Strategi Content Marketing di Era AI: Sentuhan Manusia Tak Tergantikan
![]() |
Strategi Content Marketing di Era AI : Sentuhan Manusia Tak Tergantikan Gambar : gorbysaputra.com |
FAQ
Apa kelemahan utama AI dalam content marketing?
- AI tidak paham konteks budaya, emosi lokal, dan pengalaman hidup manusia, sehingga konten terasa generik dan kurang menyentuh audiens spesifik.
Bagaimana kolaborasi ideal antara manusia dan AI untuk konten?
- Manusia sebagai director (tentukan strategi, konteks budaya, standar emosional), AI sebagai executor (produksi konten teknis berdasarkan panduan manusia).
Skill apa yang paling dibutuhkan di era AI?
- Kepekaan membaca konteks sosial, menyusun sistem konten lintas platform, dan kemampuan prompt engineering berstandar budaya lokal.
Mengapa konten AI sering "hambar" untuk pasar Indonesia?
- AI tidak mengerti nuansa seperti logat daerah, selera humor lokal, atau asosiasi emosional (misal: "nasi hangat saat hujan" vs "makan pedas di kantor").
Bagaimana mengukur keberhasilan konten berbasis AI?
- Bukan hanya dari engagement, tapi konversi dan retensi audiens. Contoh: Apakah konten mi instan AI bikin orang beli atau sekadar like?
Peran baru apa yang muncul di bidang konten karena AI?
- Creative Ops Strategist (bangun sistem produksi konten), Brand Narrative Architect (susun cerita merek berbasis budaya), dan AI Insight Curator (olah data jadi strategi kontekstual).
AI Bisa Meniru Bentuk, Tapi Belum Bisa Menyentuh Rasa
Misalnya, AI bisa bikin video promosi produk makanan. Secara teknis: visualnya menarik, ada efek suara yang menggugah, bahkan copywriting-nya bisa seperti iklan TV. Tapi… apakah itu berhasil membuat orang lapar? Belum tentu.
Kenapa?
- Karena rasa lapar yang dimaksud di sini bukan soal melihat makanan, tapi soal:
Apakah makanan itu terasa akrab?
- Apakah gaya pengambilan gambarnya cocok dengan selera orang Indonesia, bukan gaya ala iklan makanan cepat saji dari luar negeri?
- Apakah makanan itu diasosiasikan dengan “kenangan makan bareng keluarga saat hujan”, atau sekadar “makanan hangat”?
Ini bukan sekadar soal desain. Tapi soal koneksi emosional yang relevan.
- Dan koneksi itu sangat tergantung pada konteks sosial & budaya.
Contoh nyata dan dekat dengan keseharian:
Iklan sambal atau mi instan. Di satu kota, menampilkan adegan orang makan sambal dengan nasi hangat bisa sangat menggugah dan langsung terasa “ngena”. Tapi di kota lain, budaya makannya berbeda — tidak semua orang mengasosiasikan makan pedas dengan kenyamanan. Kalau AI menyamaratakan konten itu, bisa saja hasilnya “bagus tapi hambar”. Secara teknis oke, tapi tidak menyentuh rasa lokal.
AI bisa menghasilkan script untuk iklan produk ibu dan anak. Tapi AI tidak bisa secara otomatis memahami perasaan ibu di pedesaan yang hidup tanpa akses internet, yang maknanya tentang “produk bayi yang aman” jauh berbeda dengan ibu muda di kota besar yang mikirin merek, estetika, dan review. Padahal dua-duanya penting — tapi konteksnya berbeda.
![]() |
Strategi Content Marketing di Era AI Gambar : gorbysaputra.com |
Wilayah Keputusan yang Membutuhkan “Rasa”
AI bisa memberi rekomendasi: “ini konten yang punya engagement tinggi”. Tapi hanya manusia yang bisa memutuskan:
- “Tapi apakah ini pantas dibagikan sekarang?”
- “Apakah ini akan menyinggung komunitas tertentu?”
- “Apakah ini terasa benar untuk waktu dan audiens yang kita sasar?”
