Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lelah Kasih Like, Love, Save, Share Tapi Konten Kamu Minim Feedback?

 

Ilustrasi Lelah kasih like, love, Save, Share Tapi Konten Kamu Minim Feedback? Gambar: gorbysaputra.com
Ilustrasi Lelah kasih like, love, Save, Share Tapi Konten Kamu Minim Feedback?
Gambar: gorbysaputra.com

Mengapa Kita Terjebak dalam Siklus "Like" yang Tak Pernah Cukup?

Sebuah Refleksi dari Kebutuhan Dasar Manusia

"Pernahkah Anda stuck di tengah malam, memeriksa notifikasi media sosial sambil bertanya: '

Apa yang salah dengan konten saya? 

Sudah rajin kasih like ke orang lain, rutin posting, tapi kok engagement saya masih sepi? 

Like cuma 1, komentar nol, padahal saya sudah berusaha ikut tren...'"

Jika pertanyaan itu pernah mengusik Anda, Anda tidak sendirian.

Kita hidup di era di mana double-tap di Instagram bisa membuat seseorang merasa "berharga", tapi juga bisa menghancurkan kepercayaan diri hanya karena konten "kurang viral". 

Ada paradoks di sini: 

  • Semakin giat kita mengejar like, share, atau save, semakin sering kita merasa haus akan validasi yang tak pernah benar-benar memuaskan.

Lalu, apa sebenarnya yang kita cari?

  • Mari kita mundur sejenak. Bayangkan Anda membagikan foto liburan ke gunung. Dalam 1 jam, ada 50 like. Di detik pertama, Anda senang. 
  • Tapi beberapa jam kemudian, Anda kembali cemas: "Kenapa cuma segini? Apa fotonya kurang bagus? Harusnya pakai filter lain?"

Di titik ini, kita bukan lagi sekadar membagikan momen, tapi terjebak dalam siklus pencarian pengakuan yang tak berujung. Like yang seharusnya menjadi apresiasi justru berubah menjadi penjara psikologis.

Pertanyaan kritisnya:

Mengapa kita begitu tergantung pada angka di layar untuk merasa "cukup"?

Apa yang sebenarnya ingin kita isi dengan deretan like dan love itu?


Ilustrasi Lelah kasih like, love, save, share tapi konten minim Feedback Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Lelah kasih like, love, save, share tapi konten minim Feedback
Gambar : gorbysaputra.com

Ini bukan sekadar persoalan algoritma atau strategi konten. 

Ini tentang lubang di jiwa manusia yang mencoba dipenuhi dengan simbol-simbol digital.

Blaise Pascal pada abad ke-17 pernah menulis: 

"Seluruh masalah manusia berasal dari ketidakmampuannya duduk sendirian di kamar dalam kesunyian."

Di Abad ini , masalah itu menjelma dalam bentuk yang lebih modern: 

  • Ketidakmampuan kita untuk merasa "cukup" tanpa konfirmasi dari orang lain melalui like.

Tapi di balik semua kelelahan ini, ada harapan. Mari kita telusuri akar psikologis mengapa feedback digital terasa hambar, dan solusi filosofis untuk membebaskan diri dari jerat ini.

Dopamin dan Ilusi Validasi Sosial

"Kenapa Saya Sudah Ikuti Semua Tips dari Content Creator Top, Tapi Like Masih Sepi?"

Pernahkah Anda mengikuti saran-saran seperti:

  • "Posting jam 7 pagi, pasti viral!"
  • "Pakai 30 hashtag biar algoritma mendukung!"
  • "Ajak follower ketik ‘DM’ di kolom komentar, nanti engagement meledak!"

Tapi setelah Anda lakukan semua itu… like tetap segitu-gitu saja. Bahkan, kadang akun-akun besar yang memberi tips itu sendiri justru meraup ribuan save dan share dari konten "rahasia sukses"-nya, sementara Anda? Masih terjebak di zona tidak lebih dari 50 like dan 2 komentar cekak: "Keren kak!" atau "Ini di mana?".

