Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Penerjemah Data Bisnis: Transformasi Peran Data Analyst di Era AI"

Penerjemah Data Bisnis : Transformasi Peran Data Analyst di Era AI Gambar : gorbysaputra.com
Penerjemah Data Bisnis : Transformasi Peran Data Analyst di Era AI
Gambar : gorbysaputra.com

"Dari angka ke cerita bisnis. Simak transformasi peran data analyst di era AI."

Dulu, jadi data analyst itu kerjanya banyak berkutat sama hal-hal yang kalau dilihat sekilas kayak kerjaan orang IT. Nyalain laptop, buka file Excel yang isinya angka semua, pakai formula panjang yang kelihatan rumit, terus bikin grafik batang atau lingkaran. Sebagian besar waktunya habis buat ngerapihin data yang acak-acakan: 

  • ada angka yang salah input, ada kolom yang kepanjangan, ada baris yang dobel. Pokoknya lebih ke urusan teknis, bukan urusan cerita atau makna di balik angka.

Sekarang, dengan banyaknya tools yang bisa bantu bersihin dan nyatuin data secara otomatis, kerjaan kasar itu mulai berkurang. Tapi bukan berarti analis jadi nggak kepake. Justru sekarang perannya makin krusial. Kenapa? Karena hari ini, data itu gampang didapat, tapi makna di balik data justru makin sulit dicari. Orang bisa lihat grafik, tapi belum tentu ngerti maksudnya. Nah, di situlah letak kerja si analis sekarang: 

  • bukan sekadar nyajiin angka, tapi ngajak orang lain ngerti isi cerita di balik angka-angka itu.

Coba bayangkan situasi ini. Sebuah bisnis rumahan yang jualan produk perawatan rumah tangga secara online. Produknya nggak banyak, mungkin cuma lima sampai sepuluh item. Setiap Jumat, mereka biasa kumpul buat bahas penjualan minggu itu. Dulu, si analis cukup tunjukin bahwa hari Selasa penjualannya naik 14% dibanding hari Senin. Grafiknya naik, semua senang. Tapi sekarang, itu nggak cukup. Mereka pengen tahu: kenapa bisa naik?

Nah, di sinilah peran analis berubah. Dia nggak cuma kasih tahu “naik 14%” lalu selesai. Tapi dia dituntut buat menggali lebih dalam. Misalnya, setelah dilihat, ternyata hari Senin mereka ngirim email ke pelanggan yang isinya video singkat tentang cara pakai produk. Nggak semua orang beli langsung hari itu. Tapi banyak yang masukin ke keranjang dulu, terus belinya keesokan harinya pas ada promo kecil muncul. Kalau si analis cukup jeli dan ngerti konteks itu, dia bisa bilang ke tim, “Kita bikin video lagi aja minggu depan, tapi kasih diskon kecil keesokan harinya. Polanya bagus.”

Penjelasan kayak gitu nggak akan keluar kalau analis cuma duduk di depan dashboard dan ngeliat angka. Tapi akan muncul kalau dia ikut nyimak ritme kerja tim, paham cara pikir konsumen, dan ngerasain suasana yang terjadi di sekitar angka-angka itu.

Data Analyst Sekarang: Mata dan Telinga yang Bekerja Lewat Angka

Kerja data analyst sekarang mirip kayak kerja orang yang dengerin cerita, tapi lewat data. Mereka bukan cuma lihat angka “4.200 orang buka halaman ini”, tapi mereka juga tanya, “Kenapa halaman ini rame padahal produk yang dijual biasa aja?” Kadang jawabannya bukan karena promonya keren, tapi karena hari itu banyak orang lagi nyari ide hadiah buat acara tertentu. Atau karena hari sebelumnya sempat ada konten yang viral, yang nyambung sama produk itu. Jadi lonjakan itu bukan hasil dari strategi baru, tapi momen yang pas.

Contohnya, bayangkan si analis ngelihat bahwa hari Rabu lalu banyak orang checkout produk sabun mandi ukuran kecil. Kalau dia cuma lihat angka, mungkin dikira diskon yang berhasil. Tapi kalau dia tanya tim gudang, ternyata ukuran besar kehabisan stok, jadi sistem otomatis ngarahin ke ukuran kecil. Nah, ini penting banget. Soalnya tanpa info itu, si analis bisa kasih rekomendasi yang salah. Misalnya, nyaranin buat diskon ukuran kecil lagi minggu depan—padahal itu bukan sebabnya.

