Manusia Digital: Antara Kebiasaan, Algoritma, dan Kesadaran Kolektif
![]() |
| Manusia Digital: Antara Kebiasaan, Algoritma, dan Kesadaran Kolektif Gambar : gorbysaputra.com |
Manusia digital, algoritma, dan kesadaran kolektif masa kini.
Manusia hari ini hidup dalam ekosistem digital yang tidak lagi netral. Teknologi, media sosial, dan algoritma telah menjadi struktur sosial baru yang mempengaruhi cara berpikir, berinteraksi, dan mengambil keputusan.
Dalam konteks ini, filsafat dan ilmu perilaku manusia menjadi penting untuk memahami mengapa manusia tidak sekadar “menggunakan” platform, melainkan “hidup di dalamnya”.
1. Teknologi Sebagai Cermin Perilaku
Martin Heidegger dalam karyanya The Question Concerning Technology, mengatakan bahwa teknologi bukan sekadar alat (instrumental), melainkan cara manusia “mengungkap” dunia. Dengan kata lain, cara kita menggunakan media sosial, aplikasi jual-beli, atau AI bukan hanya mencerminkan kebutuhan praktis, tapi juga struktur eksistensial:
- bagaimana kita memandang diri sendiri dan orang lain ?
Contohnya terlihat dalam fenomena “doomscrolling”, yaitu kebiasaan tanpa sadar menggulir layar terus-menerus untuk mencari informasi baru. Perilaku ini memperlihatkan bentuk kecanduan akan “makna instan”—di mana perhatian menjadi mata uang baru.
Dalam istilah Shoshana Zuboff (The Age of Surveillance Capitalism), manusia kini hidup di bawah rezim ekonomi perhatian (attention economy), di mana data perilaku kita diperdagangkan untuk prediksi dan manipulasi.
2. Algoritma dan Adaptasi Psikologis
Dari sudut pandang psikologi digital, perilaku manusia di platform berbeda karena setiap algoritma “mendidik ulang” cara otak memproses kesenangan, rasa ingin tahu, dan validasi sosial.
- Seperti dijelaskan oleh Jean Twenge dalam iGen, generasi digital tumbuh dengan otak yang disetel oleh notifikasi—di mana dopamin dilepaskan setiap kali ada like atau komentar. Proses biologis ini menciptakan ketergantungan emosional, yang menjelaskan kenapa konten hiburan ringan jauh lebih cepat viral dibanding konten edukatif.
Sebagai contoh nyata:
- Di TikTok, konten hiburan cepat dengan pola “15 detik pertama harus menarik” muncul karena algoritma menilai tingkat retensi pengguna.
- Di LinkedIn, konten yang bernada profesional dan inspiratif lebih disukai karena platform ini dirancang untuk membangun self-branding.
- Di YouTube, algoritma rekomendasi menuntun pengguna dari satu video ke video lain dengan kesamaan tema, membentuk “terowongan preferensi” (filter bubble).
3. Lintas Disiplin: Dari Antropologi hingga Sosiologi Digital
Untuk memahami perilaku manusia di dunia digital, para ilmuwan menggabungkan pendekatan lintas disiplin:
- Antropologi digital (Horst & Miller, Digital Anthropology) meneliti bagaimana budaya lokal mempengaruhi cara orang menggunakan media.
Misalnya, pengguna Indonesia cenderung menambahkan unsur humor, sapaan, atau religiusitas dalam konten mereka, berbeda dengan pengguna Barat yang lebih fokus pada individualitas.
- Sosiologi jaringan (Castells, The Rise of the Network Society) menyoroti bahwa kekuasaan kini berpindah dari institusi ke jaringan digital. Platform seperti X (Twitter) atau Instagram mampu membentuk opini publik lebih cepat daripada media massa konvensional.
- Filsafat komunikasi (Habermas, The Theory of Communicative Action) menegaskan bahwa ruang digital seharusnya menjadi arena dialog, bukan manipulasi. Namun kini, ruang itu sering kali dipenuhi “komodifikasi interaksi”, di mana percakapan berubah menjadi strategi pemasaran.
