Algoritma dan Jiwa Manusia: Mengapa Kita Tak Pernah Benar-Benar Bebas di Dunia Digital
![]() |
| Algoritma Dan Jiwa Manusia : Mengapa Kita Tak Pernah Benar-benar bebas di Dunia Digital Gambar : gorbysaputra.com |
Saat Pikiran Kita Diterjemahkan Menjadi Pola Data
Setiap kali seseorang membuka Instagram, menonton YouTube, atau menulis di X (Twitter), sesungguhnya ia sedang menulis biografi dirinya — bukan dengan kata-kata, tapi dengan pola.
- Pola kapan ia aktif, apa yang ia sukai, apa yang membuatnya berhenti sejenak. Semua direkam, diolah, dan diterjemahkan oleh algoritma menjadi potret digital dirinya.
Shoshana Zuboff, dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism, menyebut fenomena ini sebagai kapitalisme pengawasan — sebuah sistem ekonomi baru yang menjadikan perilaku manusia sebagai sumber daya yang bisa diprediksi, dimonetisasi, bahkan diarahkan.
Kita berpikir sedang memilih, padahal mungkin sedang dipilihkan.
1. Algoritma: Cermin Baru Perilaku Manusia
Secara teknis, algoritma adalah seperangkat logika yang digunakan sistem komputer untuk menyelesaikan masalah. Namun dalam konteks sosial digital, algoritma sudah berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam — cermin perilaku kolektif manusia.
- Ketika kamu menonton satu video di YouTube tentang “cara membuat kopi”, sistem merekam durasi tontonmu, ekspresi wajah (jika diizinkan kamera), hingga video berikutnya yang kamu buka.
Semua data itu dikombinasikan untuk menciptakan “rekomendasi” yang terasa sangat pribadi. Tapi di balik personalisasi itu, sebenarnya ada pola besar: bagaimana manusia berpikir, merasa, dan merespons dunia digital.
Luciano Floridi dalam The Ethics of Information menyebut kondisi ini sebagai infosphere — dunia di mana batas antara manusia dan data mengabur. Manusia bukan lagi hanya pengguna informasi, melainkan bagian dari sistem informasi itu sendiri.
Contohnya nyata:
- Saat seseorang mengetik “liburan ke Bali” di Google, ia mungkin hanya ingin mencari ide.
Namun dalam hitungan menit, iklan tiket, hotel, dan konten wisata akan membanjiri semua media sosialnya.
Itulah infosphere:
- dunia di mana niat manusia langsung diterjemahkan menjadi komoditas digital.
2. Kebebasan yang Didesain
Banyak orang merasa “bebas” di media sosial — bisa memilih konten, mengekspresikan diri, bahkan berdebat. Tapi jika kita perhatikan lebih dalam, kebebasan itu dibingkai oleh algoritma.
- Ketika seseorang menulis opini politik di X, algoritma akan menentukan siapa yang melihatnya, seberapa jauh pesan itu menyebar, dan kepada kelompok mana ia akan tampil.
Jika topiknya dianggap “memicu emosi”, maka jangkauannya justru akan diperluas — karena sistem tahu bahwa emosi menghasilkan keterlibatan (engagement).
- Dalam hal ini, algoritma bekerja bukan untuk kebenaran, tetapi untuk perhatian.
Dan seperti dikatakan Byung-Chul Han dalam Psychopolitics:
- Neoliberalism and New Technologies of Power , manusia modern tidak lagi diperintah dengan kekuasaan kasar, melainkan “dibujuk oleh kebebasan yang semu” — kita merasa memilih, padahal diarahkan oleh mekanisme yang lebih halus.
Contohnya mudah terlihat:
- Di TikTok, seseorang mungkin hanya ingin menonton video lucu. Tapi tanpa sadar, ia menghabiskan satu jam menonton konten serupa karena algoritma memutar loop of pleasure yang sulit dihentikan.
- Di Instagram, seseorang yang mencari inspirasi hidup sehat akhirnya membeli produk detox karena terus disuguhi konten bertema serupa.
Kebebasan digital, dalam kasus ini, lebih mirip kebebasan yang dikuratori.
3. Psikologi di Balik Scroll yang Tak Berujung
Mengapa kita sulit berhenti menggulir layar?
- Jawabannya terletak pada cara otak manusia bekerja.
Setiap kali kita melihat notifikasi, like, atau komentar, otak melepaskan dopamin, hormon kebahagiaan yang memberi sensasi kecil dari pengakuan.
Inilah yang disebut dopamine loop, dijelaskan oleh Adam Alter dalam bukunya Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked .
- Platform digital memanfaatkan mekanisme ini dengan desain antarmuka yang mendorong rasa penasaran tanpa akhir — seperti tombol “infinite scroll” atau sistem “pull-to-refresh” yang membuat otak berpikir seolah selalu ada hal baru.
Kita tidak kecanduan teknologi, kata Alter, tapi kecanduan perasaan bahwa sesuatu sedang menunggu kita di balik layar.
4. Ketika Platform Menjadi Ruang Keberadaan
Setiap platform memiliki logika emosi sendiri.
- Di TikTok, dunia berputar cepat: ekspresi spontan, suara, dan musik menjadi cara utama menampilkan diri.
- Di Instagram, kehidupan tampak indah dan terkurasi. Di YouTube, pengetahuan dan hiburan bergabung dalam format yang panjang.
Masing-masing menciptakan “versi diri digital” yang berbeda dari dunia nyata.
Manusia kini menjalani kehidupan paralel:
- Di dunia nyata ia bekerja, belajar, dan bertemu orang.
