Kerja, Algoritma, dan Martabat: Menyusun Ulang Ketenagakerjaan di Kota Bekasi
![]()  | 
| Kerja, Algoritma, dan Martabat Gambar : gorbysaputra.com  | 
Ketika aturan, teknologi, dan budaya bertabrakan — solusi apa yang masuk akal untuk orang yang benar-benar hidup dari upah dan kerja?
Bekasi sebagai Cermin Konflik Modern
Bekasi bukan sekadar kota industri;
- ia adalah persimpangan waktu — sejarah agraris yang tiba-tiba berubah menjadi garis pabrik, kampung yang berubah menjadi pematang industri, dan generasi muda yang lahir di antara kontrak kerja dan iklan lowongan online.
 
Di kota ini, angka bukan sekadar statistik:
- TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) Kota Bekasi Agustus 2024 tercatat sekitar 7,82% — sebuah indikator yang menunjukkan bahwa persoalan bukan hanya soal lowongan, melainkan soal kecocokan keterampilan, akses, dan juga struktur sosial yang lebih luas.
 
Di sisi lain, upah minimum di Bekasi termasuk tinggi di level provinsi/ nasional — UMK Kota Bekasi 2025 ditetapkan di kisaran Rp 5,69 juta — namun angka itu hanya bagian dari cerita:
biaya hidup, akses pekerjaan formal, ketidakamanan kontrak, dan munculnya platform kerja membuat upah nominal sering tak cukup menjamin kehidupan layak.
1. Filsafat Manusia: Martabat di Era Otomatisasi
Dilema paling mendasar adalah normatif:
apakah tujuan kebijakan ketenagakerjaan sekadar mengurangi angka pengangguran, atau menjaga martabat manusia yang bekerja?
- Filsafat memberi kita norma — bahwa pekerjaan bukan hanya komoditas ekonomi, melainkan cara orang merebut harga diri, memastikan reproduksi sosial, dan mengartikulasikan kewargaan.
 
Dalam konteks Bekasi, ketika perusahaan mengadopsi algoritma rekrutmen atau AI untuk otomatisasi, ada risiko dua hal sekaligus:
- efisiensi di satu sisi, penghapusan lapangan hidup di sisi lain. Oleh karena itu etika teknologi (tech ethics) harus menjadi
 
bagian dari kebijakan ketenagakerjaan:
surveilans algoritmik, bias perekrutan, dan keputusan otomatis tentang PHK mesti diatur oleh standar yang memprioritaskan dampak manusiawi.
2. Sejarah & Antropologi: Warisan Transformasi Ruang dan Jejaring Informal
Transformasi Bekasi dari pedesaan ke industri meninggalkan jaringan sosial yang masih bekerja—informal hiring lewat kenalan, patronase, dan peran keluarga.
- Antropologi lapangan memperlihatkan bahwa banyak pencari kerja mengandalkan broker lokal, informasi dari tetangga, atau pengalaman magang tidak formal. Lembaga pelatihan formal (BLK/BBPVP) mencoba menjembatani, namun skalanya terbatas.
 
Misalnya, BBPVP Bekasi aktif membuka pendaftaran dan menyediakan program berbasis penempatan — langkah baik, tetapi kapasitas dan kecocokan kurikulum terhadap kebutuhan industri cepat berubah masih menjadi tantangan.
Sejarah juga mengajarkan bahwa intervensi top-down tanpa keterlibatan komunitas kerap gagal:
program pelatihan yang “dikirim” ke warga yang tidak memiliki akses transport atau waktu akan berakhir menjadi statistik tanpa makna.
3. Budaya & Sosiologi: Etos Kerja, Relasi Sosial, dan Fragmentasi Pasar Tenaga Kerja
- Budaya kerja di Bekasi tercipta dari pertemuan dua dunia—nilai gotong royong kampung dan etos produksi pabrik yang kaku.
 
