Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dinamika Kekuasaan, Ekonomi, dan Manipulasi di Dunia Digital


 

Dinamika Kekuasaan, Ekonomi, Dan Manipulasi Di Dunia Digital Gambar : gorbysaputra.com
Dinamika Kekuasaan, Ekonomi, Dan Manipulasi Di Dunia Digital
Gambar : gorbysaputra.com

Kekuasaan dan manipulasi manusia di era algoritma digital.

Di era digital, kekuasaan tidak lagi hanya berada di tangan negara, pemilik modal, atau lembaga formal, melainkan tersebar dan disamarkan melalui algoritma, data, dan perhatian. 

Dunia digital menjadikan manusia bukan hanya konsumen, melainkan juga komoditas yang dipertukarkan secara masif — diukur melalui klik, tayangan, waktu tonton, dan emosi yang ditinggalkan di layar.

1. Kekuasaan Baru: Dari Institusi ke Platform

Dalam buku The Rise of the Network Society (Castells,), Manuel Castells menjelaskan bahwa kekuasaan kini tidak lagi bekerja secara vertikal, melainkan horizontal melalui jaringan.

  • Facebook, Google, TikTok, dan X (Twitter) bukan sekadar platform, tapi struktur sosial baru yang menentukan apa yang dianggap penting, benar, dan pantas untuk dilihat.

Contoh nyata terlihat dari bagaimana:

Algoritma TikTok dapat membuat seseorang yang tidak dikenal menjadi viral dalam semalam, tetapi juga bisa “menghilangkan” eksistensi seseorang tanpa jejak jika kontennya dianggap tidak sesuai.

  • YouTube mampu mengarahkan miliaran orang ke topik tertentu hanya lewat kolom “recommended videos”.
  • Instagram membentuk estetika global baru — di mana cara berpakaian, makan, berfoto, hingga beribadah dipengaruhi oleh “kultur visual algoritmik”.

Filsuf Prancis Michel Foucault dalam Discipline and Punish, menjelaskan bahwa kekuasaan modern tidak lagi menindas secara langsung, melainkan mengatur perilaku lewat pengawasan halus (panopticon). Dunia digital adalah bentuk panoptikon sempurna — pengguna tahu mereka diawasi, tetapi tetap bertindak karena diawasi dengan cara yang menyenangkan.

2. Ekonomi Perhatian: Ketika Waktu Menjadi Komoditas

Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism menyebut fenomena ini sebagai kapitalisme pengawasan — sistem ekonomi yang mengekstraksi perilaku manusia menjadi data, lalu menjual prediksi atas perilaku itu kepada pengiklan.

Di sini, perhatian manusia bukan hanya sumber daya, tapi mata uang utama.

Kita tidak lagi membayar dengan uang, tetapi dengan waktu, perhatian, dan privasi.

  • Ketika seseorang menonton iklan selama 10 detik, algoritma belajar seleranya. 
  • Ketika seseorang menulis status, sistem membaca emosinya.
  • Ketika seseorang berhenti sejenak pada video tertentu, sistem mencatatnya sebagai minat laten.

Contoh keseharian:

Aplikasi e-commerce seperti Shopee atau Tokopedia menggunakan machine learning untuk menampilkan produk sesuai “mood” pengguna, bukan sekadar kebutuhan.

  • Platform hiburan seperti Netflix merekomendasikan film yang memperpanjang waktu tonton, bukan yang memperluas wawasan.
  • Media sosial seperti Instagram Reels dirancang agar pengguna “tidak bisa berhenti” — bukan karena mereka ingin, tapi karena sistem memastikan dopamin terus aktif.

Dalam konteks ini, manusia menjadi bagian dari sistem ekonomi yang tidak disadarinya. 

Sebagaimana ditulis oleh Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man :

“Teknologi modern telah menjadi sarana penundukan yang paling lembut — karena manusia mencintai apa yang membuatnya tunduk.”

3. Manipulasi Digital: Dari Iklan hingga Ideologi

Manipulasi digital bukan hanya persoalan komersial, tapi juga politis dan kultural.

  • Pada masa lalu, propaganda membutuhkan koran dan televisi. Kini cukup dengan targeted ads dan microtargeting.

Kasus Cambridge Analytica membuktikan bahwa data pribadi pengguna Facebook dapat digunakan untuk memengaruhi hasil pemilu melalui iklan psikografis yang memicu emosi ketakutan dan kebanggaan.

  • Psikografis — studi tentang kepribadian dan perilaku — menjadi senjata baru yang digunakan untuk mengarahkan keputusan tanpa paksaan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Roger McNamee (mantan investor Facebook) dalam Zucked :

  • “Manipulasi digital tidak memaksa kita memilih, ia hanya memastikan pilihan kita sudah diarahkan sebelum kita sadar sedang memilih.”

Contoh nyata:

  • Kampanye politik digital yang menampilkan konten berbeda untuk segmen usia berbeda di media sosial yang sama.
  • Influencer marketing yang secara halus membentuk preferensi konsumsi melalui gaya hidup yang ditampilkan.
  • Konten disinformasi yang menyaru sebagai opini pribadi, padahal disusun oleh tim komunikasi politik.