Di sinilah ilusi dimulai.

  • Otak kita dirancang untuk menyukai hal instan. Setiap kali notifikasi like muncul, dopamin—si "zat bahagia"—mengalir deras. Rasanya seperti mendapat hadiah. Tapi ini bukan hadiah sesungguhnya. Ini mekanisme candu yang dirancang platform media sosial.

Contoh nyata yang mungkin Anda alami:

Pertama kali konten dapat 100 like: 

  • Anda senang sampai screenshot, bagikan ke grup WA, merasa diri "akhirnya diakui".

Minggu depannya, konten berikutnya juga dapat 100 like: 

  • Anda cuma manggut, lalu bertanya, "Kok nggak naik-naik?"

Bulan berikutnya, 100 like terasa seperti kegagalan. Anda mulai membenci diri: 

  • "Harusnya pakai filter biru, kayak si A… Harusnya nyindir kayak si B…"

Inilah yang disebut Hedonic Adaptation dalam filosofi hedonisme: Kebahagiaan dari stimulan eksternal (like, share) akan habis karena kita cepat beradaptasi. Persis seperti kecanduan gula: satu sendok manis awalnya memuaskan, tapi lama-lama butuh satu toples untuk merasakan hal sama.

Mengapa Konten "Tips Cepat Viral" Justru Menipu Anda?

Skenario yang Mungkin Tidak Anda Sadari:

Akun Besar Menjual Mimpi, Bukan Solusi

Coba Anda Perhatikan Saat seorang content creator dengan 100K follower bilang: 

  • "Rahasia saya adalah posting 3x sehari!", yang sebenarnya terjadi:

Mereka sudah punya basis audiens besar. Bukan strategi posting yang membuat mereka viral, tapi audiens yang sudah terkumpul.

Konten "tips" mereka dirancang untuk memanen engagement dari Anda para pencari jalan pintas.

"Ketik ‘DM’ untuk Bimbingan!" = Jerat untuk Menjaga Anda Tetap di Lingkaran Setan

Pernah dapat komentar: 

"Kalau mau tahu cara dapat 1K follower dalam 3 hari, DM saya!"?

  • Ini trik klasik. Mereka tahu Anda lapar akan validasi, lalu mengalihkan fokus Anda dari konten ke transaksi. Ujung-ujungnya, Anda mungkin malah membeli e-course mahal yang isinya teori umum.

Algoritma Tidak Peduli dengan Niat Baik Anda

Anda ikuti semua saran: 

  • pakai hashtag trending, edit pakai template Canva keren, tapi hasilnya tetap biasa saja. Kenapa?

Karena algoritma hanya peduli pada konten yang membuat orang betah scroll, bukan konten yang bermakna.

"Lalu, Saya Harus Menyalahkan Dopamin?"

Tidak Persis Begitu. Mari Kita Bicara Jujur.

  • Dopamin bukan musuh. Masalahnya adalah bagaimana platform dan content creator licik memanfaatkan kelemahan biologis ini.
  • Setiap kali Anda nge-refresh notifikasi, itu bukan kebiasaan itu eksploitasi sistem reward otak.
  • Setiap kali Anda tergoda ikuti "tips instan", itu bukan kesalahan Anda itu akibat desain platform yang membuat Anda merasa "kurang terus".

"Kesenangan terbesar ada dalam kesederhanaan." Tapi di dunia media sosial, kesederhanaan dibunuh demi kompetisi siapa yang bisa memicu dopamin paling cepat.

Bagaimana Cara Menghentikan Siklus Ini?

Langkah Awal yang Bisa Anda Ambil Hari Ini:

Tanyakan pada Diri: "Apa yang Saya Rasakan Setelah Mengejar Like?"

Jika jawabannya: lelah, frustasi, merasa tak cukup, ini sinyal bahwa Anda sedang mengorbankan kepuasan jangka panjang demi kesenangan 3 detik.

