Scroll itu Candu, Menulis itu Vaksin: Menjadi Tuan di Negeri Distraksi
![]() |
Scroll itu candu, Menulis itu Vaksin Gambar : gorbysaputra.com |
Scroll medsos candu instan, menulis vaksin jiwa. Temukan cara membalik kecanduan digital jadi kekuatan kreatif generasi muda. Berhenti konsumsi, mulailah cipta!
Kita semua kenal rasa gatal di jempol itu. Bangun tidur? Scroll. Antri kopi? Scroll. Mata berat mau tidur? Scroll dulu, siapa tau ada yang seru. Hidup kita, generasi layar sentuh ini, kadang terasa seperti jadi tikus dalam labirin algoritma.
Tikus yang dengan taat berlari memutar roda, dikasih cheese berupa notifikasi merah, like berderet, atau story mantan yang lagi liburan. Nikmat? Sementara. Memuaskan? Sebentar.
Bikin kecanduan? Wah, jangan ditanya! Seperti kata filsuf kelakuan kita sendiri, Blaise Pascal, "All of humanity's problems stem from man's inability to sit quietly in a room alone." Coba ganti "duduk diam" dengan "menulis satu paragraf tanpa buka IG" – bam! – inti masalahnya kena.
Tapi di tengah epidemi scroll ini, ada kelompok aneh: mereka yang kecanduan... menulis. Ya, menulis! Bukan cuma status galau atau cuitan politik panas. Tapi menulis puisi di notes aplikasi, ngerjain fanfiction sampe subuh, ngeblog tentang resep tempe mendoan, atau sekadar curhat di jurnal pribadi.
Mereka ini seperti menemukan oasis di gurun gurun digital. Pertanyaannya: Kenapa kecanduan mereka terasa berbeda?
Kenapa kecanduan menulis tak secandu scroll medsos? Mari kita bedah, Santai saja, anggap kita lagi ngopi bareng.
Labirin Dopamin vs. Taman Kepuasan Eudaimonia: Anatomi Dua Kecanduan
Bayangkan otak kita seperti pabrik kimia rumit. Setiap kali jempol kita swipe up, melihat like bertambah, atau baca update drama, pabrik ini memompa keluar dopamin – si molekul "asyik nih, lagi!". Ini sistem imbalan instan. Seperti mesin slot di kasino digital, kita terus mencoba, dapat sedikit reward, lalu ingin lagi. Scroll itu candu instan, gratisan, dan selalu tersedia 24/7.
Seperti kata psikolog perilaku, B.F. Skinner, kita dikondisikan oleh variable rewards – hadiah yang muncul secara acak dan tak terduga, membuat kita terus mencoba. Notification itu adalah bel Skinner modern.
Nah, kecanduan menulis? Itu cerita lain. Prosesnya bukan swipe lalu boom dopamin. Ini lebih mirip mendaki gunung.
Awalnya berat: tatap layar kosong, buntu, kata-kata macet. Frustrasi! Tapi saat ide mulai mengalir, saat kalimat menemukan bentuknya, saat tulisan akhirnya selesai – ah, muncul rasa puas yang dalam, hangat, dan bertahan lama.
Psikolog positif Mihaly Csikszentmihalyi menyebutnya "flow"– keadaan di mana kita sepenuhnya terserap, waktu berlalu tanpa terasa, dan tindakan kita selaras dengan tantangan. Ini bukan sekadar dopamin (kesenangan), tapi eudaimonia (kesejahteraan jiwa, aktualisasi diri). Seperti petani yang puas melihat tanamannya tumbuh subur setelah berbulan-bulan bersusah payah, bukan sekadar jajan bakso enak.
"Writing is perhaps the greatest of human inventions, binding together people who never knew each other, citizens of distant epochs. Books break the shackles of time."- Carl Sagan.Scroll medsos mungkin mengikat kita dengan trend hari ini, tapi tulisan mengikat kita dengan manusia lintas zaman.
Dikte Algoritma vs. Kedaulatan Pikiran: Siapa yang Mengendalikan Siapa?
Coba ingat kapan terakhir kali kamu scroll medsos dan benar-benar merasa "Wah, otakku jadi lebih enak setelah ini!"? Susah, kan? Medsos dirancang untuk engage, bukan untuk enrich.
Algoritma itu seperti sutradara licik yang tahu persis drama mana yang bikin kamu emosi, konten mana yang bikin kamu iri, info mana yang bikin kamu click. Ia menyodorkan apa yang populer atau viral, bukan apa yang penting atau bermakna buatmu.