Jadi bisa dibilang, kerja analis hari ini adalah gabungan antara mikir pakai data dan ngerasa pakai konteks. Dia harus tahu ritme kerja tim penjualan, tahu gimana pelanggan bereaksi terhadap konten, tahu jadwal pengiriman, bahkan tahu suasana hati konsumen kalau perlu. Semuanya saling nyambung. Data bukan berdiri sendiri. Dia nempel erat sama aktivitas harian.

Jadi, Perubahannya Sebenarnya Bukan Teknologinya Aja, Tapi Caranya Ngeliat dan Mikir

Teknologi bantu kerja jadi lebih cepat, itu pasti. Tapi esensi kerjanya justru makin dalam. Dulu dinilai dari seberapa rapi laporan Excel-nya. Sekarang, dinilai dari seberapa jago dia nyambungin data ke cerita nyata. Dia harus bisa bilang, “Kita nggak perlu panik lihat angka penjualan turun minggu ini, karena minggu lalu stok kosong.” Atau sebaliknya, dia harus bisa sounding kalau angka naik bukan karena strategi yang bagus, tapi karena kebetulan cuaca hujan bikin orang lebih banyak belanja dari rumah.

Di dunia kerja nyata, terutama buat bisnis kecil yang sehari-hari masih serba manual, peran ini makin penting. Bukan semua orang bisa baca angka. Tapi semua orang bisa ngerti cerita. Dan analis yang bisa bikin data terasa masuk akal buat orang-orang non-teknis—orang gudang, admin, bahkan kurir—akan jadi jembatan yang beneran dibutuhin.

Dari Angka ke Cerita Bisnis Gambar : gorbysaputra.com
Dari Angka ke Cerita Bisnis
Gambar : gorbysaputra.com

AI Itu Memang Bantu, Tapi Nggak Bisa Gantikan Insting dan Nalar Manusia

Sekarang begini. Dalam pekerjaan data analyst, terutama di bisnis kecil yang sehari-harinya jalan sambil terus belajar dan beradaptasi, proses teknis itu bisa makan waktu. Misalnya ngumpulin data penjualan dari toko online dan akun media sosial, terus disatuin ke satu tempat supaya bisa dibandingin. Nah, bagian ini memang udah bisa banyak dibantu sama AI atau sistem otomatis. Udah nggak perlu ngetik satu-satu, atau copy-paste dari banyak file. Bahkan sekarang udah bisa langsung dibikin prediksi, misalnya penjualan minggu depan kemungkinan turun 7% karena tren minggu-minggu sebelumnya.

Tapi di titik ini, muncul pertanyaan penting yang nggak bisa dijawab sama alat apa pun: kenapa?

Kenapa Konversi Turun, Padahal Traffic Naik?

Ini sering banget kejadian. Misalnya, suatu hari pengunjung ke halaman produk naik tajam. Banyak banget yang mampir. Tapi anehnya, yang beneran beli justru turun. Kalau cuma ngandelin sistem otomatis, biasanya yang keluar itu istilah kayak “anomali” atau “traffic spike without conversion.” Dan mungkin sistemnya akan kasih beberapa kemungkinan: 

bisa jadi error, bisa jadi karena jam kunjungan nggak biasa, atau rekomendasi produk kurang relevan.

Tapi, manusia yang terlibat langsung di lapangan biasanya punya jawaban yang lebih membumi. Misalnya begini:

Sore sebelumnya, ada unggahan konten yang lagi ramai. Banyak yang ngeklik link ke produk dari situ, tapi ternyata isi halaman produk malah diganti tampilannya jadi lebih ramai, dan justru loading-nya lebih lama. Atau bisa juga tone tulisan promonya terlalu berlebihan—kalimatnya seolah maksa banget, padahal produknya biasa saja. Akibatnya, orang jadi ragu buat lanjut ke pembelian. Mereka udah sampai halaman checkout, tapi akhirnya mundur.

Itu semua nggak akan kelihatan dari angka aja. Nggak terekam juga di log file. Tapi bisa ditangkap kalau si analis benar-benar ngerasain dinamika tim, tahu konten apa yang diposting kemarin, dan peka sama perubahan kecil yang terjadi di halaman produk.