Contoh nyata:
- AI bisa menyarankan hashtag populer. Tapi hanya manusia yang tahu, misalnya: pakai #mabar (main bareng) untuk promosi produk laptop kerja bisa terasa aneh — karena konteksnya tidak nyambung. AI hanya tahu bahwa #mabar sedang tren, tapi tidak tahu makna sosial di balik penggunaan hashtag itu.
- AI bisa membuat desain promosi hari raya. Tapi tidak bisa menangkap nuansa halus — misalnya, bahwa di beberapa daerah, warna tertentu pada hari raya dianggap terlalu mencolok atau tidak sopan. Ini bukan soal estetika, tapi soal sensitivitas budaya.
Pengetahuan Lokal Itu Bukan Data — Tapi Pengalaman
Hal-hal seperti logat, selera humor, waktu orang online, cara bercanda, cara menyampaikan kritik — semuanya sangat lokal dan sangat manusiawi. Bahkan di satu negara, bisa berbeda jauh antara kota besar dan pinggiran.
Contoh konkret yang sering terjadi:
- Copywriting produk skincare. AI bisa menghasilkan kalimat seperti: “Memberi kesegaran pada kulit setiap pagi.”
- Tapi manusia bisa menulis: “Buat kamu yang bangun pagi kulitnya masih kayak abis lembur.”
Yang satu terdengar generik, yang satu terasa akrab dan relatable.
- Yang kedua itu bukan hasil “belajar grammar” atau “latihan algoritma”. Tapi hasil dari mengalami dan mengamati kehidupan nyata. Dan itu tidak bisa dipalsukan oleh AI.
Jadi Apa yang Tidak Tergantikan?
Jawabannya: kemampuan manusia untuk membaca konteks dan menciptakan makna.
- AI bisa menyarankan. Tapi manusia yang menentukan: apakah ini tepat?
- AI bisa menghasilkan 10 versi. Tapi manusia yang bisa merasakan: mana yang akan membuat orang merasa “gue banget”.
- AI bisa meniru gaya. Tapi manusia yang bisa menciptakan gaya baru yang tumbuh dari perubahan zaman, tren sosial, atau kegelisahan nyata yang belum ada di data.
Maka...
Orang yang akan tetap relevan ke depan bukan yang paling jago teknis, tapi yang paling peka terhadap apa yang dirasakan orang lain, kapan, di mana, dan kenapa. Bukan soal jadi “seniman” atau “filosof”, tapi tentang bisa berpikir dan merasa secara kontekstual. Dan itu cuma bisa dilatih lewat pengalaman, kepekaan, dan kesadaran sosial.
Inilah wilayah yang tidak bisa digantikan. Dan justru di sinilah peluang terbesar manusia — di tengah dunia yang makin otomatis, suara manusia yang otentik dan tepat konteks akan jadi makin langka dan berharga.
![]() |
AI Bantu Produksi Konten, tapi Manusia ciptakan makna & Konetksi emosional Gambar : gorbysaputra.com |
1. AI Hanya Sekuat Arahan yang Diberikan
AI seperti ChatGPT, Midjourney, DALL·E, atau tools lainnya bukan kreator yang berpikir sendiri, melainkan alat yang bekerja berdasarkan pola dan arahan yang kita berikan. Arahan inilah yang disebut prompt. Tanpa arahan yang tepat dan jelas, hasilnya juga akan rata-rata, generik, bahkan salah konteks.
Contoh nyata dalam keseharian:
Misalnya kamu ingin membuat konten Instagram untuk brand minuman herbal:
Kalau hanya ketik:
“Buat caption minuman sehat,” hasilnya akan jadi seperti:
- “Minuman sehat untuk gaya hidupmu yang aktif.”
Ini terdengar seperti puluhan merek lain.
Tapi kalau kamu arahkan begini:
- “Tulis caption dengan gaya santai, target ibu-ibu muda usia 25–35 tahun, tinggal di kota, peduli kesehatan tapi gak suka gaya sok pintar, dan lagi musim panas.”
Maka hasilnya akan jauh lebih sesuai, misalnya:
- “Pas siang panas, nggak harus ngopi terus. Coba yang seger, yang gak cuma bikin melek tapi juga jaga badan tetap fit.”
