan Memberi Like?
Gambar : gorbysaputra.com

  • Scarcity Mindset: "Kalau aku like konten orang, engagement-ku akan berkurang."
  • Fear of Competition: "Aku tidak mau 'mengangkat' sainganku."
  • Kelelahan Empati: Terlalu banyak konten yang harus direspons, akhirnya memilih diam.

"Aku Ada, Maka Aku Di-Like" : Eksistensialisme di Era Digital

Jean-Paul Sartre pernah berkata, "Hell is other people". Di media sosial, neraka adalah ketika orang lain tidak memberi like.

Kita menggunakan like sebagai alat ukur keberadaan. 

  • Tapi ketika semua orang sibuk mengukur diri sendiri, siapa yang mau menjadi "pengukur" untuk orang lain? 

Ini menciptakan krisis resiprokal: hubungan timbal balik yang pincang.

Antara Egoisme dan Kebaikan Universal

Dilema "Social Contract" ala Rousseau

Jean-Jacques Rousseau percaya bahwa masyarakat terbentuk dari kontrak sosial—komitmen untuk saling mendukung. Tapi di media sosial, kontrak ini retak. Kita ingin hak (dapat like), tapi lupa kewajiban (memberi like).

  • Ini mirip dengan tragedy of the commons: jika semua orang hanya mengambil (like) tanpa memberi, ekosistem konten akan kolaps.

Kant dan "Imperatif Kategoris" dalam Memberi Like

  • Immanuel Kant menekankan prinsip: "Berperilakulah seolah tindakanmu menjadi hukum universal". Bayangkan jika semua orang berhenti memberi like—apakah media sosial masih bermakna?

Memberi like bukan sekadar klik, tapi pengakuan atas kemanusiaan orang lain.

Dampak Sosial: Ketika Komunitas Creator Menjadi Hutan Kompetisi Matinya Kolaborasi, Hidupnya Kompetisi.

Algoritma media sosial mendorong konten untuk saling bersaing. Tapi ketika creator enggan saling mendukung, yang lahir bukan komunitas, melainkan kumpulan individu yang terisolasi.

  • Contoh kasus: Pernahkah Kamu melihat dan mencari tau sebuah grup creator di TikTok sepakat saling like, tapi diam-diam mereka menghapus like setelah 1 jam agar tidak "menguntungkan" orang lain.

Mental Health dan Burnout Creator

  • Enggak mendapat like bukan cuma soal popularitas, tapi juga penolakan terselubung. Banyak creator muda mengalami anxiety karena kontennya diabaikan—termasuk oleh sesama creator yang seharusnya paham perjuangan ini.

Solusi: Dari "Aku" ke "Kita" Membangun Ekosistem yang Manusiawi

Ubah Mindset: Dari Scarcity ke Abundance

  • Scarcity Mindset: "Like itu terbatas, jadi aku harus pelit."
  • Abundance Mindset: "Semakin banyak aku memberi, semakin banyak yang kembali."

orang yang aktif memberi apresiasi cenderung lebih bahagia dan mendapat lebih banyak dukungan sosial.

  • Praktik "Karma Digital": Like sebagai Investasi Sosial
  • Aturan 5:1: Untuk setiap 1 konten yang Anda upload, berikan 5 like ke creator lain.
  • Like yang Bermakna: Jangan asal klik. Beri komentar singkat seperti, "Informatif banget!" atau "Kreatif!"

Filosofi Altruisme Teknologi: Menjadi "Manusia" di Balik Layar

Peter Singer mendorong altruisme efektif memberi untuk dampak maksimal. Di media sosial, ini berarti:

  • Support creator pemula.
  • Beri masukan konstruktif, bukan hanya kritik.

Ingat: Setiap akun adalah manusia dengan perasaan.

Ilustrasi Ingat Setiap Akun itu adalah Manusia yang juga punya perasaan bukan semuanya Robot Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Ingat Setiap Akun itu adalah Manusia yang juga punya perasaan bukan semuanya Robot
Gambar : gorbysaputra.com

FAQ: Pertanyaan Paling Sering tentang Fenomena "Enggan Memberi Like"

"Saya takut memberi like ke orang lain karena konten saya jadi kalah saing. Bagaimana mengatasinya?"

  • Like bukan zero-sum game. Algoritma justru sering memprioritaskan akun yang aktif berinteraksi. Dengan memberi like, Anda meningkatkan visibilitas diri sendiri.

"Apa dampak jangka panjang jika kebiasaan ini terus terjadi?"

  • Komunitas akan dipenuhi konten low-effort karena creator frustrasi. Kualitas konten turun, audiens jenuh, dan media sosial kehilangan esensinya sebagai ruang berbagi.

"Bagaimana cara tetap konsisten memberi like tanpa merasa terbebani?"

  • Batasi waktu di media sosial (misal 30 menit/hari khusus untuk engage). Gunakan fitur save atau bookmark untuk konten yang benar-benar Anda apresiasi.

Like adalah Cerminan Kemanusiaan Kita

Di balik tombol like yang dingin, ada kehangatan pengakuan. Ketika kita enggan memberi like, kita bukan hanya menolak orang lain, tapi juga menolak bagian dari diri sendiri yang ingin diterima.

Mungkin, inilah ujian terbesar di era digital: 

bisakah kita menjadi manusia yang peduli—bahkan di dunia yang mengajari kita untuk saling bersaing?

Posting Komentar untuk "Ketika Semua Orang Ingin Jadi Content Creator: Mengapa Kita Ingin Di Like tapi Enggan Memberi Like?"