Mengungkap sisi gelap mahasiswa tidak serius kuliah dan dampaknya.
![]() |
Ilustrasi Ketidakseriusan Mahasiswa Kuliah Gambar : gorbysaputra.com |
Ketidakseriusan Mahasiswa Kuliah: Mengapa Banyak yang Asal Lewat?
“Ah, jadi Anda juga pernah memilih jurusan tanpa tanya ‘kenapa’ sejatinya? Jangan merasa sendirian.”
Begini ceritanya: Anda duduk di bangku SMA, sibuk menghafal rapot, kumpulkan portofolio, ikut bimbingan karier semua demi satu kata:
“kuliah.” Ketika akhirnya formulir pendaftaran terbuka, Anda mencentang program studi yang sekiranya ‘cukup oke’, tanpa benar-benar tahu apa yang akan Anda pelajari selama empat tahun ke depan.
“Aku tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa.”
― Socrates
Apakah Anda pernah terhenyak, menyadari bahwa selama ini yang Anda kejar hanyalah rekognisi nilai bagus, kabar masuk PTN—tapi bukan pemahaman?
Lalu, ketika tugas menumpuk dan dosen bertanya, Anda tiba-tiba gugup: “Kok saya nggak paham soal ini, ya?” Rasanya seperti tertangkap basah sedang pura-pura lihai. Ada rasa bersalah yang mencekam, padahal Anda cuma berusaha “selamat” sampai masa studi berakhir.
Mari kita bayangkan:
di sebuah kelas besar, ratusan mahasiswa duduk tegak.
Semua tampak sibuk mematung, menatap layar presentasi tapi berapa persen yang benar-benar memahami inti kuliah?
“Aku cuma butuh lulus,” bisik Anda dalam hati.
Dan saat Anda ‘dibongkar’ soal konsep dasar, jantung berdegup kencang, mulut seret mencari jawaban.
Ironisnya, kita membela diri:
“Saya kan masih awal, ibu dosen!” Padahal, apakah itu alasan cukup kuat untuk terus menunda bertanya, menunda menggali arti kuliah?
Sekarang, tarik napas sejenak. Jika begini terus menyibak jadwal, menuntaskan tugas tanpa makna kapan Anda benar-benar akan merasakan pergeseran pemikiran yang “membuat Anda paham”?
Kapan Anda berhenti menghindar dari rasa malu, dan mulai menanyakan: “Apa sesungguhnya tujuan saya berkuliah?”
Di sinilah kita mulai mengurai satu per satu problem yang sering muncul:
kebingungan memilih jurusan, rasa cemas menghadapi tugas, ketakutan tampil beda, hingga rasa bersalah yang tak kunjung reda.
Semua itu manusiawi, bahkan wajar tapi bukan alasan untuk terus diam.
Mari kita bicara, bersama-sama, mengurai titik-titik kegelisahan itu, supaya Anda tak lagi sekadar “tahu” bahwa Anda tidak tahu apa-apa, melainkan bangkit untuk benar-benar memahami.
Dialog Satir di Ruang Kelas
Dosen (sambil lipat tangan, alis terangkat): “Jadi, siapa yang sudah menelaah teori X di halaman 45–60?”
Mahasiswa A (menoleh ke teman sebelah, bisik-bisik): “Eh, teori apa lagi itu? Kayaknya belum pernah dengar deh…”
Mahasiswa B (narik napas dramatis, lalu geser posisi di kursi): “Bu, saya sudah baca… waktu kelas kemarin.” (Padahal cuma lihat slide, tanpa mencerna sama sekali.)
Dosen (suara menukik): “Cuma ‘melihat slide’? Lalu bagaimana Anda bisa berargumen kalau tak tahu dasarnya?”
Mahasiswa A (cepat-cepat angkat tangan, mata berkaca-kaca): “Iya, Bu, tapi kan tugas lain numpuk… Saya berusaha multitasking.”
Mahasiswa B (senyum kikuk, menyembunyikan ponsel): “Betul, Bu. Kalau kita belajar terus, kapan waktu kita istirahat, ya kan?”