Prompt yang kaya konteks membuat AI menghasilkan konten yang lebih relevan dan bisa ‘nyambung’ dengan audiens. Inilah peran penting seorang Prompt Designer atau AI Strategist.
2. Bukan Sekadar Memakai, Tapi MENGARAHKAN AI
Menjadi pengarah berarti kamu tidak bergantung pada AI untuk berpikir, tapi kamu menentukan standar, gaya, dan arah produksi konten yang AI bantu eksekusi.
Contoh nyata yang dekat:
Bayangkan kamu mengelola akun TikTok untuk brand skincare:
AI bisa bantu bikin 10 ide video.
Tapi hanya kamu yang bisa menentukan, dari 10 itu, mana yang cocok untuk audiens Gen Z, jam berapa harus tayang, dan gaya ngomong seperti apa yang cocok agar tidak terdengar seperti jualan kaku.
Contoh lain:
Banyak brand sekarang tidak mencari penulis, tapi orang yang bisa merancang sistem konten otomatis, misalnya:
- Menulis template prompt untuk tiap hari Senin temanya "Self-care tip", tiap Rabu temanya "Behind the scene produk", dan seterusnya.
- Lalu, membuat struktur tone-of-voice-nya: serius atau santai? pakai emoji atau tidak? panjang atau pendek?
Setelah itu, AI tinggal “disuapi” dengan sistem tersebut.
Itulah yang disebut pekerjaan seperti:
🧠AI Creative Director atau
🧩 AI Content Strategist — yang saat ini memang benar-benar mulai dicari oleh bisnis yang ingin efisien tapi tetap terasa “manusiawi”.
3. Bagaimana Cara Mempelajarinya Secara Nyata dan Relevan?
Ini bukan soal belajar coding. Justru yang dibutuhkan adalah cara berpikir seperti editor dan kreator, bukan hanya pengguna. Fokusnya bukan pada bagaimana menulis caption bagus, tapi bagaimana membuat AI bisa menulis ratusan caption dengan kualitas yang tetap stabil.
Langkah-langkah konkret:
a) Latih Prompt yang Terstruktur
Mulai dari kebiasaan kecil. Saat pakai ChatGPT atau alat AI lain, jangan asal ketik. Biasakan menulis dengan struktur seperti:
- Siapa audiensnya?
- Platform apa yang dipakai?
- Nada bicara seperti apa?
- Tujuannya untuk apa? (menghibur, menjelaskan, meyakinkan?)
- Contoh output seperti apa?
Contoh konkret prompt yang buruk:
- “Tulis artikel tentang skincare alami.”
Contoh prompt yang terarah:
“Buat artikel pendek 300 kata, untuk pembaca perempuan usia 20–30 tahun yang mulai tertarik pakai skincare alami, dengan gaya bahasa ringan dan percaya diri, pakai subjudul, dan diakhiri dengan ajakan untuk coba salah satu bahan alami.”
![]() |
Buka Strateginya Gambar : gorbysaputra.com |
b) Belajar Jadi Editor, Bukan Hanya Penulis
Penulis fokus pada “menulis”.
Editor fokus pada:
- Apakah ini sesuai konteks?
- Apakah ini selaras dengan identitas brand?
- Apakah gaya bahasanya stabil di semua platform?
Dengan pendekatan ini, kamu bisa mengevaluasi hasil dari AI, lalu memberi revisi pada prompt, bukan output-nya.
c) Uji Coba Lintas Model dan Platform
Coba bandingkan hasil dari:
- ChatGPT vs Gemini vs Claude untuk teks.
- Midjourney vs DALL·E untuk visual.
- Descript vs ElevenLabs untuk audio.
Lalu analisis:
- Mana yang cocok untuk gaya lucu?
- Mana yang bagus untuk yang bernuansa serius?
- Mana yang lebih bisa dikontrol nadanya?
Ini seperti belajar memilih kuas dalam melukis — bukan soal siapa yang lebih canggih, tapi siapa yang lebih pas untuk tujuan tertentu.
