“Ekonomi Emosi: Bagaimana Platform Digital Mengubah Rasa Menjadi Nilai ?”
![]() |
| Ekonomi Emosi : Bagaimana Platform Digital Mengubah Rasa Menjadi Nilai? Gambar : gorbysaputra.com |
Ketika Rasa Menjadi Komoditas di Dunia Digital
Di masa lalu, nilai diukur dari barang dan jasa.
Kini, nilai diukur dari reaksi manusia.
- Satu “like” bisa menentukan harga pasar, satu “komentar” bisa memicu viralitas, satu “emosi” bisa menggerakkan jutaan orang.
Inilah era ekonomi emosi — saat rasa bukan lagi sekadar pengalaman pribadi, tapi bahan bakar utama algoritma.
- Platform digital hidup dari perhatian manusia. Dan perhatian manusia hanya bisa didapat dari emosi.
Semakin kuat rasa yang dibangkitkan — marah, terharu, kagum, tersentuh, tertawa — semakin tinggi nilai komersialnya di dunia digital.
Dari Aristoteles hingga AI — Jejak Filosofis Emosi
Filsafat sejak awal selalu menaruh perhatian pada rasa.
- Aristoteles menyebut emosi sebagai bagian dari pathos, yang menentukan bagaimana manusia menilai sesuatu secara moral.
- Spinoza melihat emosi sebagai “gerak jiwa” — kekuatan yang membuat manusia bertindak.
- David Hume bahkan menyebut, “Reason is, and ought only to be, the slave of the passions.” — Akal hanyalah pelayan dari hasrat.
Kini, di era algoritma, pandangan itu menjadi nyata secara literal.
- Akal (teknologi, logika komputasi, sistem rekomendasi) benar-benar bekerja untuk melayani hasrat — yaitu emosi pengguna.
- Platform seperti TikTok, Instagram, atau YouTube tidak hanya menampilkan konten, tapi mengukur rasa, mengarsipkannya, dan mengubahnya menjadi data bernilai ekonomi.
- Rasa sedih, tawa, empati, atau kemarahan — semuanya kini menjadi “produk” yang diperjualbelikan dalam ekosistem digital.
Psikologi dan Ekonomi — Dari Behaviorisme ke Ekonomi Perhatian
Dalam ilmu psikologi, terutama aliran behaviorisme, manusia dianggap dapat dipahami dari respon terhadap rangsangan (stimulus-response).
Era media sosial menerapkan konsep itu dengan ekstrem:
- setiap notifikasi adalah stimulus,
- setiap reaksi pengguna adalah respon,
- dan algoritma belajar dari pola-pola itu tanpa henti.
Sementara dalam ekonomi digital, muncul istilah baru:
- Attention Economy — ekonomi yang bertumpu pada waktu dan perhatian manusia.
Menurut Herbert Simon :
- “A wealth of information creates a poverty of attention.”
— Semakin banyak informasi, semakin langka perhatian manusia.
Maka, perhatian menjadi barang langka. Dan untuk mendapatkannya, perusahaan teknologi menjual satu hal: emosi.
Antropologi dan Sosiologi — Manusia sebagai Makhluk Interaksi dan Simbol
Dari sudut antropologi, manusia adalah makhluk yang hidup dari simbol dan makna.
Ketika dunia berpindah ke ruang digital, makna itu pun berpindah bentuk:
- senyum berubah jadi emoji,
- pelukan berubah jadi reaksi ❤️,
- solidaritas berubah jadi hashtag campaign.
Clifford Geertz menyebut kebudayaan sebagai “jaring makna yang dipintal manusia sendiri.”
Kini, jaring itu adalah jejaring sosial.
- Dan algoritma adalah tangan tak terlihat yang mengatur arah makna itu bergerak.
Sementara dari sisi sosiologi, muncul fenomena baru: emo-sosialitas digital — yakni keterhubungan sosial yang dibangun bukan atas nilai bersama, tetapi atas emosi bersama.
Contohnya:
- marah bersama di kolom komentar,
- tertawa bersama di meme viral,
- menangis bersama di konten duka.
Emosi kolektif ini kemudian menjadi modal sosial digital, yang menentukan posisi seseorang atau kelompok di dunia maya.
Teknologi dan Komunikasi — Dari Interaksi ke Manipulasi
Ilmu komunikasi modern memahami bahwa pesan tidak lagi netral.
- Setiap pesan kini dikodekan oleh data, algoritma, dan strategi persuasi digital.
Platform digital seperti Meta, TikTok, dan X (Twitter) memanfaatkan data emosi untuk:
- menentukan konten apa yang akan dimunculkan,
- berapa lama pengguna akan bertahan,
- dan bagaimana reaksi mereka akan dikapitalisasi.