Kita mungkin tertawa kecil—bahkan sering ikut ngakak karena klasifikasi “sok sibuk” itu mewakili diri sendiri. Tapi, coba kita renungkan sejenak:
- Pernahkah Anda berdiri di depan dosen, berpura-pura mengerti, hanya untuk menyelamatkan muka?
- Seberapa sering Anda mengelak: “Terlalu awal untuk pertanyaan beginian,” padahal dalam hati mengerang karena kebingungan?
- Apakah kita benar-benar yakin sudah menguasai materi, atau hanya menempelkan label “paham” supaya tak kena tegur?
Di ruang kelas yang penuh deru kipas angin atau AC dan denting papan tulis, ada tapi kosong yang mengintai: kejujuran intelektual.
- Kita sok benar dengan jawaban dangkal, sok tahu soal teori yang bahkan judulnya kita hapal pun tidak. Lalu, ketika dosen memanggil, jantung langsung berdebar, mulut kering.
Kita buru-buru mencari kambing hitam “Buku di kos ketinggalan,” “Wi-Fi kampus lemot,” “Saya baru masuk semester ini” apapun asal bisa menutupi satu kenyataan: kita belum menggali esensi, hanya bermain di permukaan.
- Tapi, tunggu dulu. Mengapa kita merasa bersalah hanya karena belum menguasai?
- Bukankah kuliah seharusnya tempat belajar bukan panggung sandiwara?
Ketimbang sok sibuk, bukankah lebih baik jujur: “Bu, saya belum paham.
Tolong jelaskan lagi.” Ego kita mungkin menjerit, tapi hati kita akan lega. Karena dengan kejujuranlah proses belajar sejati dimulai.
Sekarang, sebelum Anda menutup buku catatan atau menonaktifkan notifikasi ponsel, tanyakan pada diri sendiri:
apakah Anda datang ke kelas untuk “lulus masalah” atau untuk memahami?
Jika jawabannya masih samar, selamat Anda tidak sendirian. Mari terus gali, terus bertanya, dan berhenti bermain peran, agar kuliah tak sekadar ritual angkat tangan, melainkan perjalanan menemukan makna.
Konsekuensi Pilihan Jurusan Tanpa Perencanaan
Mahasiswa C (senyum percaya diri): “Ah, Jurusan A itu paling favorit semua orang bilang keren!”
Mahasiswa D (angkat alis, menimpali): “Iya, kampus X itu terkenal, kan? Nanti kalau lulus, gampang cari kerja.”
Mahasiswa E (mengerling nakal): “Lha, saya daftar jurusan cuma karena logo kampusnya cakep di Instagram, Bu.”
Dosen (menghela napas, menatap satu per satu): “Jadi, Anda semua memilih bukan berdasarkan minat, melainkan… label?”
Mahasiswa C (menunduk): “Eh, gimana, Bu? Semua teman saya juga milih situ.”
Mahasiswa D (mendesah, berusaha membela): “Kalau nggak masuk kampus favorit, gimana dong pride kita?”
Mahasiswa E (berbisik pelan): “Daripada jurusan yang bosenin, mending cari yang hits dulu, kan?”
Persis seperti di ruang kelas kita sok sibuk, sok tahu, sok benar tapi nyatanya memilih jurusan pun kita main-main, tanpa lihat resepnya (minat, bakat, prospek). Akhirnya, RPS datang bak tamu tak diundang, tumpukan buku wajib jadi monster yang menakutkan.
● Pernahkah Anda menyesal saat membuka daftar mata kuliah dan mendapati “Dasar-dasar Teori Z” padahal Anda pilih jurusan karena “ayat promosi” di brosurnya terdengar keren?
● Seberapa sering Anda merasa “kok ini bukan yang saya bayangkan” lalu buru-buru curhat, “Dosennya killer banget,” “Materi-nya susah dan nggak ada hubungannya sama Instagram saya”?
● Apakah kita sadar, selama ini memilih kampus sekadar untuk pamer di feed, lalu mempertahankan image “alumni kampus X” padahal ilmu belum masuk ke kepala?