4. Profesi Ini Bukan Masa Depan. Sudah Terjadi Sekarang.
Bukan sekadar prediksi. Banyak perusahaan digital, agency, hingga UMKM sekarang tidak mencari lagi orang untuk "bikin konten satu-satu", tapi mencari orang yang bisa:
- Menulis sistem prompt.
- Membuat panduan nada bicara brand.
- Menyiapkan struktur konten mingguan.
- Mengontrol kualitas output dari AI — dan tahu kapan harus intervensi manual.
Profesi seperti:
- Prompt Engineer
- AI Campaign Manager
- Digital Content System Builder
Sudah muncul di lingkup pekerjaan lepas, agency, maupun in-house.
Yang Dicari Bukan Sekadar Mahir Pakai AI — Tapi Pandai Mengarahkan
AI tidak akan menggantikan manusia yang mampu mengatur alur berpikir, menyusun kerangka ide, dan memimpin proses kreatif. Yang akan tergeser adalah mereka yang hanya mengeksekusi tanpa paham konteks.
Maka, skill yang benar-benar dibutuhkan adalah:
- Kejelian membaca situasi
- Kemampuan membingkai ide dengan arah yang jelas
- Konsistensi dalam menyusun standar kualitas
Dan tentu: kemampuan adaptasi terhadap perkembangan alat
Jadi, bukan soal “takut disalip AI” — tapi soal apakah kita mampu berdiri di atas AI, bukan sekadar mengikutinya.
- Jika kamu bisa berpikir seperti sutradara, bukan sekadar kameramen — maka AI justru jadi alat bantu paling kuat yang pernah ada.
AI Bisa Bikin Visual, Tapi Belum Bisa Menafsirkan Makna Visual Secara Kontekstual
Saat ini, tools berbasis AI seperti Midjourney, DALL·E, atau Canva dengan AI generator bisa menghasilkan ribuan gambar dalam waktu sangat singkat. Bahkan cukup dengan prompt sederhana seperti “kemasan minuman sehat dengan gaya modern dan warna pastel,” kita bisa langsung mendapatkan puluhan opsi desain visual.
Tapi tantangannya bukan di situ.
Yang lebih penting adalah:
- Apakah desain itu nyambung dengan selera target market?
- Apakah gaya desainnya terasa sesuai budaya lokal?
- Apakah pilihan font, warna, dan ilustrasi menimbulkan emosi tertentu saat dilihat oleh orang dengan pengalaman hidup tertentu?
Contoh nyatanya:
Misalnya kamu bikin desain kemasan untuk produk teh herbal yang menyasar perempuan usia 35 tahun ke atas di kawasan urban Indonesia:
- Desain yang terlalu minimalis mungkin dianggap terlalu “kosong” oleh kelompok ini, karena mereka terbiasa dengan visual yang agak padat atau punya unsur alami (daun, bunga, akar).
- Jika menggunakan ilustrasi feminin yang terlalu muda (gaya flat design ala Gen Z), mereka bisa merasa ini bukan untuk mereka.
- Jika pakai nama yang terasa asing atau kebarat-baratan, bisa jadi menimbulkan jarak emosional.
Inilah wilayah yang belum bisa dikuasai AI sepenuhnya, karena pemilihan ini bukan cuma soal visual — tapi tentang makna sosial, kebiasaan konsumsi, persepsi, dan pengalaman hidup.
![]() |
Sentuhan Manusia Tak Tergantikan Gambar : gorbysaputra.com |
Karier yang Tumbuh dari Ranah Ini Bukan Lagi Desainer, Tapi Penafsir Makna
Kemampuan yang dibutuhkan sekarang bukan cuma “bisa bikin desain”, tapi bisa menghubungkan desain dengan persepsi dan pengalaman target audiens.
Inilah kenapa profesi seperti:
- Brand Narrative Architect → tugasnya bukan menulis cerita produk, tapi menyusun identitas merek yang konsisten dari kemasan, konten, hingga campaign.
- Product Story Specialist → bukan hanya membuat tagline, tapi mengemas seluruh perjalanan produk dari hulu ke hilir menjadi sesuatu yang “diceritakan” lewat visual, teks, hingga pengalaman pengguna.
