Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Kesucian Menjadi Pertunjukan: Teater Iman dan Publik yang Haus Tontonan

 

Ketika Kesucian Menjadi Pertunjukan : Antara Doa yang sunyi dan panggung yang gemerlap Gambar : gorbysaputra.com
Ketika Kesucian Menjadi Pertunjukan : Antara Doa yang sunyi dan panggung yang gemerlap
Gambar : gorbysaputra.com

Antara doa yang sunyi dan panggung yang gemerlap.

Kesucian dulu berbicara dalam bisik yang nyaris tak terdengar.

  • Kini ia berteriak dari pengeras suara, disiarkan dengan pencahayaan yang sempurna, dan ditutup dengan tepuk tangan panjang dari penonton yang terharu.
  • Doa menjadi skenario, kebajikan menjadi konten, dan iman tampil dalam naskah yang diproduksi secara profesional.

Yang suci tak lagi bersembunyi di gua atau hutan, ia kini duduk di atas panggung, dikelilingi kamera, mikrofon, dan sponsor.

I. Dari Sunyi ke Sorot Lampu

Friedrich Nietzsche pernah menulis,

  • "Moralitas sering kali hanyalah estetika dari ketakutan."

Barangkali spiritualitas hari ini tak lagi murni mencari Tuhan, melainkan ketenangan dari rasa takut kehilangan makna di tengah dunia yang menonton segalanya.

  • Kesucian tampil karena dunia menuntut pertunjukan.

Manusia modern tak lagi percaya pada yang tak terlihat;

  • maka yang suci harus terlihat, direkam, dan diunggah.
  • Kesunyian kehilangan daya, karena ia tak punya panggung untuk disaksikan.

Di masa lalu, seorang sufi menangis dalam diam. Kini, air matanya harus difilmkan agar dianggap tulus.

II. Publik dan Rasa Ingin Percaya

Guy Debord, dalam The Society of the Spectacle, menulis bahwa

  • "segala sesuatu yang nyata kini tergantikan oleh representasi."

Maka iman pun kini menjadi representasi dari iman.

  • Publik tidak lagi mencari yang suci, mereka mencari rasa seperti sedang melihat sesuatu yang suci.
  • Kesucian dipertontonkan agar manusia merasa masih bisa menyentuh langit, meski mereka berdiri di tengah kota yang penuh billboard.
  • Ritual berubah menjadi drama, doa menjadi dialog, dan pengakuan dosa menjadi talkshow.

Namun publik tidak bersalah.

  • Mereka hanya haus — bukan pada tontonan, tapi pada rasa percaya.
  • Mereka hanya tak tahu cara lain mencarinya selain dengan mata.

III. Teologi Kamera dan Estetika Iman

Dalam dunia yang hidup dari citra, kamera adalah nabi baru.

  • Ia merekam segala gerak rohani dan menyalurkannya ke altar digital.
  • Dalam teologi baru ini, cahaya bukan datang dari Tuhan, tapi dari ring light.

Walter Benjamin menyebut fenomena ini sebagai aura yang terdistorsi:

  • ketika keaslian makna digantikan oleh daya tampil.
  • Kesucian tidak lagi diuji oleh kedalaman, melainkan oleh jumlah penonton yang tersentuh.

Dan begitulah, manusia modern lebih mudah percaya pada air mata yang tumpah di depan kamera, daripada doa yang tak terdengar di ruang sunyi.

IV. Tubuh dan Panggung Keyakinan

Foucault pernah mengingatkan,

  • "Tubuh adalah medan di mana kekuasaan ditulis."

Dalam teater iman, tubuh para tokoh spiritual menjadi medium utama:

  • cara berjalan, cara menatap, cara menunduk—semuanya dikurasi.

Kesalehan dipelajari seperti akting:

  • gestur harus lembut, nada harus tenang, agar penonton melihat “cahaya” yang mereka bayangkan.
  • Namun semakin halus pertunjukan itu, semakin jauh ia dari kesunyian yang melahirkan iman sejati.

Karena iman bukan performa; 

ia adalah luka yang dirawat dalam diam.

V. Mistisisme di Tengah Mikrofon

Rumi menulis:

  • "Jika hatimu terbakar, kau tak perlu berteriak agar dunia tahu. Api akan terlihat dari cahaya yang keluar dari matamu."

Tapi kini, setiap api harus diberitakan.

  • Setiap cahaya harus viral.
  • Keheningan kehilangan nilai jual.
  • Maka mistisisme pun beradaptasi.
  • Zikir menjadi musik, meditasi menjadi event, dan pencerahan menjadi seminar dengan tiket early bird.

Namun di balik semua itu, masih ada beberapa jiwa yang menolak tampil:

mereka yang memahami bahwa Tuhan tak butuh audiens, dan bahwa setiap penonton hanyalah cermin dari kesepian sendiri.

VI. Dari Pementasan Menuju Pengulangan

Erving Goffman, dalam The Presentation of Self in Everyday Life,

  • menggambarkan dunia sosial sebagai panggung besar di mana semua manusia memainkan perannya.

Maka spiritualitas zaman ini hanyalah versi lebih terang dari drama lama:

  • manusia ingin tampak saleh agar tak kehilangan tempat dalam naskah besar sosialnya.

Namun panggung rohani memiliki satu bahaya:

  • ia mengulang-ulang keajaiban sampai menjadi kebiasaan, dan kebiasaan, pada akhirnya, membunuh rasa kagum.

Yang suci kehilangan kejutan;

ia menjadi rutinitas yang diatur jam tayangnya.

VII. Ketika Tuhan Menjadi Penonton

  • Mungkin pertunjukan ini bukan sekadar kesalahan manusia, melainkan respons atas dunia yang kehilangan arah.
  • Ketika tak ada lagi ruang sunyi, manusia membangun altar di tengah sorak-sorai.

Namun seperti dikatakan Simone Weil,

  • "Perhatian adalah bentuk tertinggi dari doa."

Dan tak ada perhatian dalam tepuk tangan.

  • Yang ada hanyalah gema yang membius, menjauhkan manusia dari inti pertemuan dengan yang Ilahi.

Barangkali, Tuhan kini duduk di barisan penonton paling belakang, diam, menatap panggung ciptaan manusia, dan menunggu satu hal yang tak bisa dipentaskan:

ketulusan yang lahir tanpa kamera.

VIII. Penutup

  • Pertunjukan kesucian bukanlah kutukan, ia adalah cermin dari kerinduan manusia untuk kembali dikenal oleh langit.
  • Kita semua aktor di atas panggung rohani, bermain dalam naskah yang ditulis oleh ketakutan dan harapan.

Namun, seperti kata Rabindranath Tagore,

  • "Ketika permainan selesai, yang tinggal hanyalah sunyi yang memanggilmu pulang."

Dan di sanalah kesucian sejati menunggu— bukan di bawah lampu, tapi di ruang yang tak terlihat kamera, di mana iman kembali menjadi bisikan, dan pertunjukan berakhir menjadi doa.

Posting Komentar untuk "Ketika Kesucian Menjadi Pertunjukan: Teater Iman dan Publik yang Haus Tontonan"