![]() |
Ilustrasi Academic Apathy Gambar : gorbysaputra.com |
Dampak Nyata Pilihan Impulsif
Burnout Akademik
Anda sibuk mengejar “label” hingga lupa bahwa tiap tugas itu seharusnya menumbuhkan pengetahuan bukan sekadar angka di transkrip. Akhirnya, deadline tugas berdatangan, Anda gelagapan: “Kapan saya sempat baca full jurnal sepanjang semalam itu?”
Kesenjangan Ekspektasi–Realita
- Ekspektasi: kuliah di jurusan favorit = jalan mulus karier.
- Realita: materi jauh dari passion, waktu habis untuk belajar hal-hal yang terasa asing. Lalu Anda bertanya, “Kenapa saya kok nggak betah ya?”
Kehilangan Arah Jangka Panjang
- Tanpa pondasi minat yang kuat, Anda mudah goyah: satu tren, pindah; satu seminar hit, ikut; satu tawaran magang, lompat. Padahal, perjalanan intelektual butuh fokus dan ketekunan.
Rasa Bersalah dan Pembenaran Diri
Alih-alih mengakui salah pilih, kita lebih piawai membuat alasan:
- “Semua juga begini,” “Jurusan lain belum tentu lebih enak,”
- “Saya kan fleksibel.” Ego menutupi kelemahan, hingga kita lompat topik lebih cepat daripada mengurai akar masalah.
Sekarang, sebelum Anda menutup lembar RPS atau scroll feed kampus favorit lagi, renungkan:
- apakah Anda benar-benar memilih jurusan karena ini “jalan hidup” Anda, atau hanya karena itu “status hidup” Anda?
Jika jawaban Anda masih samar selamat, Anda bergabung di klub mahasiswa impulsif! Tapi tenang, Anda tak sendiri. Mari sama-sama bertanya lebih dalam:
- apa yang membuat Anda sebenarnya bergairah?
Dengan dasar itulah kita bisa menyusun resep, bukan hanya mengikuti menu instan.
Dampak Malas Membaca Buku Perkuliahan
Mahasiswa F (menyembunyikan buku tebal di tas): “Wah, Bu, baca buku referensi itu tonjokan banget, ya?”
Mahasiswa G (cekikikan sambil tatap layar ponsel): “Santai, nanti juga ada yang share ringkasannya di grup WhatsApp.”
Mahasiswa H (angkat bahu): “Kalau nggak baca semua, yang penting tutup mata pas dosen nanya, ‘Saya paham intinya.’”
Dosen (mengernyit, mengetuk meja): “Jadi, Anda semua memilih jurusan favorit, lalu melewatkan baca buku apa resepnya untuk jadi ahli kalau begitu?”
Sama seperti dulu kita memilih jurusan karena label, sekarang kita membebaskan diri dari kewajiban baca buku karena “itu kan cuma lampiran RPS.”
Dari impuls memilih kampus hits, berlanjut ke impuls menunda membaca, sampai akhirnya “malas” jadi pembela diri.
● Pernahkah Anda menyesal lupa menengok Daftar Pustaka padahal tugas esai harus pakai lima referensi primer?
● Seberapa sering Anda beralasan, “Jurnal berbayar susah diakses,” “Gak sempat, Bu,” “Terlalu tebal, cape”?
● Apakah kita sadar, sambil asyik scrolling ringkasan di media sosial, kita justru kehilangan “mata kuliah” sejati?
Kerugian Nyata dari Menghindar Membaca
Tugas Jadi Kerangka Kosong
- Anda menumpuk slide PowerPoint, copy–paste kutipan tanpa paham, lalu heran: “Kok nilai saya pas-pasan?”
- Alasan yang sama tetap berputar“Saya kan sibuk, Bu” padahal masalahnya: enggan menggali sumber primer.
Logika Berantakan
Tanpa konteks dari buku, argumen skripsi Anda mengambang: “Ini kutipan siapa, ya? Kok nggak nyambung?” Lalu muncul rasa bersalah: “Kenapa saya nggak baca dari awal?”