- Insight Researcher berbasis konten → bukan menganalisis tren viral, tapi membaca pola emosi yang muncul dari konten yang benar-benar membekas di audiens.
Profesi-profesi ini nyata dan sudah muncul di perusahaan yang sedang transisi dari konten “sekadar ramai” ke konten yang memang berdampak dan berfungsi untuk loyalitas jangka panjang.
Bagaimana Mempelajarinya Secara Nyata dan Relevan?
1. Pelajari Perilaku Konsumen dari Kacamata Sosial, Bukan Sekadar Data Angka
Alih-alih hanya membaca angka dari dashboard analytics, penting belajar dari sosiologi konsumsi:
- Kenapa orang tertentu membeli sesuatu bukan karena kualitas, tapi karena nilai simbolik?
- Kenapa dua konten dengan format yang sama, bisa punya efek yang sangat berbeda tergantung siapa audiensnya?
Ini bisa dilatih lewat observasi langsung: lihat kolom komentar di konten TikTok brand-brand lokal, baca cara orang merespons, perhatikan apa yang membuat mereka tertarik secara emosional — bukan hanya rasional.
2. Analisis Konten yang “Nempel”, Bukan yang Cuma Viral
Banyak konten viral yang sebenarnya cepat dilupakan. Tapi konten yang “nempel” biasanya:
- Punya pola cerita yang menyentuh emosi dasar (takut, nostalgia, rasa diterima).
- Memakai bahasa dan simbol yang terasa familiar dan manusiawi.
- Konsisten dalam rasa, bukan hanya bentuk.
Contohnya dalam keseharian:
Sebuah iklan minuman dalam kemasan yang memperlihatkan momen buka puasa keluarga sederhana bisa jauh lebih diingat dibanding iklan dengan animasi mewah tapi tanpa emosi.
Video TikTok yang memperlihatkan bagaimana produk digunakan dalam situasi sehari-hari (tanpa narasi lebay), lebih mengena dibanding video dengan musik trendi tapi tanpa konteks.
3. Uji Kampanye yang Pernah Ada: Mana yang Berhasil, Mana yang Gagal, dan Kenapa?
Gunakan iklan nyata, konten brand, atau packaging produk di sekitarmu.
Ambil dua brand di kategori yang sama, lalu tanyakan:
- Kenapa kemasan Brand A terasa lebih “mahal” padahal bahan sama?
- Kenapa slogan Brand B terasa janggal, padahal maksudnya bagus?
- Apa yang membuat satu visual terasa “ramah” sementara yang lain terasa “dingin”?
Ini bisa dipelajari secara mandiri — cukup dengan kepekaan dan latihan membaca konteks budaya serta sosial.
Kenapa Ini Tidak Bisa Digantikan AI?
Karena AI tidak mengalami menjadi manusia.
AI tidak mengalami:
- Gagal bayar cicilan karena harga susu naik
- Merasa sungkan beli kosmetik karena takut dianggap boros
- Bangga karena bisa kasih oleh-oleh ke orang rumah
Makna dari visual dan narasi yang menyentuh terikat pada pengalaman manusia nyata — dan pengalaman ini tidak bisa dipelajari hanya dari data. Ia perlu empati, kepekaan, dan intuisi budaya.
Itulah kenapa kompetensi kreatif berbasis pemaknaan tidak bisa digantikan, meskipun tools otomatis semakin canggih.
Desain, Visual, dan Konten Bisa Diotomasi. Tapi Makna Harus Dibaca dan Disusun oleh Manusia.
AI akan terus berkembang. Ia bisa bantu kita lebih cepat produksi. Tapi AI tidak akan tahu kenapa warna merah marun bisa terasa “berkelas” di satu tempat, tapi terasa “suram” di tempat lain.
Itu bukan soal teknis. Itu soal rasa.
- Maka, membangun kompetensi sebagai “penafsir makna”—bukan sekadar “pembuat konten”—adalah jalan karier yang relevan, nyata, dan semakin dibutuhkan. Bukan karena AI tidak bisa desain, tapi karena AI belum bisa membaca dunia seperti manusia.
Kenapa Produksi Saja Tidak Cukup?