Unfollow Akun-Akun yang Menjual Mimpi Kosong

  • Jika suatu akun hanya membuat Anda merasa inferior dan haus validasi, mereka bukan guru mereka penjual ilusi.

Uji Coba "Posting Tanpa Harapan"

Coba buat 1 konten tanpa:

  • Mengecek jam posting ideal
  • Memakai hashtag
  • Mengharapkan like

Lihat apa yang terjadi. Mungkin engagement turun, tapi perasaan Anda akan lebih ringan.

Pertanyaan yang Mungkin Muncul di Benak Anda:

"Tapi kalau saya berhenti mengejar like, bagaimana konten saya bisa berkembang?"

"Fokus pada apa yang bisa Anda kendalikan."

  • Anda bisa kontrol kualitas konten, konsistensi, dan keautentikan.
  • Anda tidak bisa kontrol algoritma, selera audiens, atau kecepatan viral.

Coba memahami ini, Anda tak lagi jadi "korban" sistem, tapi pencipta yang sadar.

"The Myth of Social Approval" 

"Kenapa Saya Harus Jadi Boneka Algoritma demi Like yang Tak Pernah Cukup?"

  • Pernahkah Anda merasa seperti karakter dalam reality show yang hidupnya diatur oleh rating?

  • Setiap postingan harus ikuti trending audio.
  • Setiap caption harus diisi CTA (call to action) seperti "CEK BIO!", "KOMEN ‘DM’ UNTUK EBOOK GRATIS!", atau "BACA SAMPAI HABIS!".
  • Setiap konten harus mirip dengan yang sudah viral, meski itu bukan diri Anda.

Tapi, apa hasilnya?

  • Konten Anda mungkin dapat 1-2 komentar "Cek DM kak!" dari bot atau akun nakal.
  • Bio Anda dipenuhi link yang jarang diklik.
  • Algoritma tetap tak peduli, karena Anda hanya jadi bagian dari mesin yang memperkaya platform dan akun besar.

L'enfer, c'est les autres" (Neraka adalah orang lain).

Di media sosial, "orang lain" itu bisa berarti:

  • Akun besar yang memanfaatkan FOMO (Fear of Missing Out) Anda dengan tips-tips instan.
  • Perusahaan yang membayar creator untuk menggiring Anda ke landing page lewat jargon "CEK CAPTION!".
  • Bahkan, diri Anda sendiri yang terjebak membandingkan highlight reel orang lain dengan bloopers hidup Anda.

"Tapi Saya Cuma Pengen Diapresiasi, Kok Dipersulit Sistem?"

Ini Bukan Kesalahan Anda. Ini Permainan yang Tak Seimbang.

Mari kita bicara jujur:

  • Akun Besar & Perusahaan Punya Modal untuk "Membeli" Engagement
  • Mereka bisa bayar iklan, hire tim desain, atau kolab dengan selebriti.

Anda? Cuma modal HP dan harapan.

Tapi mereka menjual mimpi: "Lihat, saya bisa viral tanpa modal!" (Padahal, mereka punya 5 asisten yang mengatur jadwal posting).

Ilustrasi Terlalu lelah kasih like, love, save, share minim Feedback Gambar : gorbysaputra.com
Ilustrasi Terlalu lelah kasih like, love, save, share minim Feedback
Gambar : gorbysaputra.com

Algoritma Dirancang untuk Mengeksploitasi Keraguan Anda

  • Setiap kali Anda klik "Cek Bio" atau ketik "DM", algoritma menganggap Anda suka konten manipulatif. 

Hasilnya:

  • Konten bermakna (esei, kritik sosial, seni eksperimen) kalah sama konten yang memaksa Anda berinteraksi demi interaksi.
  • Anda jadi terjebak di echo chamber konten-konten "tips cepat kaya" yang sebenarnya hijacking kecemasan Anda.

Anda Dibuat Percaya bahwa "Konten Berkualitas = Banyak Like"

Ini mitos!