Namun Anda buru- buru mengalihkan: “Itu kan head start dosen, bukan saya.”
Hilangnya Kepercayaan Diri
Saat diskusi kelas, pertanyaan sederhana mampu membuat Anda blank: “Apa definisi teori Y, Bu?” Jantung berdegup, kita sok sibuk: “Saya kan habis itu ada rapat organisasi,” padahal intinya: kita takut ketahuan belum membaca.
Pembenaran Diri yang Tak Pernah Usai
Kita terus menjejak alasan:
- “Buku sulit, ringkasan online lebih praktis,”
- “Saya tipe auditori, jadi dengar rekaman kuliah juga cukup,”
- “Grup diskusi kan ada.”
Padahal, yang terjadi: kita menutup jendela dunia padahal buku adalah jendela dunia sejati.
Sebelum Anda menutup e-book atau skip halaman selanjutnya, pertanyakan lagi:
- apakah Anda mau terus “sok benar” bahwa ringkasan cukup?
- Atau mulai membuka halaman satu, meresapi teori yang sejati?
Bila Anda terus menunda, yang rusak bukan cuma nilai melainkan kemampuan berpikir kritis yang jadi modal utama setelah lulus.
- Jadi, siapkah Anda menantang diri, menyelami bacaan, dan berhenti cari-cari alasan?
Karena ujungnya, bukan status “alumni kampus favorit” yang menentukan melainkan kedalaman wawasan yang Anda bawa ke dunia nyata.
Fenomena Copy–Paste hingga Skripsi
Mahasiswa I (panik sambil cek jam): “Duh, tinggal besok presentasi, belum kelar naskah skripsi!”
Mahasiswa J (menyerahkan flashdisk penuh dokumen): “Tenang aja, gue udah copy–paste dari tujuh artikel sekaligus. Praktis, kan?”
Mahasiswa K (senyum bangga): “Iya, Bu, daftar pustaka lengkap, kok. Tinggal presentasi, tinggal klik next.”
Dosen Pembimbing (menatap layar dengan alis terangkat): “Kamu yakin ini pemikiranmu sendiri? Kok bahasanya pas sama artikel X?”
- Saat malas membaca buku membuat landasan teori kita keropos, copy paste jadi jalan keluar palsu.
- Buku yang tak kita telusuri membuat kita tak sanggup merangkai ide asli akhirnya, skripsi berubah monumen “hasil salin-tempel.”
● Pernahkah Anda berdiri di ruangan sidang, tanggung jawab di pundak, tapi isi skripsi terasa hampa seakan Anda cuma kurir yang mengantarkan pikiran orang lain?
● Seberapa sering Anda berkilah, “Itu kan fungsi sitasi, Bu,” padahal kutipan itu tak pernah Anda pahami?
● Apakah kita sadar, sambil nyeruput kopi, kita menutup celah kreativitas padahal tugas akhir seharusnya jadi perwujudan riset personal?
Dampak Nyata Copy–Paste di Skripsi
Monotonitas Konten
- Skripsi Anda tak lebih dari puzzle teks yang disatukan tanpa benang merah pemikiran. Akhirnya, dosen pembimbing hanya terdiam, membolak–balik halaman tanpa semangat.
Hilangnya Kemampuan Menyusun Argumen
- Anda terbiasa menempelkan kutipan, bukan merumuskan gagasan. Saat ditanya “Apa kontribusi penelitianmu?”, mulut kering, kita malah sok sibuk: “Saya kan coba lihat persentase…,” padahal yang ditanya inti ide.
Presentasi yang Hampa
- Slide penuh paragraf panjang, font kecil seolah naskah drama bukan ringkasan poin utama. Saat Anda berdiri di depan kelas, narasi malah baca teks: “Ini poin pertama…, poin kedua…,” seakan slide itu draf kasar, bukan alur cerita penelitian.