AI Itu Seperti Alat Pendeteksi, Tapi Bukan Penafsir Realitas

Bayangin AI kayak kamera CCTV yang bisa rekam semua gerakan, bisa tandain momen saat banyak orang masuk ke toko. Tapi CCTV itu nggak bisa bilang, “Orang-orang itu masuk karena penasaran sama poster di depan toko yang berubah.” Atau, “Mereka keluar tanpa beli karena pencahayaannya terlalu gelap di bagian rak belakang.”

Begitu juga AI dalam konteks data. Dia bisa kasih tahu, “Ada lonjakan traffic jam 3 sore.” Tapi dia nggak tahu kalau jam 3 sore itu bertepatan dengan momen banyak orang buka media sosial karena lagi bosan di kantor. Atau karena ada konten lucu yang nyangkut dan nyeret banyak klik. Di sini, peran analis yang paham konteks itu penting banget. Bukan karena dia tahu semua jawaban, tapi karena dia ngerangkai potongan-potongan kejadian yang kelihatannya nggak nyambung jadi satu gambaran yang utuh.

Sensitivitas Itu Nggak Bisa Dilatih Mesin

Manusia punya satu hal yang nggak bisa direplikasi: intuisi dari keterlibatan langsung. Misalnya, si analis tahu bahwa minggu lalu tim kreatif lagi uji coba gaya visual baru yang lebih berani. Dia juga tahu bahwa seminggu terakhir tim customer service banyak nerima keluhan soal navigasi website yang membingungkan. Info kayak gini nggak terekam sebagai data numerik, tapi berpengaruh besar ke perilaku pembeli. Kalau dia nyambungin semuanya, dia bisa kasih kesimpulan yang lebih masuk akal: 

“Mungkin kita terlalu agresif di sisi visual, dan website jadi bikin orang bingung. Itu bisa sebabkan mereka batalin pembelian.”

Ambil Strategimu  Gambar : gorbysaputra.com
Ambil Strategimu 
Gambar : gorbysaputra.com

Yang Diperlukan: Kombinasi Mesin Cepat dan Manusia yang Peka

Kunci suksesnya bukan milih antara AI atau manusia. Tapi paham bagaimana mereka bisa kerja bareng. Mesin bantu nyari pola. Tapi manusia yang mengerti makna. Mesin bisa deteksi ada penurunan konversi. Tapi manusia yang bisa bilang: 

  • “Ini bukan masalah harga, tapi soal kepercayaan. Cara kita bicara ke calon pembeli minggu ini terasa kurang tulus.”

Dan ini bukan cuma berlaku buat perusahaan besar. Bahkan di bisnis kecil, si pemilik toko sekaligus data analyst—yang juga merangkap jadi admin medsos dan tukang packing—bisa rasain hal-hal ini. Karena dia sendiri yang baca komen, dia tahu apa yang bikin orang mikir dua kali buat beli. Data yang dikasih AI jadi lebih hidup karena dia paham konteksnya.

Data Analyst Itu Nggak Cuma Duduk Depan Dashboard, Tapi Juga “Ngelihat” yang Nggak Kelihatan

Dalam keseharian, terutama di tim kecil yang serba rangkap peran, data analyst itu kerjaannya nggak sekadar bikin grafik atau nyari rata-rata dari penjualan. Justru lebih sering mereka jadi “detektif” yang nyari cerita di balik angka. Kayak waktu ngeliat penjualan tiba-tiba naik tiap malam minggu. Sekilas bisa aja dikira karena iklan baru atau ada promo tersembunyi. Tapi setelah diamati rutin, ternyata bukan itu.

Yang sebenarnya terjadi lebih dekat dengan keseharian: 

orang-orang biasanya belanja makanan beku buat bekal akhir pekan. Entah buat persiapan kumpul keluarga, atau karena tahu Sabtu-Minggu bakal lebih santai, jadi mereka beli stok dari Jumat malam. Nggak ada data eksplisit yang bilang kayak gitu. Tapi si analis yang terbiasa baca pola, dan tahu kebiasaan pelanggannya, bisa menyimpulkan itu dari waktu dan jenis produk yang laku.

Jadi ini bukan soal pintar main pivot table, tapi peka sama kebiasaan orang.

Tanggal Tua, Produk Ringan, Tapi Laris

Contoh lain, pas di tanggal-tanggal menjelang gajian, ada satu produk kecil yang justru makin laris. Harganya paling murah dari semua varian, isinya juga nggak banyak. Tapi selalu naik penjualannya di minggu terakhir tiap bulan. AI atau sistem otomatis mungkin cuma akan nyebut: “produk A naik penjualannya di minggu keempat.” Tapi analis yang paham realitas konsumen akan langsung nyambung: 

  • "Oh iya, ini kan minggu-minggu dompet mulai seret. Orang butuh beli yang murah tapi tetap bisa dinikmati.”