4. Algoritma Sebagai Kekuasaan Terselubung

Algoritma bekerja seperti hukum yang tak terlihat — menentukan apa yang naik dan tenggelam, siapa yang didengar, siapa yang dilupakan.

  • Namun tidak seperti hukum negara, algoritma tidak memiliki akuntabilitas publik.

Menurut Cathy O’Neil dalam Weapons of Math Destruction :

  • “Algoritma yang tidak transparan dapat menghancurkan hidup orang tanpa kejahatan apa pun — cukup dengan menilai mereka berdasarkan data yang tidak lengkap.”

Contoh konkret di dunia digital:

  • Algoritma rekrutmen otomatis yang menolak pelamar kerja karena pola bahasa tertentu dalam CV.
  • Sistem credit scoring berbasis media sosial yang menentukan kelayakan pinjaman.
  • Platform video yang “menyensor” konten sensitif dengan alasan kebijakan, padahal alasan utamanya adalah menjaga citra merek.

Dari sudut pandang filsafat moral, ini adalah bentuk kekuasaan baru — kekuasaan tanpa wajah. Kita tidak tahu siapa yang memutuskan, tapi keputusan itu membentuk dunia kita sehari-hari.

5. Keterikatan Emosional dan Ekonomi Hasrat

Manusia modern tidak lagi hanya berinteraksi dengan mesin, tetapi berelasi secara emosional.

  • Ketika seseorang berbicara dengan chatbot, memberikan “like” pada foto teman, atau menonton live shopping, mereka sedang terlibat dalam ekonomi hasrat.

Jacques Lacan, seorang psikoanalis Prancis, menjelaskan bahwa manusia hidup dalam “kehausan simbolik” — selalu ingin diakui oleh yang lain.

  • Platform digital memanfaatkan hal ini melalui fitur komentar, reaction, dan followers.

Kita merasa dilihat, dan itu memberi rasa eksistensi.

Contoh sehari-hari:

  • Seseorang terus memperbarui status WhatsApp karena ingin “diperhatikan”.
  • Pengguna TikTok berusaha meniru tren bukan karena suka, tapi karena takut tertinggal.
  • Seorang kreator YouTube mengubah gaya bicara agar disukai algoritma, bukan karena itu dirinya.

Inilah yang disebut Byung-Chul Han dalam Psychopolitics :

“Manusia modern tidak lagi ditekan oleh sistem, tetapi memaksa dirinya sendiri untuk terus produktif, terus dilihat, terus hadir.”

6. Dari Kekuasaan ke Ketergantungan

Pada akhirnya, semua bentuk kekuasaan digital bermuara pada ketergantungan yang tersamarkan sebagai kebebasan.

  • Kita merasa bebas bersuara di media sosial, padahal suara itu dikurasi.
  • Kita merasa memilih produk, padahal sudah diarahkan oleh rekomendasi algoritmik.
  • Kita merasa terkoneksi, padahal sering kali justru terisolasi dalam gema digital (echo chamber).

Filsuf Jerman Jürgen Habermas menyebut ini sebagai “kolonisasi dunia kehidupan oleh sistem” — di mana logika pasar dan teknologi merasuki ruang privat manusia. (The Theory of Communicative Action,)

  • Dalam konteks ini, kekuasaan digital tidak menindas dari luar, melainkan menyusup dari dalam kesadaran manusia.

Manusia menjadi bagian dari mesin raksasa yang berjalan tanpa sadar — sistem yang tak lagi memerlukan penguasa karena kita sendiri yang menjaganya tetap hidup.

7. Kebijakan, Etika, dan Perlawanan Kesadaran

Kesadaran digital bukan sekadar kemampuan memahami teknologi, melainkan kesadaran akan relasi kuasa di baliknya.

  • Regulasi seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa, UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia, dan AI Act di Eropa adalah upaya negara menghadirkan moralitas dalam ruang algoritmik.

Namun lebih dari sekadar hukum, dibutuhkan etika digital kolektif — kesadaran bersama bahwa di balik setiap klik, ada nilai kemanusiaan yang harus dijaga.

Sebagaimana dinyatakan oleh Luciano Floridi :

“Etika informasi bukan tentang melarang teknologi, tetapi tentang bagaimana kita hidup secara baik di dalam infosfer.”

Referensi 

  • Castells, M. The Rise of the Network Society. Blackwell.
  • Foucault, M. Discipline and Punish. Gallimard.
  • Zuboff, S. The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.
  • Marcuse, H. One-Dimensional Man. Beacon Press.
  • McNamee, R. Zucked. Penguin Press.
  • O’Neil, C. Weapons of Math Destruction. Crown.
  • Lacan, J. Écrits. Norton.
  • Han, B.-C. Psychopolitics: Neoliberalism and New Technologies of Power. Verso.
  • Habermas, J. The Theory of Communicative Action. Beacon Press.
  • Floridi, L. The Ethics of Information. Oxford University Press.

Posting Komentar untuk "Dinamika Kekuasaan, Ekonomi, dan Manipulasi di Dunia Digital"