Inilah yang disebut Algorithmic Persuasion — kemampuan sistem untuk memengaruhi perilaku manusia melalui pengulangan emosi terukur.
Contoh nyata:
- Iklan politik yang muncul tepat saat emosi publik sedang marah.
- Rekomendasi belanja setelah pengguna menonton video “curhat.”
- Tren musik atau hashtag yang dirancang untuk memicu keterlibatan emosional.
Dengan kata lain, komunikasi digital kini bukan hanya menyampaikan pesan, tapi mendesain perasaan.
Spirit Lintas Disiplin — Filsafat Bertemu AI, Psikologi Bertemu Big Data
Apa yang dulunya menjadi domain filsafat dan psikologi — tentang jiwa, rasa, kesadaran, dan perilaku — kini menjadi wilayah kerja algoritma.
![]() |
| Tabel Penjelasan Spirit Lintas Disiplin - Filsafat Bertemu AI, Psikologi Bertemu Big Data Gambar : gorbysaputra.com |
Perjumpaan lintas disiplin ini menunjukkan bahwa dunia digital adalah laboratorium besar tempat manusia dipelajari, direkam, dan diinterpretasi — bukan lagi oleh manusia lain, tapi oleh kecerdasan buatan.
Manusia Digital dan Krisis Makna
Namun di balik semua itu, muncul pertanyaan mendasar:
- Apakah kita masih merasakan sesuatu secara murni, atau hanya karena algoritma menuntun kita untuk merasakannya?
Di sinilah dimensi eksistensial muncul.
- Dalam filsafat eksistensialis (Kierkegaard, Sartre, Camus), manusia didefinisikan oleh kebebasan memilih dan mengalami.
Tapi di dunia digital, pilihan dan pengalaman itu sering sudah disusun sebelumnya.
Maka, manusia modern hidup di antara dua lapis realitas:
- Rasa yang benar-benar dirasakan.
- Rasa yang dikonstruksi oleh sistem.
Inilah bentuk baru dari “kehilangan makna” yang dulu dibahas para filsuf — kini dalam wujud kehilangan otentisitas digital.
Menuju Etika Emosi dan Kesadaran Digital
Maka, pertanyaan berikutnya bukan hanya “bagaimana algoritma bekerja ? ”
- tetapi “bagaimana kita memilih untuk merasa di dalamnya?”
Kita perlu etika emosi digital — kesadaran bahwa setiap rasa yang kita bagikan, like yang kita berikan, komentar yang kita tulis, adalah bagian dari arsitektur sosial yang lebih besar.
Beberapa langkah sederhana:
- Sadari kapan emosi kita dimanipulasi oleh konten.
- Tunda reaksi spontan; refleksikan dulu.
- Bangun kebiasaan membaca, bukan sekadar menggulir.
- Gunakan teknologi untuk memperluas empati, bukan mempersempitnya.
Di titik inilah, manusia bisa berdiri sejajar dengan teknologi: bukan lawan, bukan korban, tapi mitra kesadaran.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
Apa itu ekonomi emosi?
- Ekonomi emosi adalah sistem nilai di dunia digital yang menukar perhatian dan perasaan manusia menjadi data dan keuntungan.
Apakah emosi bisa diukur secara ilmiah?
- Ya. Melalui analisis perilaku pengguna, waktu tonton, ekspresi wajah, dan pola klik — AI bisa memperkirakan emosi dengan cukup akurat.
Mengapa emosi penting di dunia digital?
- Karena emosi adalah bahan bakar utama interaksi, viralitas, dan keputusan pengguna — baik dalam konten, politik, maupun belanja.
Apakah manusia bisa melawan manipulasi algoritmik?
- Bisa, dengan kesadaran reflektif, literasi digital, dan disiplin dalam mengelola reaksi emosional.
“Dulu manusia menciptakan alat untuk membantu berpikir,
- kini alat itu membantu menentukan apa yang pantas untuk dipikirkan.”
Di tengah derasnya arus algoritma, manusia masih punya satu kekuatan yang tak bisa direplikasi:
- rasa yang sadar.
Selama kita masih bisa mengenali kapan kita benar-benar merasa, dan kapan rasa itu diarahkan, kita masih menjadi manusia — bukan sekadar data.
#EkonomiEmosi
#DigitalPhilosophy
#PerilakuDigital
#HumanAndAI
#DigitalEthics
#FilsafatTeknologi
#PsikologiDigital
#GorbySaputra
#EmotionEconomy



Posting Komentar untuk "“Ekonomi Emosi: Bagaimana Platform Digital Mengubah Rasa Menjadi Nilai ?”"