Rasa Bersalah Tersamar Alasan
- Kita berkilah, “Waktu mepet,” “Artikel asing nggak match,” “Poin penelitian belum jelas,” padahal yang sebenarnya terjadi: kita kekurangan keberanian untuk berpikir mandiri.
Sebelum Anda menutup file Word dan bersiap “klik next” di presentasi tanyakan kembali:
- Apakah skripsi Anda benar-benar buah pikiran sendiri, atau sekadar rakitan kutipan?
- Apakah Anda presentasi untuk membuktikan bahwa Anda paham, atau sekadar mengulang kata orang lain?
Jika jawabannya membuat hati Anda tercekat: selamat. Anda baru saja menemukan akar masalah yang bermula dari malas membaca.
Kini saatnya mematahkan kebiasaan copy paste mengambil waktu membuka buku, merangkai kalimat orisinal, dan bercerita dengan sudut pandang Anda sendiri.
Karena skripsi sesungguhnya bukan puncak kejayaan label kampus atau daftar pustaka panjang, melainkan monumen gagasan yang lahir dari keringat dan pemikiran mendalam Anda.
Kehadiran Fisik, Ketidakhadiran Mental (Menelusuri Sepanjang Perkuliahan)
Mahasiswa L (melewati gerbang kampus, telepon masih menempel di telinga): “Iya, Pak, bentar lagi saya masuk kelas, nih. Nanti saya kabari kalau sudah sampai.”
Mahasiswa M (menarik kursi, membuka laptop, lalu… scroll media sosial): “Wah, story teman masih seru, deh. Nanti dulu ngetik catatan.”
Mahasiswa N (menyandarkan kepala, pejamkan mata): “Kalau dosen nggak cek absen, bisa sekilas tidur sebentar, kan?”
Dosen (menoleh dari depan kelas, menepuk meja): “Kalian hadir secara fisik, tapi apa esensi yang kalian bawa ke bangku ini?”
Sejak awal mendaftar jurusan, kita sudah sibuk dengan label lalu melewatkan teori, menambal skripsi, dan kini: hadir tanpa benang pikiran, seolah kuliah cuma dekorasi.
● Pernahkah Anda masuk kelas sambil mengirim chat “On my way,” lalu malah asyik reply grup lain hingga dosen mulai kuliah?
● Seberapa sering Anda berkilah: “Saya multitasking,” “Saya belajar sambil cari inspirasi,” padahal realitanya Anda hanya terombang-ambing notifikasi?
● Apa bedanya antara Anda yang hadir penuh perhatian, dan Anda yang sekadar duduk tapi hati sudah di kafe, di kelas lain, atau di timeline Instagram?
Jejak Malas Mental Sepanjang Masa Kuliah
Awal Semester: Ekspektasi vs. Kenyataan
Mahasiswa O: “Semester 1 ini saya semangat, nih. Catatan per slide!”
Sebulan kemudian: “Slide siapa yang bisa dishare? Mau hemat waktu.”
Ekspektasi menggebu, realita: kita cepat lelah, akhirnya cari shortcut.
Pertengahan Semester: Rutinitas Hampa
Mahasiswa P: “Besok presentasi kelompok, saya siapkan poin.”
Lalu riuh: “Maaf, Bu, laptop saya mati; saya nggak sempat print.”
- Rutinitas jadi alasan, kita sibuk mengelola drama kecil padahal intinya: tidak siap secara mental.
Akhir Semester: Kejar Nilai, Lupakan Makna
Mahasiswa Q: “Nilai A jadi prioritas. Kalau harus lewat kuliah, skip saja.”
Mahasiswa R: “Yah, kalau ketahuan bolos, belok ikut teman buat catatan.”
- Di masa-masa kritis, kuliah berubah angka. Hasil: kita juara skor, tapi ip kita menipis wawasan.
Klimaks Perkuliahan: Lupa ‘Belajar Sejati’
Mahasiswa S (hari terakhir kuliah): “Wah, akhirnya lulus. Sip, bisa rehat!”
Teman: “Eh, gimana tugas akhir yang katanya mau kita baca bareng?”
Kita jawab, “Nanti aja, lah. Yang penting skripsi kirim dulu.”