Lagi-lagi, yang dipakai di sini bukan rumus statistik, tapi kepekaan sosial—merasakan kondisi nyata calon pembeli. Mungkin si analis juga ngalamin hal serupa, jadi tahu rasa-rasanya. Karena itu, baca data bukan jadi tugas kaku, tapi jadi kegiatan yang penuh rasa, penuh konteks.

Kalau Penjualan Turun, Coba Tengok DM dan Chat Pelanggan

Nah, ini bagian yang sering luput. Banyak orang ketika lihat penjualan turun, langsung buru-buru nyalahin algoritma, setting iklan, atau error teknis. Tapi kadang justru masalahnya ada di ranah interaksi personal. Contoh paling nyata: gaya komunikasi di DM.

Misalnya, minggu lalu biasanya pelanggan langsung dibales pakai sapaan ramah dan emoji hangat. Tapi minggu ini admin-nya lagi capek, balasnya lebih kaku, bahkan kadang pakai template yang kesannya dingin. Secara angka, kamu nggak akan nemuin data “nada pesan terlalu formal.” Tapi kalau kamu rajin nyimak isi chat atau tanggapan pelanggan, kamu bisa nemu kalimat kayak, “Kok admin-nya beda ya sekarang?” atau “Biasanya cepat dan ramah, sekarang kok kaku?”

Nah, ini bukan data yang langsung kelihatan di spreadsheet. Tapi data seperti ini penting banget, karena ngasih tahu hal-hal yang menyentuh pengalaman pembeli secara langsung. Mereka bukan marah karena produknya jelek, tapi karena pengalaman mereka berubah. Dan di sinilah peran analis jadi makin penting: mengamati, mencatat, dan mengaitkan perubahan yang kelihatan kecil tapi dampaknya bisa besar.

Rasa dan Emosi Juga Termasuk Data—Cuma Formatnya Bukan Angka

Semua kalimat yang ditulis pelanggan, dari “rasanya beda” sampai “nggak seenak biasanya”, itu semua adalah bentuk data yang bernilai. Tapi bentuknya memang nggak rapi. Nggak bisa diurutkan dari kecil ke besar kayak nominal rupiah. Di sinilah empati dan keterlibatan emosional si analis jadi kunci. Dia bukan sekadar pencatat, tapi juga “perasa.”

Misalnya ada pelanggan yang bilang: 

“Aku suka yang dulu, sekarang rasanya terlalu manis.” Nah, ini bukan cuma soal rasa, tapi soal perubahan persepsi. Mungkin resep sebenarnya nggak berubah, tapi mungkin pelanggan yang dulu suka itu sekarang lagi diet. Atau mungkin karena ada batch produksi yang agak beda. Semua kemungkinan itu muncul kalau si analis cukup dekat dengan konteks—baik ke dapur produksi, ke bagian customer service, sampai cara pelanggan berpikir.

Analis Bukan Tukang Lapor, Tapi Tukang Baca Gerak-Gerik

Pekerjaan analis di tim kecil justru jauh lebih kaya dari sekadar “ngolah data”. Mereka adalah pembaca peristiwa—bukan dari berita, tapi dari pola pembelian, perubahan kata-kata pelanggan, ritme harian, bahkan dari energi yang terasa di percakapan tim.

Kalau mereka tahu caranya menyatukan angka dengan cerita, data dengan emosi, maka laporan mereka bukan cuma bikin atasan paham, tapi juga bikin tim bisa gerak dengan arah yang lebih tepat. Karena semua keputusan jadi berbasis pada kenyataan yang hidup, bukan sekadar angka yang dingin.

Angka Bisa Kelihatan Meyakinkan, Tapi Nggak Selalu Mewakili Kenyataan

Kadang-kadang, angka bisa tampil dengan sangat rapi. Grafik naik, persentase bagus, warna hijau semua di dashboard. Tapi buat yang sudah sering berkecimpung di data, mereka tahu: “Yang kelihatan indah itu belum tentu beneran menjelaskan apa yang terjadi.” Dan justru di sinilah salah satu tantangan terbesarnya muncul — bagaimana seorang data analyst bisa tetap jernih melihat situasi, walaupun angka seperti “menggoda” untuk disimpulkan secara instan.