Saat ini, membuat konten tidak lagi jadi bottleneck. AI sudah sangat mampu untuk membantu bikin:
- Desain promosi hanya dalam hitungan detik.
- Copywriting caption atau deskripsi produk.
- Video pendek otomatis dari template.
- Gambar untuk feed, stories, thumbnail, bahkan kemasan.
Tapi kenyataannya: banyak brand kecil dan bahkan UMKM menengah yang kontennya tetap tidak berdampak. Sudah bikin konten banyak, posting rutin, ikutin tren — tapi tetap sepi. Tidak menghasilkan penjualan, tidak menciptakan interaksi bermakna, tidak mendorong audiens untuk balik lagi.
Masalahnya bukan di kualitas konten.
Masalahnya adalah tidak ada sistem komunikasi yang utuh.
Artinya, tidak ada alur yang memandu:
- Bagaimana orang pertama kali kenal brand itu?
- Di platform mana mereka menemukan informasi lanjut?
- Apa yang bikin mereka makin tertarik?
- Di titik mana mereka yakin untuk beli?
- Apa yang mereka dapatkan setelah beli?
Ini bukan hal yang bisa dikerjakan oleh satu konten semata, atau satu platform. Ini kerja lintas format, lintas kanal, dan lintas waktu. Dan inilah pekerjaan membangun sistem konten.
- Contoh Nyata di Lapangan: Kenapa Konten Gagal Padahal Sudah Produksi Banyak?
Misalnya:
- Sudah bikin video TikTok yang ramai view-nya, tapi tidak menyisipkan link Shopee atau tidak jelas brand-nya siapa. Akhirnya, view tidak jadi konversi.
- Sudah pasang desain promo di Instagram, tapi caption-nya tidak memberi tahu harus ke mana beli, dan tidak diarahkan ke WhatsApp, Tokopedia, atau Shopee. Hasilnya, orang bingung langkah selanjutnya.
- Sudah punya produk bagus dan review pelanggan yang oke, tapi tidak diolah jadi konten testimoni atau konten edukasi tambahan untuk memperkuat kepercayaan.
Hal-hal di atas bukan soal produksi yang kurang, tapi karena tidak ada alur yang jelas antara tiap konten dan tiap platform. Ini seperti punya banyak potongan puzzle, tapi tidak tahu cara menyusunnya.
Karier-Karier Nyata yang Berkembang di Wilayah Ini
Content Ecosystem Builder
- Tugasnya menyusun bagaimana tiap jenis konten (edukasi, promosi, testimoni, after sales) bekerja sama dalam satu sistem.
Bukan hanya bikin konten harian, tapi merancang blueprint alur konten yang berjalan terus-menerus dan saling mendukung.
Omnichannel Strategist
- Ini bukan istilah teknis. Dalam praktiknya, orang di posisi ini melihat platform sebagai sistem terhubung, bukan tempat yang berdiri sendiri.
Misalnya: konten yang naik di TikTok punya fungsi “menarik perhatian”, lalu dikuatkan lewat IG Story yang membangun rasa percaya, dan akhirnya diarahkan ke Shopee atau Tokopedia untuk beli.
Funnel Architect
Fokusnya adalah merancang alur pengalaman pengguna dari awal kenal hingga menjadi pembeli berulang. Ini menyangkut: tone komunikasi, waktu posting, format konten, hingga konten after-sales seperti edukasi, Q&A, dan loyalty.
Bagaimana Mempelajarinya Secara Nyata, Relevan, dan Mandiri?
💡 1. Amati Perjalanan Konsumen Secara Aktual
Bukan dari teori marketing, tapi dari kejadian sehari-hari. Perhatikan:
- Ketika kamu tertarik beli produk, apa yang kamu cari setelah lihat pertama kali?
- Apakah kamu lihat review? Cek IG-nya? Lihat di marketplace?
Di mana titik kamu merasa: “Oke, kayaknya bisa coba beli.”
Jawaban dari observasi ini sangat praktis. Inilah dasar membangun user journey.