- Puncaknya, kuliah terasa rangkaian rutinitas yang dijalani bukan dimaknai.
Sebelum Anda menutup untuk terakhir kali sebagai mahasiswa, tanyakan pada diri sendiri:
- Apakah selama ini Anda benar-benar “hadir” mencatat ide, bertanya, menyelami diskusi—atau hanya “ada” untuk memenuhi kuota SKS?
- Seberapa sering Anda mempertahankan image “sok sibuk” demi menutupi kekosongan pemahaman?
- Apakah Anda akan bangga jika setelah lulus, semua kenangan kelas hanyalah sekumpulan slide yang dibaca sepintas, tugas yang dituntaskan tanpa apresiasi, dan skripsi yang tak pernah Anda alami proses kreatifnya?
Jika jawaban Anda membuat dada sesak selamat.
Anda baru saja menatap wajah kebenaran yang selama ini dihindari. Kuliah lebih dari duduk dan mendengar;
- kuliah adalah ruang untuk berkonfrontasi dengan pikiran sendiri, untuk tumbuh, dan untuk benar-benar belajar.
Jadi, mulai sekarang:
hadirkan pikiran Anda, resapi setiap materi, dan berhenti mencari alasan demi pembelaan karena masa kuliah hanyalah satu pintu, dan esensi belajar lah yang akan membuka pintu berikutnya dalam hidup Anda.
Perpustakaan yang Diabaikan
Mahasiswa T (melintas di rak buku, tatap sekilas, lalu geser ke sofa): “Duh, nggak mood baca yang tebal‐tebal ini. Mending upload story, biar teman tahu saya tetap ‘on campus’.”
Mahasiswi U (duduk santai, buka aplikasi ojek online): “Perpustakaan sunyi, kursi keras buku juga bau kertas tua. Mending ke kafe sebelah, ada Wi-Fi kencang.”
Mahasiswa V (numpang makan siang di pojok, headphone terpasang): “Santai aja, nanti saya download e-book. Yang penting ebooknya ada di HP.”
Pustakawan (menyodorkan katalog online): “Buku referensi terbaru sudah masuk. Coba cek judul ini, relevan banget untuk tugas Anda.”
Mahasiswa T (sambil sentuh remote AC): “Ah, nanti dulu, Bu. Saya lagi FOMO di feed teman, takut ketinggalan tren.”
Mahasiswi U (angkat gelas kopi): “Kalau capek, saya istirahat di perpustakaan. Diskusi? Waduh, saya bukan tipe ‘organisasi’ kok.”
- Sama seperti kita hadir di kelas tanpa pikiran, di perpustakaan kita numpang “eksis” tapi tidak pernah menyelami khazanah ilmu. Kita sok merasa sibuk, sok tahu, padahal cuma mengisi waktu luang.
● Pernahkah Anda lewatkan rak “Literatur Kunci” karena takut dianggap kutu buku?
● Seberapa sering Anda cuma numpang duduk untuk charge HP, ngobrol, atau FOMO di medsos—padahal buku di samping Anda mengintai?
● Apakah kita sadar, interaksi dengan mahasiswa aktif organisasi bisa membuka perspektif riset, tapi kita pilih ego “nggak punya waktu”?
Akibat Mengabaikan Perpustakaan
Ilmu yang Terlewatkan
- Buku baru di rak studi kasus, teori mutakhir terabaikan karena “nanti aja download PDF.” Padahal, referensi print sering kali lebih kaya konteks dan foto, bukan sekadar teks yang dipotong–potong.
Jaringan Akademik yang Hancur
- Diskusi santai di pojok baca bisa memicu ide penelitian; bertukar argumen di kursi kayu bisa menumbuhkan “spark” inovasi. Namun kita menolak: “Saya kan bukan anak himpunan.”
Pembenaran Tanpa Henti
- Kita tutup diri dengan dalih: “Perpustakaan kurang cozy,” “Buku pasti basi,” “Lebih praktis cari ringkasan online.” Padahal, yang basi bukan bukunya, melainkan cara berpikir kita.