Misalnya, ada laporan yang bilang bahwa promosi dengan latar merah berhasil besar karena rasio kliknya naik dalam dua minggu. Kalau lihat dari data mentah, mungkin bener. Angkanya naik, traffic tinggi, ada korelasi yang kelihatan. Tapi yang sering luput adalah hal-hal yang sebenarnya sangat “manusiawi” dan tidak terukur oleh sistem otomatis. Ternyata, dalam dua minggu itu memang ada perayaan besar, dan memang secara alami orang-orang lagi lebih sering buka platform belanja karena kebutuhan mendadak. Jadi lonjakan itu bukan karena warna, bukan karena desain, tapi karena suasana umum masyarakat yang berubah.

Nah, AI yang membaca data tanpa konteks, ya pasti langsung menyimpulkan: 

“warna merah bikin klik naik.” Padahal ya bukan itu alasannya. Dan kalau kesimpulan ini diambil mentah-mentah, bisa-bisa tim kreatif salah arah. Mereka terus pakai pendekatan visual yang sama, padahal itu bukan penyebab utamanya. Di sinilah letak bahayanya: 

angka bisa jadi ilusi, dan kalau nggak hati-hati, malah bisa menyesatkan.

Tugas Analyst: Menjaga Akal Sehat di Tengah Lautan Data

Seorang data analyst yang aktif di lapangan biasanya sudah bisa “cium” hal-hal aneh kayak gini. Mereka sadar bahwa angka yang naik belum tentu karena strategi yang diterapkan, tapi bisa karena faktor eksternal yang nggak kelihatan di laporan. Mereka tahu kapan harus bilang, “Angka ini harus dibaca ulang,” atau “Kita jangan buru-buru ambil kesimpulan dari data ini.”

Dan itu nggak gampang. Butuh keberanian. Karena banyak yang, saking percayanya sama sistem otomatis, jadi lupa untuk mempertanyakan. Padahal, mempertanyakan data bukan berarti nggak percaya. Justru itu tanda tanggung jawab. Karena kalau semua keputusan diambil cuma dari angka mentah, tanpa ngelihat sisi manusianya, maka kemungkinan salah arahnya juga makin besar.

Contoh Keseharian yang Sangat Dekat

Coba bayangin kamu lagi bantuin tim kecil yang jualan makanan ringan lewat media sosial. Di satu minggu, angka klik iklan naik banget. Tim senang. Tapi kamu malah ngerasa aneh, karena kamu tahu minggu itu bertepatan sama libur panjang sekolah. Orang-orang memang lagi banyak waktu senggang, dan otomatis lebih banyak scroll-scroll. Jadi bukan iklannya yang makin menarik, tapi emang suasana hariannya yang mendukung.

Atau di contoh lain, ada data yang nunjukin penjualan produk varian B naik drastis setelah caption-nya diubah jadi lebih formal. AI mungkin anggap perubahan gaya bahasa ini berhasil. Tapi setelah kamu telusuri, ternyata dalam seminggu itu juga banyak review positif dari pembeli yang nyebar di grup percakapan atau forum. Nah, ini pengaruh yang besar tapi nggak langsung tercermin di dashboard. Dan ini nggak akan terbaca kalau kita cuma lihat angka tanpa memahami konteks.

Inti dari Semua Ini: Integritas Narasi di Atas Semua

Yang bikin seorang data analyst relevan dan penting itu bukan karena dia bisa bikin model prediksi canggih atau grafik yang keren. Tapi karena dia bisa jaga narasi tetap utuh dan jujur. Dia bisa bilang “Jangan buru-buru percaya angka ini” tanpa takut disalahpahami. Dia paham bahwa di balik setiap angka ada kemungkinan bias, dan dia mau kerja lebih jauh untuk memastikan bahwa kesimpulan yang diambil benar-benar mewakili realitas.

Menjaga integritas narasi itu berarti menyadari bahwa data itu alat bantu, bukan kebenaran mutlak. Sama seperti kacamata — dia bantu kita melihat lebih jelas, tapi kalau kacamatanya buram atau lensanya miring, ya pandangan kita juga akan keliru. Dan cuma manusia — bukan mesin — yang bisa tahu apakah lensa itu perlu diseka dulu atau diganti sama yang lebih cocok.