Sosiologi memperlihatkan fragmentasi:
- sektor formal (dengan kontrak dan jaminan), sektor kontrak/outsourcing (rentan), dan sektor informal (serbaguna tetapi tidak terlindungi).
 - Serikat pekerja masih memegang peran penting dalam mempertahankan keseimbangan, tetapi kapasitasnya terkikis oleh outsourcing dan work-platform yang menyebar pekerja dalam atomisasi.
 
Praktik budaya—mis. jam kerja yang tumpang tindih dengan kewajiban keluarga, preferensi kerja yang menekankan stabilitas untuk keluarga—mempengaruhi keputusan ekonomi pekerja. Kebijakan yang mengabaikan nilai-nilai ini akan sulit diadopsi.
4. Planologi: Tata Ruang, Transportasi, dan Biaya Hidup
Planologi sering dilupakan dalam diskursus ketenagakerjaan, padahal sangat menentukan.
- Pabrik yang menumpuk di zona industri tetapi perumahan murah jauh di pinggiran memaksa pekerja menanggung biaya transportasi tinggi, kehilangan waktu produktif, dan menambah beban biaya hidup.
 - UMK yang terlihat tinggi di Bekasi berusaha menutup gap biaya hidup, namun tanpa penyusunan tata ruang yang memperpendek jarak rumah–kerja, banyak pekerja tetap mengalami “pengorbanan waktu” yang nyata.
 
Solusi planologis:
perencanaan perumahan pekerja terjangkau dekat cluster industri, integrasi moda transportasi massal, dan insentif developer untuk hunian terjangkau yang dekat lapangan kerja.
5. Ekonomi & Hukum: Insentif, Distribusi, dan Proteksi Sosial
Secara ekonomi, ada dua masalah utama:
- biaya investasi pelatihan dan externality pasar tenaga kerja. Industri menginginkan pekerja siap pakai tetapi mengelak menanggung biaya pendidikan jangka panjang. Hukum daerah (Perda) dan instrumen fiskal bisa menawarkan
 
solusi:
insentif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi di training;
- kewajiban kontribusi CSR struktural untuk pelatihan; dan skema matching fund pemerintah-industri-pendidikan.
 
Namun tanpa penegakan hukum yang kuat, Perda tinggal nama. Hukum harus memastikan hak pekerja (pesangon, jaminan sosial) tetap berlaku, termasuk bagi pekerja di platform digital dan kontrak jangka pendek.
6. Era Digital, Algoritma, dan AI: Ancaman & Peluang
AI membawa paradoks:
sebagian pekerjaan hilang, sebagian baru muncul. Studi dan kajian teranyar menegaskan bahwa AI menggeser tugas rutin—administratif, repetitif—sementara membuka ruang bagi pekerjaan yang memerlukan kreativitas, pengawasan, dan pemeliharaan sistem AI itu sendiri. Namun transformasi ini tidak otomatis;
- dibutuhkan kurikulum baru, pelatihan ulang (reskilling), dan akses digital merata. Laporan akademik dan kajian menunjukkan perlunya kebijakan komprehensif untuk menyiapkan tenaga kerja menghadapi perubahan ini.
 
Algoritma rekrutmen juga memperkenalkan masalah baru:
bias dalam CV screening, marginalisasi pelamar tertentu, dan minimnya transparansi. Regulasi tentang audit algoritmik dan hak untuk tahu (right to explanation) perlu diadopsi di tingkat daerah dan perusahaan.
7. Kemiskinan Parah dan Rentan: Siapa yang Tertinggal?
Di balik angka UMK dan rerata pendapatan, ada kelompok rentan:
- pekerja harian, keluarga miskin perkotaan, perempuan yang menanggung beban ganda (pekerjaan + domestik), dan lansia. Program pelatihan yang berorientasi industri sering tidak mencapai mereka karena kendala akses dan kriteria seleksi.
 