Kita jadi konsumen pasif, dikte oleh feed yang disetir oleh logika kapitalisme perhatian. Sosiolog Zygmunt Bauman menyebut era ini "liquid modernity"– segala sesuatu cair, dangkal, cepat berlalu.
Scroll medsos adalah anak kandung semangat zaman ini: konsumsi cepat, habis, lalu cari lagi. Kita dijual ke pengiklan, dan waktu kita – sumber daya paling berharga – dikuras tanpa kita sadari.
Menulis? Itu adalah tindakan pemberontakan terhadap arus ini. Saat menulis, kitalah sutradaranya. Kitalah yang memilih kata, menyusun argumen, mengolah emosi, menentukan alur. Ini adalah praktik kedaulatan kognitif.
Kita memaksa otak tidak sekadar memproses informasi instan, tapi menciptakan, menganalisis, mensintesis. Seperti tukang kayu yang membentuk balok menjadi kursi, penulis membentuk pikiran menjadi tulisan.
Menulis adalah meditasi aktif. Ia memerlukan keheningan (walau hanya di dalam kepala), fokus, dan keberanian untuk berdialog dengan diri sendiri dan gagasan.
Jean-Paul Sartre bilang, "Freedom is what you do with what's been done to you." Menulis adalah salah satu cara kita mempraktikkan kebebasan itu – merespons dunia, bukan sekadar menelannya mentah-mentah.
"If you want to change the world, pick up your pen and write."- Martin Luther.
Di era di mana perhatian kita diperebutkan, menulis adalah bentuk perlawanan sekaligus reklamasi diri.
Ekonomi Perhatian yang Tersesat: Dari Konsumen ke Pencipta
Kita hidup di "Ekonomi Perhatian". Waktu dan fokus kita adalah mata uang baru. Setiap scroll, kita membayar platform dengan mata uang itu.
Hasilnya? Kita sering merasa lelah tapi tak berisi, update tapi tak paham, terkoneksi tapi kesepian.
Antropolog seperti Sherry Turkle sudah memperingatkan tentang "Alone Together" – kesendirian dalam keramaian digital. Kita stalking kehidupan orang lain sambil mengabaikan kedalaman hidup kita sendiri.
Scroll adalah aktivitas ekstraktif: menguras energi mental tanpa mengisi ulang.
Menulis, sebaliknya, adalah ekonomi produktif. Kita menginvestasikan waktu dan perhatian, lalu menuai hasil: sebuah tulisan, klarifikasi pikiran, pemahaman baru, bahkan mungkin solusi untuk masalah yang mengganggu.
Ia membangun capital intelektual dan emosional. Menulis tentang kegalauan bisa jadi terapi murah meriah (seperti yang diungkapkan psikolog James W. Pennebaker soal manfaat menulis ekspresif).
Menulis tentang pelajaran bisa memperdalam pemahaman. Menulis cerita bisa melatih empati. Dari konsumen isi ( content consumer ), kita menjadi pencipta isi ( content creator ) dalam arti yang sesungguhnya dan otentik.
Bukan demi follower, tapi demi diri sendiri dan mungkin, sedikit menggetarkan dunia.
Sebagaimana disindir tajam oleh penulis Ursula K. Le Guin: "The creative adult is the child who survived." Menulis membantu kita bertahan dan berkembang, bukan sekadar menghabiskan waktu.
Membajak Kecanduan: Dari Scroll Junkie Jadi Word Warrior
"Oke, teori keren," mungkin kamu bergumam, "Tapi aku emang kecanduan scroll. Gimana pecahinnya dan mulai kecanduan nulis yang lebih sehat ini?" Tenang, ini bukan soal cold turkey berhenti scroll total. Itu utopis.
Ini soal mengalihkan energi kecanduan.
Kenali Trigger & Ganti Responsnya:Apa pemicu scroll-mu? Bos? Stres? Loneliness? Saat trigger itu datang, jangan langsung jangkau ponsel. Ambil napas. Ambil alat tulis (buku, notes app). Tulis satu kalimat saja: "Aku bosan karena..." atau "Aku stres tentang...". Ganti *instant scroll dengan instant write.
Start Microscopically, Win Daily: Jangan langsung target nulis novel. Target nulis 1 paragraf (bahkan 1 kalimat!) jujur tentang harimu. Atau 3 ide gila yang muncul di kepala. Konsistensi kecil mengalahkan intensitas sesaat.