💡 2. Simulasikan Sistem Konten dari Satu Produk
Ambil satu produk sederhana. Misalnya botol minum serbaguna. Lalu buat skema:
- Konten TikTok: edukasi & daya tarik awal → bahas manfaat simpel, tampilkan gaya hidup.
- IG Reels: testimoni atau showcase review ringan → bangun kepercayaan.
- IG Feed: foto close-up, deskripsi manfaat → cocok untuk info detail.
- Shopee: optimalkan gambar utama + deskripsi yang ngomong seperti manusia, bukan keyword spam.
- WhatsApp: auto-reply yang ramah + link order cepat.
After-sales: konten tips pemakaian via IG Story, atau email.
Satu produk, tapi banyak titik interaksi. Inilah sistem.
💡 3. Uji ke Brand Kecil atau UMKM
Banyak brand kecil tidak tahu pentingnya sistem. Mereka cuma tahu: “yang penting upload terus.”
Kamu bisa tawarkan bantuan bukan sebagai “jasa desain”, tapi dengan pendekatan:
- “Saya bantu susun alur kontennya dari IG ke TikTok, lalu ke marketplace, jadi orang gak bingung.”
Setelah kamu bantu, amati: Apakah repeat order naik? Apakah tanya-tanya makin jelas? Di sinilah kamu mengasah kemampuan yang jarang dimiliki orang yang hanya fokus produksi.
Kenapa Ini Tidak Bisa Digantikan AI?
- AI bisa bantu bikin konten. Tapi AI tidak tahu hubungan antar konten, antar platform, antar waktu.
Misalnya:
- AI tidak tahu kalau TikTok harus cepat tangkap perhatian, tapi Shopee butuh info teknis.
- AI tidak tahu kapan waktu terbaik untuk mengeluarkan konten edukasi — setelah audiens klik iklan, atau sebelumnya?
- AI tidak bisa baca ritme audiens harian: kapan scroll, kapan beli, kapan butuh diyakinkan lagi.
Semua ini bukan tentang konten per konten. Tapi tentang alur pengalaman pengguna. Dan inilah wilayah yang sampai sekarang tetap butuh manusia yang bisa berpikir sistematis, bukan cuma kreatif.
Konten Boleh AI yang Bikin, Tapi Sistem Harus Kamu yang Bangun
Kalau kamu bisa membangun alur konten yang nyambung, logis, dan terasa hidup antar platform, kamu tidak perlu bersaing soal “siapa paling jago desain” atau “siapa paling cepat nulis caption.” Karena yang dibutuhkan brand ke depan bukan sekadar orang yang bisa bikin konten, tapi orang yang bisa membangun jalur komunikasi utuh.
Itulah keterampilan yang bukan cuma relevan — tapi langka, mahal, dan berdampak nyata.
📌 Apa Makna "Membentuk Ulang Posisi di Rantai Nilai"?
Di dunia kerja tradisional, seseorang mungkin dihargai karena bisa membuat desain, menulis artikel, mengedit video, atau melakukan riset. Tapi sekarang, AI bisa melakukan semua itu secara instan. Maka, jika seseorang masih bertahan hanya sebagai eksekutor tugas teknis, posisinya akan makin terdesak — karena alat bisa menggantikan.
Namun, justru karena banyak tugas bisa diotomatisasi, kebutuhan akan peran yang bisa menyatukan semuanya semakin besar. Orang yang bisa melihat gambaran besar: alat mana untuk apa, dipakai dalam urutan apa, bagaimana menyatukan hasilnya agar sesuai konteks pasar, budaya, dan tujuan bisnis. Inilah posisi yang disebut “membentuk ulang posisi dalam rantai nilai.”
Bukan jadi pemakai alat, tapi menjadi penyusun arah kerja berbasis alat.
⚙️ Contoh Nyata: Bukan Lagi soal Bisa Desain, Tapi Bisa Membangun Sistem Produksi Visual
- Misalnya, banyak brand kecil saat ini sudah menggunakan Canva, bahkan beberapa sudah terbiasa pakai AI tools seperti DALL·E atau Midjourney untuk desain. Tapi hasilnya tetap terasa acak, tidak punya konsistensi gaya, bahkan membingungkan audiens.
Kenapa?
