Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Keyakinan Menjadi Industri: Ekonomi dari Iman dan Simbol

 

Ketika Keyakinan Menjadi Industri Gambar : gorbysaputra.com
Ketika Keyakinan Menjadi Industri
Gambar : gorbysaputra.com

Dari doa yang suci hingga pasar yang sibuk.

Keyakinan dahulu lahir dari keheningan.

  • Kini ia berdiri di atas panggung, dijual dalam paket berlogo Tuhan.

Yang dulu dicari di dalam diri, kini dikirim melalui notifikasi dan algoritma.

Iman menjadi tren, doa menjadi konten, dan keselamatan menjadi langganan premium.

  • Tak ada lagi jarak antara altar dan etalase.

Keduanya kini menyatu:

di mana yang suci dipasarkan, dan yang dipasarkan menjadi suci.

I. Ketika Iman Memiliki Harga

  • Karl Marx menulis bahwa “agama adalah napas makhluk yang tertindas.”

Namun di abad ini, napas itu telah disuling, dikemas, dan dijual kembali dalam bentuk yang lebih wangi.

Zaman spiritualitas digital menjadikan iman sebagai komoditas paling halus:

  • tak kasat mata, tapi bernilai tinggi. Lihatlah bagaimana nama Tuhan dipakai untuk menjual cita-cita, bagaimana simbol kesucian dijahit menjadi logo, dan bagaimana kebaikan diukur dengan jumlah donasi yang disiarkan secara langsung.

Mungkin manusia tidak lagi membeli iman, tetapi rasa seperti beriman. Mereka tidak mencari Tuhan, melainkan pengalaman yang membuat mereka tampak sedang mencarinya.

II. Dari Zikir ke Brand

Jean Baudrillard menulis bahwa “di era simulakra, tanda menggantikan realitas.”

  • Maka dalam dunia iman modern, zikir berganti menjadi slogan, ritual menjadi acara, dan kesalehan menjadi citra.

Lembaga rohani bersaing dalam branding;

warna logo, busana, bahkan gaya berbicara— semuanya diukur dari resonansi pasar, bukan resonansi makna.

Spiritualitas menjadi performa, dan performa menjadi ekonomi.

Seperti kata Pierre Bourdieu,

  • “setiap arena sosial memiliki modal simbolik yang bisa ditukar.”

Dan iman, kini, menjadi modal simbolik paling menguntungkan:

ia bisa menukar doa dengan kuasa, kepercayaan dengan pengaruh, dan kesucian dengan profit.

III. Ritual dan Retorika

Clifford Geertz pernah melihat bahwa upacara keagamaan adalah cara manusia meneguhkan tatanan dunia yang mereka yakini.

Namun kini, tatanan itu tak lagi vertikal—ia horizontal, disusun oleh pasar dan disebar melalui jaringan.

Ritual tak lagi sakral karena maknanya, tetapi karena view, jumlah like, dan engagement.

  • Seseorang bisa menangis dalam doa
  • dan viral karena air matanya jernih di kamera.
  • Mistik berubah menjadi retorika.
  • Kesalehan menjadi gaya hidup.

Dan gaya hidup, seperti yang diketahui pasar, adalah komoditas yang paling laku.

IV. Mistisisme dan Mekanisme

Dulu, para mistikus berjalan tanpa harta, karena mereka tahu: 

  • satu langkah menuju Tuhan lebih berharga daripada seribu emas.

Namun kini, langkah itu disponsori, disiarkan, dan dipromosikan. Ziarah berubah menjadi tur spiritual, dan keheningan menjadi itinerary wisata.

  • Max Weber menulis tentang rationalization of faith— rasionalisasi iman yang mengubah dunia spiritual menjadi dunia birokrasi.

Dan kini, birokrasi itu naik pangkat:

Menjadi industri. Ada sistem, hierarki, dan laporan keuangan untuk hal-hal yang dulu hanya perlu niat dan cinta. Bahkan malaikat pun barangkali kebingungan melihat manusia berdoa sambil menandatangani kontrak kerja rohani.

V. Kekuasaan, Kapital, dan Kesucian

  • Dalam ekonomi iman, kekuasaan tidak lagi berwujud paksaan, melainkan persuasi dengan bahasa moral.

Antonio Gramsci menyebutnya hegemoni kultural:

  • Di mana kekuasaan bertahan bukan karena takut, melainkan karena dipercaya suci.

Dan di sinilah paradoks itu lahir:

ketika nama Tuhan menjadi merek dagang, kesetiaan bukan lagi kepada kebenaran, melainkan kepada franchise spiritual yang paling menguntungkan.

  • Yang menolak dianggap sesat,
  • yang tunduk dijanjikan surga dalam brosur berdesain indah.

Segalanya terukur, bahkan keselamatan. Harga iman ditulis dalam paket—per bulan, per event, per amal.

VI. Etika dan Estetika di Era Rohani Kapital

  • Walter Benjamin menulis bahwa di zaman modern, setiap karya kehilangan “auranya” karena reproduksi tanpa batas.

Demikian pula iman: ketika doa disiarkan, ia kehilangan keheningan;

  • ketika kesucian ditampilkan, ia kehilangan misterinya. Namun manusia modern tak bisa hidup tanpa tanda-tanda itu.
  • Mereka memerlukan estetika untuk percaya. Maka lahirlah estetika kesalehan— seni berpakaian saleh, berbicara saleh, tersenyum saleh.
  • Kesucian menjadi gaya, bukan keadaan jiwa. Dan di sinilah iman yang cantik menutupi iman yang kosong.

VII. Antara Iman dan Iklan

Mungkin dunia tak sedang menghina iman, hanya menyesuaikannya dengan logika zaman.

  • Di tengah hiruk pikuk algoritma, iman mencoba bertahan, meski harus berganti wujud menjadi produk spiritualitas yang bisa dikonsumsi dengan cepat.

Namun seperti Søren Kierkegaard menulis:

  • "Ketika agama kehilangan paradoksnya, ia kehilangan Tuhan."

Dan mungkin, di tengah pasar yang sibuk ini, Tuhan masih menunggu— bukan di pusat perbelanjaan spiritual, melainkan di ruang sunyi yang tak diiklankan siapa pun.

VIII. Penutup

Industri iman bukanlah bencana,

melainkan cermin yang menampakkan wajah kita sendiri:

manusia yang haus makna tapi takut kesunyian.

  • Kita ingin dekat dengan yang Ilahi, tapi tetap ingin dikenal dunia.
  • Kita ingin berdoa, tapi juga ingin diabadikan.

Maka lahirlah zaman ini— zaman ketika keyakinan dijual, dan pembeli merasa telah membeli keselamatan.

Namun di antara gemuruh pasar spiritual, masih ada jiwa-jiwa yang berjalan tanpa nama, tanpa merek, tanpa janji— mereka yang masih percaya bahwa Tuhan bukan komoditas, melainkan bisikan yang hanya terdengar oleh hati yang tak diperjualbelikan.

Posting Komentar untuk "Ketika Keyakinan Menjadi Industri: Ekonomi dari Iman dan Simbol"