Bukan Cuma Ngerti Angka, Tapi Juga Ngerti Cerita di Baliknya

Di lingkungan kerja yang kecil atau menengah, biasanya data analyst nggak duduk sendirian ngadepin spreadsheet dari pagi sampai sore. Mereka bisa aja sore harinya ngobrol bareng tim produksi, lalu malamnya diminta bantuin ngecek kenapa konten hari itu engagement-nya turun. Dan dari interaksi itu, perlahan muncul kebiasaan: 

  • si analis ini jadi tahu lebih banyak soal cara kerja tim lain. Lama-lama, dia bukan cuma tahu data, tapi ngerti pola-pola yang nggak selalu tercatat.

Misalnya, di satu sore menjelang akhir pekan, angka konversi dari iklan kelihatan turun. Awalnya tim kreatif ngerasa konten yang mereka bikin kurang kuat. Tapi analis yang udah terbiasa dengerin keluhan pelanggan dan ngobrol santai sama tim CS, langsung nyambung: 

  • “Kayaknya ini gara-gara sistem pembayaran yang sempet delay dua jam sore tadi. Banyak yang klik, tapi gagal bayar.”

Kalau si analis ini cuma duduk di balik angka, mungkin dia bakal lewatkan hal itu. Tapi karena dia juga ikut masuk ke percakapan, dia bisa nyambungin titik-titik yang kelihatan acak, lalu jadiin kesimpulan yang relevan dan bisa langsung ditindaklanjuti.

Bahasa yang Bikin Semua Nyambung

Satu kekuatan penting yang sering nggak disorot: kemampuan ngomong pakai bahasa yang gampang dipahami semua pihak. Ini bukan soal bahasa teknis atau gaya presentasi. Tapi soal cara menjelaskan sesuatu pakai bahasa sehari-hari. Bahasa yang nggak bikin orang harus buka kamus atau nanya balik “maksudnya apa?”

Data analyst yang jago di titik ini bisa ngobrol sama tim kreatif tanpa bikin mereka ngerasa diajak debat statistik. Dia juga bisa duduk bareng tim operasional tanpa harus tampil sok tahu soal sistem. Bahkan dia bisa bantu jelasin hasil analisis ke atasan tanpa nyodorin grafik yang ribet — cukup bilang, “Kayaknya bukan masalah konten, tapi sistem bayarnya yang sempet lambat.” Selesai. Semua paham. Dan itu berharga banget.

Masuk ke Dinamika yang Nggak Tertulis

Hal-hal yang paling penting di tim kerja kadang justru nggak pernah masuk laporan. Misalnya suasana ruang kerja yang lagi tegang karena target nggak nyampe, atau perubahan kecil di halaman checkout yang ternyata bikin orang bingung, tapi nggak ada yang sempat nyatet. Atau shift customer service yang malam itu lagi kekurangan orang, jadi banyak DM pelanggan telat dibalas.

Nah, kalau analis cuma pegang angka dan laporan formal, semua itu nggak akan kelihatan. Tapi kalau dia juga jadi bagian dari obrolan harian, dia bakal bisa tangkap semua itu sebagai bahan refleksi. Bukan buat dikritik, tapi buat dimengerti. Karena angka itu cuma permukaan — cerita sebenarnya sering ada di lapisan bawahnya.

Peran yang Semakin Strategis

Kalau dulu peran data analyst cenderung “di belakang layar”, sekarang mereka makin sering ada di tengah. Bukan buat tampil, tapi karena memang dibutuhkan di tengah. Mereka jadi tempat bertemu antara “apa yang terjadi” dengan “kenapa itu terjadi”. Antara “angka turun” dan “situasi real di lapangan”. Dan itu nggak bisa digantiin sama AI atau automation, karena yang dibutuhkan bukan sekadar akurasi, tapi kepekaan.

Ketika seorang analis bisa ngobrol dengan semua tim pakai bahasa yang dimengerti, bisa narik kesimpulan yang nyambung sama kejadian nyata, dan bisa ngejaga supaya semua pihak tetap punya gambaran utuh, maka dia nggak lagi cuma bagian dari tim — dia jadi penghubung antarbagian. Dan justru itu yang bikin kehadirannya krusial.