4. Dampak Sosial dan Etika Digital
Dari sisi etika, teknologi menciptakan dilema moral baru. Contohnya:
- Deepfake digunakan untuk hiburan, tetapi juga bisa menyebarkan disinformasi.
- AI-generated content membantu produktivitas, tapi mengaburkan batas antara karya manusia dan mesin.
- Data scraping dipakai untuk riset perilaku, namun berpotensi melanggar privasi pengguna.
Menurut Luciano Floridi (The Ethics of Information), manusia modern berada dalam “infosfer”, di mana setiap tindakan digital memiliki konsekuensi etis.
Kita tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga aktor moral di ruang data.
5. Era AI dan Evolusi Kesadaran Digital
Kehadiran AI memperluas dimensi perilaku manusia. Kini, keputusan kita sering “dibantu” mesin yang belajar dari pola data sebelumnya.
- Namun sebagaimana diingatkan oleh Nick Bostrom dalam Superintelligence , mesin yang belajar dari perilaku manusia juga mewarisi bias manusia itu sendiri.
Contoh konkret:
- Rekomendasi belanja di e-commerce seperti Tokopedia atau Shopee dipersonalisasi berdasarkan riwayat pencarian.
- AI di media sosial mendorong pengguna tetap aktif dengan menampilkan konten yang paling mungkin memancing emosi.
- Chatbot dan asisten virtual membentuk hubungan emosional palsu, yang pada beberapa kasus memengaruhi keputusan finansial atau bahkan hubungan sosial pengguna.
6. Dari Platform ke Pola Hidup: Ketika Dunia Digital Menjadi Habitat
Kini, dunia digital bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi habitat kedua manusia.
- Perilaku seperti “scroll sebelum tidur”, “mengecek notifikasi saat makan”, atau “posting untuk validasi” sudah menjadi ritual modern.
Hal ini sejalan dengan pendapat Marshall McLuhan dalam Understanding Media:
- “We shape our tools, and thereafter our tools shape us.”
Contoh nyata sehari-hari:
Banyak orang membuka Instagram bukan untuk mencari informasi, tapi untuk mencari perasaan “terhubung”.
- YouTube menjadi sarana belajar visual pengganti buku teks.
- Shopee dan TikTok Shop memadukan hiburan dan jual beli, menciptakan perilaku konsumtif berbasis emosi.
7. Masa Depan: Dari Ketergantungan ke Kesadaran Digital
- Ke depan, tantangan manusia bukan lagi sekadar menguasai teknologi, melainkan menyadari bagaimana teknologi menguasai dirinya.
- Filsafat eksistensial dan etika digital memberi panduan agar manusia tetap menjadi subjek yang sadar, bukan objek algoritma.
Seperti yang ditulis Yuval Noah Harari dalam Homo Deus :
- “Dataism may become the most powerful religion of the 21st century — where meaning flows not from human experience, but from the processing of data.”
Artinya, manusia di masa depan akan dihadapkan pada pilihan antara menjadi makhluk sadar atau sekadar pengguna yang diprogram.
Referensi
- Heidegger, M. The Question Concerning Technology. Harper & Row.
- Zuboff, S. The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.
- Twenge, J. iGen. Simon & Schuster.
- Horst, H., & Miller, D. Digital Anthropology. Berg Publishers.
- Castells, M. The Rise of the Network Society. Blackwell.
- Habermas, J. The Theory of Communicative Action. Beacon Press.
- Floridi, L. The Ethics of Information.
- Oxford University Press.
- Bostrom, N. Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies. Oxford University Press.
- McLuhan, M. Understanding Media: The Extensions of Man. McGraw-Hill.
- Harari, Y. N. Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Harper.


Posting Komentar untuk "Manusia Digital: Antara Kebiasaan, Algoritma, dan Kesadaran Kolektif"