Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

⚡ Tubuh yang Dijadikan Tuhan: Tentang Otoritas, Kharisma, dan Mekanika Kepercayaan

 

Tubuh yang dijadikan Tuhan Gambar : gorbysaputra.com
Tubuh yang dijadikan Tuhan
Gambar : gorbysaputra.com

“Manusia tidak hanya percaya pada Tuhan.
Ia juga percaya pada tubuh yang tampak seperti Tuhan.”
— Nietzsche, dalam gema Zarathustra yang belum padam.

Sebelum ada teks, ada tubuh. Sebelum ada agama, ada getar di dada manusia yang gentar oleh sesuatu yang tak dapat dijelaskan. Tubuh adalah kitab pertama, ditulis bukan dengan huruf, melainkan dengan gerak, nafas, dan rasa. Merleau-Ponty menyebut tubuh sebagai medium of being, perantara antara roh dan dunia. Dari tubuhlah bahasa lahir, dan dari bahasa, kekuasaan mulai bernafas.

Sejak manusia mampu melihat perbedaan dalam gerak, ia mulai menilai: 

tubuh yang duduk tegap, yang diam dalam disiplin, yang menolak makan, yang menolak marah, tiba-tiba tampak lebih dekat dengan yang ilahi. 

Maka lahirlah otoritas pertama: 

tubuh yang tidak biasa. Tubuh yang bisa menahan keinginan menjadi simbol pengendalian, tubuh yang bisa menatap tanpa takut menjadi lambang pengetahuan. Michel Foucault menulis bahwa kekuasaan tidak hanya berbunyi, ia berwujud, merayap dalam postur, dalam tatapan, dalam cara diam seseorang. Kekuasaan adalah koreografi sosial; 

setiap gerak kecil memiliki tata etikanya sendiri.

Tubuh-tubuh yang berbeda perlahan ditafsirkan sebagai lebih tinggi, lebih suci, lebih pantas dipercaya. Dari tafsir inilah lahir kharisma. Weber menyebutnya charismatische Herrschaft, kekuasaan kharismatik — lahir bukan dari hukum, bukan dari warisan, tapi dari pengakuan emosional para pengikut. Kharisma bukan substansi, ia pantulan. Ia tidak tinggal dalam tubuh itu sendiri, tapi dalam tatapan yang menaruh makna ke atasnya. Tubuh yang tampak benar akan lebih kuat daripada pikiran yang benar. Karena dalam sejarah manusia, yang menaklukkan bukan logika, melainkan aura.

Lalu manusia mencatat gerak tubuh itu, menirunya, mengulanginya hingga menjadi sistem. 

Munculah ritual: 

cara berjalan, cara membungkuk, cara menatap, cara berdoa. Setiap gerak yang dulu spontan kini menjadi rumus. Setiap rasa gentar kini menjadi dogma. Hannah Arendt berkata, kekuasaan sejati lahir dari tindakan bersama, bukan dari kekerasan. Namun dalam sejarah, tindakan bersama sering kali berubah menjadi penyembahan bersama — dan penyembahan selalu menuntut tubuh tertentu menjadi pusat orbit

Maka legitimasi lahir dari bentuk fisik: 

janggut, jubah, cara bicara, cara duduk. Dari tubuh menjadi simbol, dari simbol menjadi ajaran, dari ajaran menjadi hukum.

Di sinilah Kierkegaard berbisik: 

“Iman dimulai ketika rasio berhenti.” 

Dan di titik berhenti itu, tubuh mulai menjadi altar. Ketika tubuh dianggap suci, pertanyaan berhenti berfungsi. 

Maka dunia digenangi oleh posisi tubuh yang diulang-ulang: 

sujud, berlutut, tunduk, mencium tangan. Semua gerak itu lahir dari penghormatan, tapi bisa berakhir menjadi mekanisme ketundukan. 

Tak ada yang jahat di dalamnya, tapi ada bahaya di balik pengulangan: 

bahwa manusia bisa lupa siapa yang ia sembah.

Foucault memahami bahwa zaman modern tidak lagi menghukum tubuh dengan cambuk, tetapi dengan rasa bersalah. Disiplin bukan lagi pukulan, tapi kesadaran yang dikontrol. Kekuasaan kini mengatur posisi duduk, nada suara, pakaian, bahkan bentuk doa. 

Ia tak butuh paksaan; 

  • ia menanamkan ketakutan lembut. Tubuh menjadi jinak, bahkan dalam kesalehannya.
  • Namun dalam arus lain sejarah, tubuh justru menjadi jalan untuk melampaui bentuk. 

Ibn ‘Arabi memandang tubuh sebagai cermin Tuhan: 

di dalamnya, Sang Tak Terbatas memantulkan Diri. Al-Hallaj, dalam ekstase fana, berteriak: 

Ana al-Haqq — Aku adalah Yang Benar. Sebuah kalimat yang membuatnya dihukum mati, bukan karena ia gila, tapi karena ia mengingatkan manusia bahwa batas antara Tuhan dan hamba hanyalah selapis kesadaran. 