Intervensi harus bersifat proaktif:
voucher pelatihan, subsidi transport, pengenalan program inklusif yang menempatkan kebutuhan dasar (makanan, kesehatan) sebagai prasyarat partisipasi, dan jaminan sosial dasar yang menjamin survival saat masa transisi.
8. Dari Analisis ke Aksi: Rekomendasi Berbasis Disiplin (Konkret & Prioritas)
A. Kebijakan & Regulasi (Hukum + Ekonomi)
- Perda Kemitraan Pendidikan–Industri: mewajibkan kontribusi pelatihan (matching fund) bagi perusahaan di cluster industri.
 - Insentif Pajak untuk Pelatihan: kredit pajak bagi perusahaan yang menyelenggarakan apprenticeship formal.
 - Regulasi Audit Algoritmik: perusahaan besar wajib audit algoritma rekrutmen oleh pihak independen.
 - Cek data dasar: angka pengangguran Bekasi 7,82% (Agustus 2024) dan UMK 2025 sebagai dasar ukuran kebijakan.
 
B. Pendidikan & Pelatihan (Vokasi Modern + Digital)
- Pusat Pelatihan Klaster (Industry Training Hub): fasilitas bersama yang didanai pemerintah-industri; modul modul micro-credential (pendek, terukur). Contoh:
 - program BBPVP Bekasi membuka pendaftaran rutin — potensi perluasan dan co-design kurikulum.
 - Apprenticeship berbayar: kontrak magang dengan upah dan pathway kerja — mengatasi “pengalaman tanpa bayaran”.
 - Platform Pembelajaran & Micro-credential: bekerjasama dengan industri untuk sertifikat yang diakui di cluster Bekasi.
 
C. Sosial & Budaya (Antropologi + Sosiologi)
- Program Penguatan Soft-Skill dan Budaya Kerja: modul etika kerja, disiplin, kerja tim, yang dirancang dengan memahami budaya lokal.
 - Forum Tripartit Permanen: Dewan Ketenagakerjaan Daerah (Disnaker + DPRD + pengusaha + serikat + pendidikan) dengan data-dashboard publik.
 
D. Planologi & Kehidupan Sehari-hari
- Perumahan Terjangkau dekat Industri: insentif zonasi untuk developer.
 - Subsidized Commuter Schemes: subsidi transport untuk pekerja berpenghasilan rendah.
 
E. Proteksi untuk Era Transisi (AI & Platform)
- Program Reskilling Nasional-Daerah: target pekerja terancam otomasi; modul digital literacy + maintenance AI.
 - Regulasi Platform Work: jaminan minimum, asuransi kecelakaan kerja, akses ke jaminan sosial.
 
9. Narasi yang Bisa Dipahami dan Dijalankan
Kita butuh narasi kebijakan yang membumi:
- bukan jargon birokratis, bukan kata-kata indah tanpa implementasi.
 
Narasi itu harus bicara tentang waktu nyata:
- berapa banyak jam orang menghabiskan untuk transportasi, berapa biaya makan siang untuk keluarga pekerja, siapa yang membayar pelatihan, dan bagaimana AI mengubah tugas sehari-hari.
 
Data BPS dan program BBPVP menunjukkan titik awal—kita tahu masalah dan ada upaya—tapi yang diperlukan adalah sinkronisasi tindakan:
- hukum yang tegas, rencana tata ruang yang berpihak, pendidikan yang adaptif, dialog sosial yang nyata, dan teknologi yang diawasi secara etis.
 
Bekasi bisa menjadi pilot project:
pusat pelatihan klaster, audit algoritmik lokal, forum tripartit permanen, dan program perumahan terintegrasi. Jika berhasil, model ini bukan hanya menyelesaikan persoalan teknis — ia mengubah cara kita memandang kerja:
dari sekadar penghasilan menjadi soal martabat, kesempatan, dan masa depan komunitas.


Posting Komentar untuk "Kerja, Algoritma, dan Martabat: Menyusun Ulang Ketenagakerjaan di Kota Bekasi"