Rasa Bersalah Terselubung
Ketika tugas menuntut referensi kuat, kita mendadak panik: “Duh, kok nggak sempat ke perpustakaan?” Lalu buru-buru minta share materi teman seakan itulah “solusi” terbaik.
Sebelum Anda meninggalkan rak buku dengan tangan kosong padahal kartu perpustakaan masih aktif pertanyakan kembali:
- Apakah Anda benar-benar menutup pintu surga sunyi ini karena “ribet,” atau karena takut menghadapi kebosanan menantang?
- Apakah lebih penting update feed atau mengupdate wawasan lewat diskusi di meja baca?
- Kapan terakhir kali Anda merasa segar memulai riset setelah menyentuh kertas pertama?
Ingat, perpustakaan bukan sekadar tempat “nongkrong akademik,” melainkan laboratorium pemikiran. Jika terus kita abaikan, ilmu sejati akan terus terlupakan sama seperti jejak kehadiran kita yang hanya fisik, tanpa makna.
Minim Latihan Menulis, Minim Kreativitas
Tugas makalah, jurnal, atau sekadar esai sering kali jadi sekadar “gugur kewajiban.” Tanpa latihan menulis tanpa berproses maka kata-kata melongo, kehilangan nyawa.
Durhaka Tanpa Sadar Peran Orang Tua dan Beasiswa
Mahasiswa W (angkat telepon, suara lirih): “Iya, Bu… iya, makasih sudah kirim uang semester ini.”
Ibu (penuh harap): “Tuh, biar kamu bisa beli buku dan izin tugas berbayar.”
Mahasiswa X (alon-alon cek saldo e-wallet, senyum tipis): “Iya, Bu… nanti juga ada saldo beasiswa KIP, kan?”
- Seperti kita melewatkan perpustakaan, mengabaikan bacaan, hingga skripsi copy–paste, kini yang paling tragis memberi orang tua harapan palsu.
- Uang kuliah, bantuan zakat, dana beasiswa, motor, laptop semua disiapkan agar kita belajar sungguh-sungguh.
Nyatanya? “Akhir pekan nongkrong, nge-date, liburan singkat…”
● Pernahkah Anda ingat terakhir kali menunjukkan rapor IP kepada orang tua—padahal semester awal Anda berjanji “nilainya bagus”?
● Seberapa sering Anda berkilah: “Santai, Bu, nanti saya lapor progress,” tapi hanya kirim foto kafe dengan caption “Study hard”?
● Apakah kita sadar, setiap rupiah bantuan beasiswa itu adalah titipan harapan dan doa, bukan modal untuk gebetan atau jastip titipan oleh-oleh?
Dampak Durhaka Tanpa Sadar
Pengkhianatan Amanah
- Bantuan pemerintah, zakat, atau orang tua bukan hadiah hiburan. Ketika dana itu kita habiskan untuk nongkrong dan belanja online, kita mengkhianati amanah—padahal seharusnya terpatri semangat “think intensively and critically” .
Rasa Bersalah yang Mendalam
- Saat semester berikutnya nilai jeblok, hati jungkir balik: “Kenapa ya…?” Lalu kita buru-buru menimpali: “Internet lemot, materi susah,” seolah masalah bukan pada diri sendiri.
Menodai Cita-Cita Orang Tua
- Orang tua berkorban lewat lembur, jualan, atau utang kecil demi memastikan kita nyaman kuliah. Namun kita malah sibuk pacaran tanpa arah, tanpa menyadari air mata mereka di balik kiriman pulsa.
Sia-Sia Beasiswa dan Bantuan
- KIP-Kuliah, beasiswa prestasi, zakat produktif semuanya dirancang menyiapkan generasi unggul. Menggunakannya untuk “tiket kencan” atau “uang nongkrong” sama artinya memutar balikan tujuan sejati: mencetak intelektual berl karakter.
Sebelum Anda berpikir “Saya kan berhak menikmati hidup kampus,” tanyakan pada hati:
- Apakah legitimasi asyik-asyikan itu lebih penting daripada mewujudkan mimpi orang tua?