Tubuh dalam tangan para sufi bukan alat kekuasaan, melainkan jembatan antara kasih dan kefanaan. Ia bukan lambang dominasi, tapi jalan menuju lenyap.

Tapi sejarah jarang sabar terhadap kebebasan. Tubuh yang fana karena cinta sering kali dipahami sebagai tubuh yang berbahaya bagi sistem. 

Maka tubuh-tubuh seperti Al-Hallaj dibakar, disalib, dipenjara, disalahkan — bukan karena ia salah, tapi karena ia mengganggu tatanan makna yang sudah disepakati. 

Nietzsche sudah memperingatkan: 

“Di balik setiap moralitas, ada kehendak untuk berkuasa.” 

Maka setiap ajaran, bahkan yang tampak paling suci, perlu dipertanyakan: 

  • apakah ia sungguh lahir dari cinta, atau dari ketakutan kehilangan kendali?

Peter Berger dan Thomas Luckmann menulis bahwa realitas sosial dibangun, diwariskan, dan dipelihara melalui kebiasaan. 

Kepercayaan bukan benda jatuh dari langit; 

ia arsitektur sosial yang dibangun dari tubuh-tubuh yang berulang. Setiap sujud, setiap gerak tangan, setiap ritual kecil — membangun tembok tak terlihat yang disebut iman. Dan di balik tembok itu, pertanyaan berhenti.

Spinoza tahu betul bahaya ini. 

Dalam Theologico-Political Treatise, ia memperingatkan bahwa manusia lebih mudah membunuh nabi daripada mendengarkan suaranya. 

Sebab suara kenabian mengganggu kenyamanan tatanan. Tubuh yang menolak tunduk dianggap sesat, tubuh yang tidak membungkuk dianggap sombong, tubuh yang bertanya dianggap kafir. 

Tapi bukankah setiap tubuh memiliki hak untuk menatap langit tanpa perantara?

Dalam dunia modern, bentuk penyembahan berubah rupa. Tubuh yang dulu suci karena disiplin kini suci karena viral. Popularitas menjadi versi baru dari kharisma. 

Tubuh yang paling banyak dilihat dianggap paling benar, yang paling banyak disukai dianggap paling pantas diikuti. 

Weber menulis tentang charisma, kini algoritma menulis ulangnya menjadi visibility. Kharisma yang dulu memancarkan wibawa kini bisa diproduksi oleh kamera depan. Dan masyarakat global menatap layar seperti umat menatap altar.

Namun, kebenaran tidak pernah berada di layar. Ia selalu bersembunyi di antara gerak-gerak kecil yang tidak ditangkap kamera: 

  • napas yang tenang, pandangan yang jujur, diam yang tidak palsu. Tubuh yang benar bukan yang disembah, tapi yang sadar bahwa ia bisa menjadi berhala bagi yang lain.

Ketika tubuh yang hidup dijadikan ajaran, maka kebenaran berhenti tumbuh. 

Kebenaran sejati tidak pernah membatu; 

ia mengalir, seperti air dari sumber yang tak pernah habis. Tapi manusia takut pada ketidakpastian, maka ia membangun patung dari air dan menyembahnya. Ia melupakan bahwa bahkan sungai suci pun berganti arus setiap saat.

Tubuh adalah peta peradaban. Bila tubuh hanya tahu bagaimana caranya tunduk, peradaban akan macet di altar ketakutan. 

Tapi bila tubuh belajar sadar — bukan sekadar bebas, melainkan sadar — maka setiap gerak menjadi doa, setiap pandangan menjadi revolusi. 

Tubuh yang sadar bukan tubuh yang melawan Tuhan, tapi tubuh yang menatap-Nya dengan penuh keberanian, tanpa perantara ketakutan, tanpa ornamen kepalsuan.

Tubuh adalah saksi, bukan tuhan. Ia tak pernah memerintah, hanya mengingatkan:

  • bahwa segala sujud sejati tidak pernah untuk makhluk,
  • bahwa segala cinta sejati tidak pernah menuntut posisi,
  • bahwa segala kharisma sejati lahir dari lenyapnya keinginan untuk berkuasa.

Maka mungkin di ujung segala peradaban,

manusia akan kembali kepada bentuk paling awal dari doa:

diam, menatap langit tanpa nama, menyadari tubuhnya sendiri sebagai bagian dari semesta yang tak perlu disembah.

📚 Landasan Pemikiran dan Sumber Referensi:

Michel Foucault – Discipline and Punish 
Max Weber – Economy and Society 
Maurice Merleau-Ponty – Phenomenology of Perception 
Friedrich Nietzsche – On the Genealogy of Morals ; Thus Spoke Zarathustra 
Hannah Arendt – The Human Condition 
Søren Kierkegaard – Fear and Trembling 
Peter L. Berger & Thomas Luckmann – The Social Construction of Reality 
Ibn ‘Arabi – Futuhat al-Makkiyah
Al-Hallaj – Kitab al-Thawasin
Baruch Spinoza – Theologico-Political Treatise 

Posting Komentar untuk "⚡ Tubuh yang Dijadikan Tuhan: Tentang Otoritas, Kharisma, dan Mekanika Kepercayaan"