- Di dunia digital, ia membangun persona — siapa dirinya di hadapan algoritma.
Erich Fromm dalam To Have or To Be? menulis, manusia modern cenderung menggantikan “keberadaan” (being) dengan “kepemilikan” (having).
Di era digital, pergeseran ini menjadi:
- dari being ke appearing — dari menjadi seseorang, menjadi tampak seperti seseorang.
Contohnya nyata di sekitar kita:
- Seorang remaja bisa lebih cemas kehilangan followers daripada kehilangan arah hidup.
- Seorang pekerja bisa lebih bangga pada profil LinkedIn-nya daripada proses belajarnya sendiri.
Kehadiran kini tidak lagi ditandai oleh tubuh, melainkan oleh aktivitas digital.
5. Ilusi Kebebasan dan Kapitalisme Atensi
Semakin banyak waktu yang kita habiskan di layar, semakin besar nilai ekonomi yang dihasilkan.
- Setiap klik, setiap tonton, setiap interaksi — semuanya adalah data mentah yang dijual kepada pengiklan untuk membangun sistem ekonomi baru: ekonomi perhatian (attention economy).
Tim Wu dalam bukunya The Attention Merchant menjelaskan bahwa perhatian manusia adalah sumber daya paling langka di abad ke-21.
- Algoritma dirancang bukan untuk menghibur, tapi untuk menahan perhatian selama mungkin, karena setiap detik perhatian adalah potensi pendapatan.
Contoh sederhana:
- Aplikasi media sosial sengaja menunda waktu tampil notifikasi agar pengguna tetap menunggu.
- Platform video streaming menautkan episode berikutnya tanpa jeda (autoplay), agar otak tidak punya kesempatan untuk berhenti.
- Marketplace online menampilkan rekomendasi produk “mirip dengan yang Anda lihat” untuk memancing rasa ingin.
Manusia bukan lagi sekadar pengguna, melainkan produk dari sistem atensi itu sendiri.
6. Filsafat, Etika, dan Jalan Menuju Kesadaran Digital
Di tengah semua kompleksitas ini, pertanyaan penting muncul:
Bagaimana manusia tetap menjadi subjek yang sadar, bukan objek dari algoritma?
- Jawabannya bukan dengan menolak teknologi, tetapi dengan menemukan kembali kesadaran di dalamnya.
Filsafat eksistensialisme mengajarkan bahwa kebebasan sejati bukan tentang memiliki banyak pilihan, tapi tentang menyadari makna dari setiap pilihan.
- Seperti kata Søren Kierkegaard, “Kebebasan tanpa kesadaran hanyalah ilusi dari kehendak.”
Artinya, selama kita tidak sadar bagaimana sistem bekerja, kita akan terus merasa bebas di dalam ruang yang sudah didesain untuk mengikat.
Maka langkah pertama menuju kebebasan digital adalah memahami struktur kekuatan di balik layar:
- Siapa yang diuntungkan dari atensi kita ?
- Bagaimana algoritma memetakan kebiasaan kita ?
- Dan sejauh mana kita masih bisa memilih dengan sadar ?
7. Manusia di Era AI: Dari Pengguna ke Pencipta Kesadaran Baru
Kini, dengan kehadiran AI generatif, batas antara manusia dan mesin makin tipis.
- AI tidak lagi hanya membaca data, tapi juga menulis, berbicara, bahkan menciptakan gaya komunikasi yang meniru manusia.
Namun di sisi lain, manusia juga mulai belajar berpikir seperti mesin: cepat, efisien, tetapi sering kehilangan kedalaman.
- Tugas manusia ke depan bukan melawan algoritma, melainkan mendidik dirinya untuk tidak menjadi algoritmik.
Artinya, menjaga ruang refleksi, empati, dan imajinasi — hal-hal yang belum bisa dilakukan oleh mesin.
Karena seperti kata Martin Heidegger dalam The Question Concerning Technology :
“Bahaya terbesar dari teknologi bukanlah bahwa ia menguasai kita, tetapi bahwa ia membuat kita lupa bertanya.”
Kebebasan yang Kita Ciptakan Sendiri
Kita mungkin tak akan pernah sepenuhnya bebas dari algoritma — tetapi kita selalu bisa bebas untuk memahami.
- Kesadaran digital bukanlah sikap menolak, melainkan kemampuan untuk memilih dengan jernih di tengah sistem yang terus mengamati.
Di era yang semuanya terhubung, kebebasan manusia bukan lagi soal keluar dari sistem, melainkan tentang bagaimana tetap menjadi manusia di dalamnya.
FAQ
1. Apakah algoritma bisa benar-benar netral?
- Tidak. Algoritma diciptakan oleh manusia, dengan nilai dan bias manusia itu sendiri.
2. Apakah mungkin hidup tanpa algoritma?
- Sulit. Tapi kita bisa hidup dengan kesadaran tentang cara kerjanya dan membatasi dampaknya.
3. Bagaimana cara melatih kesadaran digital?
- Dengan mengenali pola penggunaan diri sendiri, membatasi waktu layar, dan memilih sumber informasi secara kritis.
4. Apakah AI bisa menggantikan kebebasan berpikir manusia?
- Tidak sepenuhnya. AI bisa meniru pola pikir, tapi tidak bisa menggantikan makna dan kesadaran.
#AlgoritmaDigital
#KesadaranDigital
#ManusiaDigital
#FilsafatTeknologi
#PsikologiDigital
#EraAI
#GayaHidupDigital
#GorbySaputra


Posting Komentar untuk "Algoritma dan Jiwa Manusia: Mengapa Kita Tak Pernah Benar-Benar Bebas di Dunia Digital"