- Apakah “story-ing” kopi di kafe menggantikan laporan transparan tentang perkembangan kuliah Anda?
- Kapan terakhir kali Anda menelusuri esai hasil penelitian sendiri bukan ringkasan orang lain sebagai tanda terima kasih kepada mereka yang berjuang membiayai Anda?
Jika Anda masih merasa “sok benar” bahwa kuliah adalah ajang cari teman dan gebetan, berhentilah sejenak. Bayangkan wajah orang tua yang menunggu kabar baik, bukan update status.
Karena tanggung jawab kita bukan hanya hadir fisik, tapi hadir sepenuh hati mengukir prestasi, menghargai titipan, dan menumbuhkan karakter sejati.
Organisasi Mahasiswa: Simbolisme Tanpa Produktivitas
Hanya hadir saat acara besar foto bareng tokoh, cek-in Instagramtapi enggan terlibat diskusi mendalam. Organisasi menjadi stempel, bukan sarana transformasi.
“Education either functions as an instrument which is used to facilitate integration of the younger generation into the logic of the present system…”
Filosofi di Balik Keterjaminan Kuliah vs Kehidupan Nyata
Perspektif John Dewey
- Bagi Dewey, belajar adalah pengalaman berkelanjutan. Ketika kuliah dijalani setengah hati, maka “pengalaman” itu gagal membentuk karakter.
Kata Paulo Freire
- Freire menekankan praxis—perpaduan teori dan refleksi. Tanpa praktik sadar dan berpikir kritis, mahasiswa hanya menimba air dengan keranjang.
Memulihkan Makna Perkuliahan
Bersikap Proaktif
- Ajukan pertanyaan. Sekecil apa pun, rasa ingin tahu adalah benih perubahan.
Membangun Kebiasaan Membaca
- Mulailah dari satu halaman per hari. Seperti kata Albert Bandura, self-efficacy tumbuh kala kita berhasil melewati tantangan kecil.
Memanfaatkan Perpustakaan
- Datanglah dengan tujuan: penelitian tugas, diskusi kelompok, atau sekadar cari inspirasi. Jangan biarkan ruangan itu sunyi tanpa jejak kaki Anda.
Latihan Menulis dan Diskusi
- Ikut kelas menulis, klub baca, atau jurnal kampus. Tulisan adalah cermin pikiran latih hingga tajam.
![]() |
Ilustrasi Ketidakseriusan Mahasiswa Kuliah Gambar : gorbysaputra.com |
FAQ
Kenapa saya merasa malas membaca buku perkuliahan?
- Banyak faktor: pola belajar kurang tepat, lingkungan tak mendukung, hingga minim motivasi intrinsik. Cobalah tetapkan micro-goals misalnya satu artikel jurnal per minggu untuk membangun ritme.
Bagaimana cara memanfaatkan perpustakaan kampus dengan efektif?
- Tentukan topik, buat daftar pustaka, ajak teman diskusi. Perlakukan perpustakaan seperti laboratorium ide, bukan sekadar ruang baca.
Apa akibat copy paste dalam tugas dan skripsi?
- Selain risiko plagiarisme, Anda kehilangan proses berpikir kritis dan peluang mengembangkan argumen orisinal.
Bagaimana memulai latihan menulis akademik?
- Mulai dari ringkasan artikel, resensi buku, atau catatan kuliah. Bergabung dalam kelompok penulis untuk saling memberi feedback.
Bagaimana meyakinkan orang tua soal perkembangan kuliah?
- Buat laporan singkat tiap akhir semester: mata kuliah, nilai, proyek, dan refleksi pribadi. Transparansi membangun kepercayaan.
“Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards.”
Jika kuliah hanya soal hadir dan celupan tugas, maka Anda telah berjalan di tempat. Bangun, lawan kemalasan, dan jadikan setiap langkah kuliah sebagai investasi jiwa dan pikiran.
Posting Komentar untuk "Mengungkap sisi gelap mahasiswa tidak serius kuliah dan dampaknya."