Karena tidak ada yang menyusun sistem visual, membuat panduan gaya, mengatur alur konten, atau menjaga kohesi antara satu output dan lainnya. Di sinilah muncul posisi seperti:
Creative Ops Strategist
- Orang yang merancang alur kerja kreatif lintas tim: dari ide awal → eksekusi AI → kurasi manual → distribusi. Dia tidak harus bikin kontennya, tapi tahu kapan, siapa, dan dengan alat apa tiap bagian dikerjakan.
Content System Manager
Bukan membuat konten satu-satu, tapi membangun sistem editorial jangka panjang: kalender konten, format rutin, bank template, strategi platform, dan pengukuran hasil.
- Pekerjaan ini sekarang sangat dibutuhkan — terutama di agensi, startup, tim e-commerce, bahkan UMKM yang mulai tumbuh. Dan mereka bukan mencari desainer atau penulis, tapi mencari orang yang bisa membentuk sistem produksi konten yang efisien dan bernuansa manusiawi.
🧠Contoh Lain: Bukan Sekadar Bisa Prompt, Tapi Bisa Mengarahkan AI ke Tujuan yang Relevan
Banyak orang bisa mengetik prompt di ChatGPT atau tools sejenis. Tapi sedikit yang bisa menyusun alur pemikiran untuk menghasilkan keluaran yang tidak hanya bagus, tapi tepat guna dan kontekstual.
Contoh:
Perusahaan skincare ingin membuat 10 konten edukatif yang tidak terasa menjual, tapi tetap mendorong pembelian.
- Orang yang hanya bisa pakai AI akan minta “10 caption untuk jualan skincare”.
Tapi AI Collaboration Specialist akan:
- Menyusun struktur kontennya (mana edukasi, mana tips ringan, mana storytelling).
- Menentukan gaya bahasanya (santai, tidak terlalu formal, mirip obrolan).
- Menyiapkan contoh prompt terstruktur untuk AI agar hasilnya konsisten.
- Mengevaluasi output, menyunting bagian yang kurang pas.
- Mencocokkan dengan persona brand dan target audiens.
Hasilnya bukan hanya cepat, tapi juga nyambung dan punya rasa. Itulah pekerjaan yang bukan sekadar teknikal, tapi kombinasi pemikiran arah, konteks, dan hasil akhir.
🎯 Bagaimana Membangun Karier di Jalur Ini?
Jawabannya bukan dengan belajar sebanyak mungkin alat, tapi:
- Pahami struktur kerja kreatif: bagaimana ide berpindah menjadi eksekusi. Contoh: dari riset insight → brief → konsep → produksi → distribusi.
- Latih kemampuan berpikir sistemik: lihat konten bukan satuan terpisah, tapi sebagai bagian dari peta strategi besar.
- Uji coba langsung dengan kasus nyata: bantu brand kecil, komunitas, atau bisnis lokal. Bukan sebagai “desainer” atau “content creator”, tapi sebagai orang yang menyusun strategi eksekusi mereka.
- Asah kepekaan konteks: AI tidak punya empati. Tapi kamu punya. Dan ini adalah aset. Pelajari bagaimana bahasa mempengaruhi pembelian, bagaimana visual membentuk kepercayaan, bagaimana ritme posting memengaruhi loyalitas.
✨ Apa yang Benar-Benar Tidak Tergantikan?
- Bukan kreativitas teknis. Tapi kreativitas sistemik.
- Bukan konten yang paling bagus. Tapi konten yang paling nyambung dengan arah dan tujuan.
- Bukan siapa yang paling cepat kerja. Tapi siapa yang bisa berpikir paling jernih dalam kekacauan.
Karena AI akan terus berkembang. Tools akan terus bertambah. Tapi manusia yang bisa menyatukan alat, arah, dan makna — akan selalu dibutuhkan. Bukan karena dia menguasai semua teknologi, tapi karena dia bisa mengarahkan teknologi itu untuk membuat hal yang lebih masuk akal, lebih dekat dengan manusia, dan lebih berdampak secara nyata.
Posting Komentar untuk "Strategi Content Marketing di Era AI: Sentuhan Manusia Tak Tergantikan"