Yang Berubah Bukan Sekadar Tools, Tapi Fokus dan Nilai Kerja

Dulu, keahlian utama data analyst dilihat dari seberapa mahir mereka nulis query, bikin pivot, atau bersih-bersih file mentah. Dan memang itu penting, karena kalau datanya berantakan, ya semua analisis bisa meleset. Tapi sekarang, bagian teknis itu udah makin banyak dibantu sistem. Tools baru bisa otomatis nyatuin data dari banyak sumber, mendeteksi error kecil, bahkan ngerangkum angka dalam bentuk grafik.

  • Tapi di titik ini justru muncul pertanyaan yang jauh lebih dalam: "Lalu setelah grafiknya jadi, lalu apa?"

Nah, di sinilah peran baru itu muncul. Seorang data analyst yang kuat sekarang dituntut untuk bukan cuma melihat angka, tapi merasakan arah. Bukan cuma bilang “penurunan 20%”, tapi mampu menyampaikan “penurunan ini terjadi karena pelanggan merasa jenuh dengan pola promosi yang itu-itu aja”. Ini bukan hasil dari rumus. Ini hasil dari keterlibatan, dari sensitivitas terhadap perilaku manusia yang tidak tertulis dalam spreadsheet.

Bukan Pembuat Grafik, Tapi Pengurai Cerita

Angka itu bisa terlihat meyakinkan, tapi angka juga bisa bikin salah paham kalau dibaca kaku. Contoh paling sederhana: 

  • grafik naik belum tentu berarti bagus, grafik turun belum tentu buruk. Bisa aja penurunan itu bagian dari pola yang muncul setiap tanggal tua. Atau sebaliknya, lonjakan besar justru terjadi karena ada satu faktor luar biasa yang nggak bisa diulang—misalnya efek dari momen tertentu yang hanya terjadi setahun sekali.

Di titik ini, data analyst berubah jadi semacam “penerjemah realitas”. Mereka membaca angka, tapi tidak berhenti di sana. Mereka mencari makna, menelusuri konteks, dan menjembatani data dengan kejadian nyata di lapangan. Karena pada akhirnya, yang penting bukan grafiknya, tapi ceritanya. Grafik itu visualisasi. Cerita itu pemahaman.

Makin Otomatis Dunia, Makin Dihargai yang Bisa Berpikir Dalam

Ada satu ironi menarik dalam dunia yang makin digital: 

  • makin banyak proses yang bisa dikerjakan otomatis, makin dibutuhkan manusia yang bisa berpikir tidak otomatis. Dalam artian, seseorang yang bisa merespon dengan empati, yang bisa membaca nuansa, dan yang bisa nyambungin antara hal teknis dan perasaan manusia.

Misalnya dalam satu proyek, sistem AI bisa bilang bahwa promosi minggu lalu sukses karena angka klik-nya tinggi. Tapi analis yang ikut ngobrol sama tim CS tahu bahwa banyak klik itu justru diiringi banyak komplain karena sistem checkout sempat error. Kalau analis ini cuma lihat angka, dia mungkin ikut setuju itu sukses. Tapi karena dia juga ikut dengar cerita dari pelanggan, dia bisa kasih gambaran yang lebih utuh.

Dan di sinilah poin pentingnya: 

kepekaan seperti ini nggak bisa diprogram. Dia harus dibentuk lewat keterlibatan, lewat kebiasaan mengamati, dan lewat kemampuan mendengar hal-hal kecil yang kadang nggak masuk laporan.

Yang Membuat Relevan Bukan Gelar atau Tools, Tapi Kepekaan

Jadi kesimpulannya begini: 

  • data analyst yang tetap relevan di era otomatisasi bukanlah mereka yang hafal banyak tools, tapi mereka yang tahu kapan harus berhenti melihat dashboard, dan mulai mendengarkan realitas.

Mereka adalah orang-orang yang bisa bikin data “berbicara” dengan bahasa yang dipahami semua orang di tim. Mereka nggak cuma tahu tren, tapi tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik tren itu. Dan yang paling penting: mereka tetap punya posisi strategis justru karena mereka membawa nilai yang sangat manusiawi—berpikir kritis, menyampaikan dengan jernih, dan memahami konteks yang tidak bisa dijelaskan angka.

Itulah kenapa data analyst sekarang bukan “tukang ngolah angka” lagi. Mereka adalah pengurai cerita dari balik data, penafsir arah dari pola yang terus bergerak, dan penjaga nalar di tengah ledakan informasi. Peran mereka bukan turun, tapi justru tumbuh jadi jauh lebih penting.

Posting Komentar untuk ""Penerjemah Data Bisnis: Transformasi Peran Data Analyst di Era AI""