  • Konten berkualitas seringkali slow burn—butuh waktu untuk dihargai.
  • Sedangkan konten clickbait (misal: "GARA-GARA VIDEO INI SAYA DAPAT 10K FOLLOWER!") dirancang untuk mencuri perhatian, bukan memberi nilai.

"Lalu, Haruskah Saya Berhenti Membuat Konten?"

Tidak. Tapi Mari Ubah Cara Pandang.

Kita bebas menentukan makna eksistensi kita sendiri.

Di media sosial, ini berarti:

  • Anda bukan alat untuk algoritma.
  • Like bukan ukuran keberhasilan.

Konten Anda ada bukan untuk menyenangkan orang lain, tapi untuk mengekspresikan apa yang Anda percaya.

Contoh konkret:

  • Pernahkah Anda Melihat Seorang seniman mural di jalanan mungkin hanya dapat 50 like per foto karyanya. Tapi, mural itu sendiri menginspirasi ratusan orang yang lewat setiap hari.

Seberapa sering kita terjebak menganggap like sebagai satu-satunya bukti bahwa karya kita "berhasil"?

Bagaimana Melawan Sistem yang Memanfaatkan Kerentanan Kita?

Strategi Berbasis Realita, Bukan Teori Motivasi Kosong:

  • Sadari bahwa "Cek Bio", "Ketik DM", atau "Baca Sampai Habis" Adalah Bait
  • Mereka ingin Anda stuck di platform lebih lama, atau terjual produk.

Jika konten itu benar-benar bernilai, pesannya akan jelas tanpa perlu trik manipulatif.

Berhenti Jadi "Karyawan Gratis" untuk Platform

Setiap kali Anda ikut tren hanya demi algoritma, Anda bekerja tanpa gaji untuk:

  • Menambah data engagement platform.
  • Memperkaya akun besar yang menjual kursus "cara jadi viral".

Pertanyaan kritis: 

  • "Apa yang saya dapat dari ini, selain kelelahan?"

Ukur Kesuksesan dengan Parameter yang Anda Tentukan Sendiri

Contoh:

  • "Jika 1 orang bilang konten ini membantunya melalui hari berat, saya sudah puas."
  • "Jika saya bisa konsisten posting 1 konten jujur per minggu, ini adalah kemenangan."

Pertanyaan yang Mungkin Anda Pikirkan Sekarang:

  • "Tapi kalau saya tidak ikut aturan algoritma, bukannya konten saya makin tenggelam?"

Mari kita jawab dengan kacamata eksistensialis:

  • Algoritma adalah "orang lain" . 

Jika Anda membiarkannya mengatur nilai diri Anda, Anda masuk ke "neraka" digital.

  • Tapi, jika Anda menulis caption untuk manusia nyata (bukan algoritma), konten Anda akan menemukan orang-orang yang sepemikiran—meski butuh waktu.

Seperti kata penulis Kurt Vonnegut: "Tulis untuk menyenangkan satu orang. Jika Anda membuka jendela dan membuat cinta ke dunia, kisah Anda akan terkena pneumonia."

Kesadaran Terakhir: Anda Bukan Statistik

Setiap kali algoritma membuat Anda merasa invisible, ingat ini:

  • Setiap like yang Anda berikan ke akun besar adalah suara yang memilih untuk memperkuat sistem ini.
  • Setiap konten autentik yang Anda buat—meski hanya dapat 2 like—adalah pemberontakan terhadap mitos "social approval".

Di media sosial, pemberontakan itu bisa dimulai dengan hal sederhana:

  • "Hari ini, saya akan posting apa yang saya suka—bukan apa yang algoritma suka."
  • Jika kemudian konten itu sepi, setidaknya Anda tidak menjual jiwa.

Konten Minim Feedback: 

  • Kesalahan Strategi atau Persoalan Eksistensi?
  • Algoritma vs. Authenticity: Mana yang Lebih Penting?

Media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten yang memicu interaksi cepat (like, komentar singkat). 

