Lidah Langit: Mengapa Para Pembawa Risalah Merasa Wajib Menyampaikan ?
![]() |
Lidah Langit : Mengapa Para Pembawa Risalah Merasa Wajib Menyampaikan? Gambar : gorbysaputra.com |
Tentang beban menyampaikan yang tak bisa ditolak.
Ada panggilan yang tak bisa dijelaskan dengan bukti.
- Ia tak lahir dari logika, tak bersumber dari ambisi, melainkan dari sesuatu yang menyala di kedalaman dada.
Seperti kata Jalaluddin Rumi dalam Mathnawi:
- “Api yang berasal dari langit tak bisa ditampung dalam dada manusia tanpa terbakar.”
Para pembawa risalah—dulu disebut nabi, kini bisa jadi penyair, penulis, atau manusia yang tak tahan melihat kebisuan—selalu menanggung cahaya yang terlalu berat untuk disimpan sendiri.
Mereka menyampaikan bukan karena ingin didengar, melainkan karena ada sesuatu yang menuntut keluar:
- sebuah gelisah,
- sebuah gema dari langit,
yang tak bisa mereka tolak tanpa mengkhianati diri sendiri.
![]() |
Mengapa Para Pembawa Risalah Merasa Wajib Menyampaikan? Gambar : gorbysaputra.com |
🌌 Lidah Langit di Tengah Dunia yang Bising
Di zaman ini, suara dari langit kalah cepat dari suara notifikasi. Yang dulu disebut wahyu kini harus bersaing dengan trending topic.
- Namun panggilan itu tetap datang — dalam bentuk yang lain. Ia menyapa lewat kelelahan, kegelisahan, atau rasa hampa setelah segala pencapaian.
Michel Foucault, dalam kuliahnya Fearless Speech, menulis:
- “Kebenaran selalu hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan.”
Dan kekuasaan hari ini adalah algoritma:
ia menuntut kita bicara tanpa hening, menyampaikan tanpa makna, mengabarkan tanpa kebijaksanaan.
Namun di antara kebisingan itu, masih ada segelintir jiwa yang memutuskan untuk berhenti sejenak, mendengarkan gema dari dalam dada sendiri.
Mereka bukan sedang mencari pengikut, melainkan sedang menyelamatkan diri dari kebisingan dunia yang menolak sunyi.
🔥 Cahaya yang Tak Bisa Dipadamkan
Socrates, sebagaimana dicatat Plato dalam Apology, menyebut daimonion —suara batin yang tak memerintah, tapi memperingatkan.
- Bagi para pembawa risalah, suara itu bukan pilihan, tapi panggilan. Dan menolak panggilan itu sama seperti menolak napas.
Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus menulis:
- “Yang paling menyakitkan bukan penderitaan, tetapi kehilangan makna.”
Maka mereka menyampaikan agar dunia tetap punya arah. Bukan karena mereka lebih tahu, tetapi karena mereka tak sanggup menonton kegelapan tumbuh tanpa berkata apa-apa.
Clifford Geertz, antropolog budaya, dalam The Interpretation of Cultures, mengatakan:
- “Manusia adalah binatang yang tergantung pada jaring-jaring makna yang ia sendiri tenun.”
Mungkin itulah tugas abadi para pembawa risalah:
menata kembali jaring makna yang dikoyak zaman.
🌒 Ketika Kebenaran Menjadi Ancaman
Sejak dahulu, yang membawa cahaya sering dianggap pembakar.
Plato, dalam Republic, Book VII, menulis alegori gua:
- mereka yang keluar dan kembali dengan cahaya akan dilempari batu, karena silau menakutkan bagi mata yang terbiasa gelap.
Kini, batu itu berubah bentuk — kadang berupa komentar sarkastik, kadang tuduhan, kadang algoritma yang menenggelamkan suara jujur di antara konten kosong.
![]() |
Lidah Langit : mengapa para pembawa risalah merasa wajib menyampaikan? Gambar : gorbysaputra.com |
Namun rasa sakitnya tetap sama.
Walter Benjamin, dalam The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction, menulis:
- “Zaman modern adalah zaman yang kehilangan aura.”
Mungkin karena itu para pembawa risalah kini tak lagi diarak, tapi diabaikan — karena terlalu pelan untuk dunia yang berlari cepat.
🌫️ Antara Wahyu dan Wi-Fi
Mungkin Tuhan hari ini berbicara lewat sinyal lemah, di sela jeda koneksi yang terputus.
- Barangkali wahyu kini tidak turun dalam bentuk kitab, melainkan dalam bentuk keheningan yang tak terbaca di layar.
Simone Weil, mistikus dan filsuf Prancis, menulis dalam Gravity and Grace:
- “Kesunyian adalah bentuk kehadiran Tuhan yang paling sempurna.”
Namun dunia modern takut pada sunyi, karena sunyi memaksa kita mendengar suara yang paling jujur:
- diri sendiri.
Para pembawa risalah modern bukan orang yang selalu bicara tentang Tuhan, tetapi mereka yang masih berani mencari makna di tengah kebisingan global.
- Kadang mereka menulis puisi,
- kadang menanam pohon,
- kadang hanya diam —
namun di dalam diam itu, ada percakapan panjang dengan langit.
🌤️ Menyampaikan Sebagai Bentuk Bertahan
- Dalam dunia yang menilai segalanya dengan “engagement”, menyampaikan kebenaran tampak sia-sia.
Namun seperti kata Emmanuel Levinas dalam Totality and Infinity:
- “Tanggung jawab terhadap yang lain selalu datang sebelum kebebasan.”
Mereka menyampaikan bukan demi validasi, melainkan demi kewarasan.
Albert Camus, dalam esai The Rebel, menulis:
- “Aku memberontak, maka aku ada.”
Dan bagi para pembawa risalah, memberontak terhadap kebisuan adalah bentuk kesetiaan terhadap nurani. Mereka tahu dunia mungkin tak berubah, namun jika mereka diam, dunia akan kehilangan saksi bagi cahaya.
🌠Mereka yang Tak Bisa Diam
Mereka yang membawa risalah kini tak selalu berpakaian suci.
- Kadang mereka duduk di depan laptop, menulis di malam hari.
- Kadang mereka berdiri di jalan, atau hanya berbicara dengan satu orang, bukan massa.
Namun beban mereka sama:
- menyampaikan agar dunia tak seluruhnya gelap.
Friedrich Nietzsche dalam Twilight of the Idols menulis:
- “Siapa yang memiliki mengapa untuk hidup, dapat menanggung segala bagaimana.”
Bagi para pembawa risalah,
“mengapa”-nya sederhana:
- karena mereka tak sanggup diam melihat manusia kehilangan cahaya.
Mereka menyampaikan bukan karena ingin dipercaya, tetapi karena jika mereka diam —dunia akan menjadi lebih sunyi dari yang bisa ditanggung jiwa.
Posting Komentar untuk "Lidah Langit: Mengapa Para Pembawa Risalah Merasa Wajib Menyampaikan ?"