Seperti kata Seneca, "As is a tale, so is life: not how long it is, but how good it is, is what matters."Fokus pada kualitas momen menulis, bukan panjangnya.
Cari "Flow" di Platform Itu Sendiri: Manfaatkan medsos secara aktif, bukan pasif! Daripada cuma scroll, jadilah kontributor mikro. Tulis thread pendek di Twitter tentang buku yang baru dibaca. Buat caption bermakna di IG tentang foto biasa. Ubah story jadi micro-blog. Jadikan medsos sebagai papan publikasi, bukan hanya pusat hiburan.
Buat Ritual Bebas Gawai: Sediakan waktu 15 menit pagi atau malam tanpa gawai. Cuma buku tulis dan pulpen (atau laptop offline). Lindungi waktu kecil ini bagai benteng pertahanan jiwa. Isi dengan coretan bebas, puisi jelek, atau rencana hari ini. Rasakan bedanya.
Temukan Komunitas yang "Ngegas": Cari komunitas (online/offline) yang suka menulis atau diskusi serius. Bergaul dengan orang yang kecanduan berpikir, bukan sekadar update.
Refleksikan "Biaya" Scroll: Sebelum scroll, tanyakan: "Apa yang benar-benar aku cari? Apa value-nya buat aku 10 menit lagi?" Sadari bahwa setiap swipe adalah pilihan yang punya opportunity cost.
![]() |
Menulis itu Vaksin, Scroll Itu Candu Gambar : gorbysaputra.com |
Tangan yang Menulis adalah Tangan yang Merdeka
Generasi kita dihadapkan pada tantangan paradoks: terkoneksi secara global, tapi sering teralienasi secara personal; memiliki akses informasi tak terbatas, tapi kesulitan menemukan makna; punya alat yang bisa digunakan untuk mencipta, tapi lebih sering dipakai untuk mengonsumsi. Kecanduan scroll medsos adalah gejala dari zaman yang membanjiri kita dengan stimulasi tapi miskin kedalaman.
Kecanduan menulis, dalam konteks ini, bukan sekadar hobi alternatif. Ia adalah strategi bertahan hidup secara kognitif dan emosional. Ia adalah vaksin terhadap distraksi massal, alat untuk mereklamasi kedaulatan atas pikiran dan perhatian kita, serta sarana untuk menemukan agency (keberdayaan) di tengah arus algoritma yang kuat.
Menulis itu seperti skateboard di tengah jalanan yang penuh mobil cepat. Scroll medsos itu mobil cepatnya – keren, kilat, tapi kita cuma penumpang yang dibawa kemana-mana. Menulis? Itu skateboardnya. Butuh usaha untuk belajar, bisa jatuh berkali-kali, terlihat lambat bagi yang di mobil, tapi sensasinya? Luar biasa! Kau yang mengendalikan arah. Kau yang merasakan setiap hempasan angin, setiap tantangan jalanan. Kau yang menentukan tujuan. Dan saat kau menguasainya, tak ada yang bisa menyamai kepuasan meluncur dengan karya sendiri.
Scroll memberi kita ilusi kendali. Menulis memberi kita kendali yang sesungguhnya. Scroll memenuhi kita dengan suara orang lain. Menulis membantu kita mendengar suara sendiri. Scroll adalah konsumsi. Menulis adalah kreasi. Scroll adalah candu yang ditawarkan gratis tapi dibayar mahal dengan waktu dan fokus. Menulis adalah investasi yang awalnya sulit, tapi hasilnya adalah kekayaan batin yang tak ternilai.
Jadi, generasi muda, pemuda pelajar, mahasiswa calon pemimpin: Saat jempolmu gatal lagi, tahan sebentar. Ambil alat tulismu. Mulai dengan satu kata. Lalu kata berikutnya. Dan berikutnya. Ubah kecanduan konsumsimu menjadi kecanduan produksi. Karena di ujung jari yang mencipta itulah, masa depan yang lebih sadar dan bermakna dimulai.
Seperti pesan abadi dari Pramoedya Ananta Toer, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Jangan hanya jadi penikmat sejarah digital. Mulailah menulis sejarahmu sendiri.
Posting Komentar untuk "Scroll itu Candu, Menulis itu Vaksin: Menjadi Tuan di Negeri Distraksi"