Tapi, konten bermakna seringkali butuh waktu untuk dicerna. Ini menciptakan paradoks:

  • Konten "Viral": Menarik perhatian, tapi minim kedalaman.
  • Konten Bermakna: Butuh refleksi, tapi sering di-scroll karena tak sesuai dengan kebiasaan konsumsi konten instan.

"The Attention Economy" dan Kematian Dialog Substansial

  • Budaya like dan share telah mengubah interaksi manusia menjadi transaksi data. Kita kehilangan ruang untuk dialog yang mendalam—sebab algoritma lebih suka konten yang "mirip dengan yang pernah kamu like".

Keluar dari Jerat Validasi Instan

Bagaimana Menciptakan Konten yang Memuaskan Jiwa, Bukan Hanya Statistik?

Teknik "Purpose-Driven Content Creation"

Alih-alih fokus pada angka, tanyakan pada diri:

  • Apa tujuan utama saya membuat konten ini?
  • Apakah konten ini mencerminkan nilai atau cerita yang ingin saya sampaikan?

orang yang mengejar meaning (makna) daripada happiness (kebahagiaan instan) cenderung lebih tahan terhadap stres dan kelelahan emosional.

Membangun "Komunitas Bermakna", Bukan Hanya Followers

  • Strategi 1: Gunakan pertanyaan terbuka di caption untuk mengundang diskusi (misal: "Menurutmu, apa tantangan terbesar dalam hal ini?").
  • Strategi 2: Fokus pada niche kecil yang benar-benar tertarik dengan topikmu. Filosofi less is more berlaku di sini.

Konten sebagai Ekspresi Kebebasan, Basis Eksistensi

  • Mengapa Kontenmu Bisa Jadi Manifestasi "Keberanian untuk Jadi Diri Sendiri"?

"The Leap of Faith" dalam Berkarya

  • kebahagiaan sejati datang ketika kita berani mengambil risiko menjadi autentik, meski tidak diterima banyak orang.

Contoh: Penulis yang tetap menulis esai kritik sosial meski tahu kontennya tidak akan viral. Tapi, 10 orang yang membacanya mungkin akan terinspirasi untuk bertindak nyata.

Fokus pada Proses, Bukan Hasil

"You have power over your mind — not outside events."

Terapkan ini dengan:

  • Membuat konten karena prosesnya memberimu kepuasan.
  • Melepaskan ekspektasi terhadap feedback.

FAQ: Pertanyaan Paling Sering Diajukan

"Kenapa like dan share tidak membuat saya bahagia?"

  • Karena kebahagiaan sejati berasal dari pencapaian yang selaras dengan nilai diri, bukan validasi eksternal. Like hanyalah simbol, bukan substansi.

"Bagaimana cara tetap semangat membuat konten jika feedback minim?"

  • Temukan why (tujuan besar) di balik kontenmu. Misal: "Saya menulis untuk mengarsipkan pemikiran saya," atau "Saya berbagi agar ada yang merasa tidak sendirian."

"Apakah saya harus berhenti dari media sosial jika lelah?"

  • Tidak perlu. Coba lakukan digital detox sementara, lalu kembali dengan perspektif baru: media sosial adalah alat, bukan hakim atas nilai diri Anda.

Konten Bukan Tentang Angka, Tapi Jejak Kemanusiaan

  • Media sosial seringkali membuat kita lupa: setiap like, share, atau komentar adalah interaksi dengan manusia nyata. Daripada terjebak dalam siklus feedback instan, mari melihat konten sebagai cara kita "menyapa dunia"—dengan segala ketidaksempurnaan, keraguan, dan keunikan yang hanya kita miliki.

Seperti kata Pramoedya Ananta Toer: "Menulislah, karena tanpa tulisan, engkau akan hilang dari sejarah." Tapi, sejarah seperti apa yang ingin kau tinggalkan? Sekadar angka di layar, atau cerita yang menyentuh jiwa?

Posting Komentar untuk "Lelah Kasih Like, Love, Save, Share Tapi Konten Kamu Minim Feedback? "