Masyarakat Produktif di Persimpangan Zaman: Antara Struktur Sosial, Privilege, dan Keterjebakan Modernitas
1. Di Mana Kita Berdiri Sekarang
Kita hidup di masa ketika kata produktif bukan sekadar aktivitas, tetapi menjadi ukuran nilai diri. Usia produktif kini identik dengan kemampuan bekerja, membeli, membayar, dan bertahan hidup. Namun, di balik mobilitas sosial yang tampak bebas, ada struktur lama yang tetap menekan: isu primordial, ketimpangan hunian, warisan privilege, hingga tekanan sosial akibat gaya hidup digital.
Esai ini menelusuri keterkaitan yang kompleks antara struktur sosial, ekonomi, keluarga, dan teknologi dalam membentuk cara generasi kini memahami kerja dan kehidupan produktif di Indonesia.
2. Isu Primordial dan Pola Kepentingan Lama
Meski kita hidup di abad digital, bias primordial seperti kesukuan, agama, atau kedaerahan masih kuat mewarnai dunia kerja.
- Perekrutan tenaga kerja sering kali masih menimbang “orang dalam”, “satu almamater”, bahkan “satu iman”. Di balik jargon profesionalitas, solidaritas primordial menjadi “pelindung” emosional dalam sistem yang tak pasti.
Namun, solidaritas itu sekaligus menjadi paradoks. Ia menenangkan sebagian orang, tetapi menyingkirkan banyak lainnya. Modernitas menjanjikan meritokrasi, tetapi realitas sosial kita masih penuh nepotisme yang dibungkus dengan sopan santun kultural.
3. Geografi Sosial dan Ketimpangan Hunian
Tempat tinggal kini menjadi simbol status sosial yang paling kasat mata.
Mereka yang hidup di kawasan dengan akses transportasi lengkap—MRT, tol, terminal, pusat belanja, dan kantor pemerintahan—mendapat kemudahan ekonomi, waktu, dan peluang.
Sementara mereka yang tinggal di wilayah desa atau pinggiran, walau punya solidaritas sosial yang lebih hangat, sering kali tertinggal dari arus produktivitas formal.
Ketimpangan geografis ini bukan hanya ekonomi, melainkan juga psikologis.
Masyarakat urban cenderung berpikir cepat dan kompetitif, sementara masyarakat perdesaan hidup dalam ritme sosial yang lebih lambat tapi solid. Dua pola ini saling bertolak, namun keduanya kini diikat oleh tekanan yang sama: biaya hidup yang terus naik.
4. Komunitas, Identitas, dan Fragmentasi Solidaritas
Komunitas berbasis agama, etnis, ormas, atau serikat pekerja yang dulu menjadi wadah perjuangan kini bertransformasi menjadi ruang identitas dan pencitraan.
- Serikat pekerja kadang lebih sibuk menjadi alat politik; kelompok keagamaan sibuk menegaskan “kami” di hadapan “mereka”.
Solidaritas berubah menjadi simbol keanggotaan, bukan perjuangan bersama.
- Ironinya, di tengah era keterhubungan digital, manusia justru semakin terfragmentasi.
Ruang publik kini bising oleh suara yang ingin diakui, bukan oleh dialog yang ingin dipahami.
5. Teknologi dan Ketergantungan Baru
Sosial media dan e-commerce memberi peluang bagi jutaan orang untuk bekerja mandiri.
- Namun, di balik layar smartphone, ada jutaan “pekerja digital” tanpa jaminan kesehatan, tanpa batas waktu kerja, tanpa perlindungan sosial.
Mereka hidup dalam paradoks: bebas namun terikat, mandiri namun rapuh.
- Algoritma menjadi bos baru yang tak terlihat, namun menentukan segalanya—mulai dari pendapatan hingga harga diri.
Kita menyebutnya kebebasan digital, padahal yang terjadi sering kali adalah ketergantungan yang dimodernisasi.
6. Struktur Keluarga dan Warisan Nilai Produktivitas
Keluarga adalah institusi pertama yang membentuk pandangan tentang kerja.
- Anak tunggal kerap dibesarkan dengan standar tinggi; mereka belajar untuk tak gagal.
Sementara anak dari keluarga besar belajar berkompetisi bahkan sejak di meja makan.
- Bila orang tuanya pensiunan ASN, anak mungkin cenderung mencari stabilitas. Bila orang tuanya pengusaha, mereka lebih berani mengambil risiko.
Dengan kata lain, cara keluarga memaknai kerja menentukan habitus generasi berikutnya.
Dan ketika habitus itu bertemu dengan dunia kerja yang tak stabil, lahirlah generasi yang mudah cemas: bukan karena malas, tetapi karena terus-menerus diuji oleh standar yang tak manusiawi.
7. Privilege, Nasab, dan Modal Sosial
Di banyak daerah, status keluarga, gelar akademik, atau jasa leluhur masih menjadi “tiket sosial”.
- Anak dari keluarga pejabat daerah bisa mendapat kepercayaan publik bahkan sebelum ia bekerja.
Namun di era digital, reputasi mulai bergeser: bukan sekadar siapa keluargamu, tetapi seberapa besar dampak yang kamu ciptakan.
Tetapi pergeseran ini pun ironis.
Ketika reputasi bergantung pada citra digital, manusia kembali menilai nilai kerja dari tampilan, bukan dari substansi.
8. Bonus Demografi dan Dunia Kerja
Indonesia tengah berada di masa keemasan usia produktif. Namun kesempatan kerja formal tak sebanding dengan jumlah tenaga kerja baru.
- Banyak anak muda akhirnya masuk ke sektor jasa informal—ojek online, kurir, reseller, konten kreator—yang fleksibel namun rawan eksploitasi.
Mereka bekerja tanpa batas waktu, tanpa asuransi, dan sering kali tanpa rasa aman.
- Bonus demografi yang seharusnya jadi kekuatan bisa berubah menjadi beban demografi bila struktur ekonomi tak beradaptasi.
Generasi produktif menjadi pekerja maraton tanpa garis finis yang jelas.
9. Pendidikan, Hunian, dan Mentalitas
Kualitas hunian, pendidikan, dan penghasilan berkelindan erat dengan kualitas mental.
- Anak muda di kawasan elit memiliki ruang gagal yang aman—mereka bisa menunda sukses.
Sebaliknya, generasi dari kelas pekerja hidup dengan beban: gagal berarti lapar.
- Maka wajar jika mereka lebih berhitung daripada bermimpi.
Perbedaan ini membentuk dua jenis tenaga kerja: mereka yang bekerja karena pilihan, dan mereka yang bekerja karena terpaksa.
10. Kesehatan, Gizi, dan Produktivitas Mental
Kesehatan fisik dan mental menentukan daya tahan produktif suatu masyarakat.
- Akses terhadap gizi, layanan medis, hingga psikiater menentukan bagaimana individu mampu menghadapi tekanan kerja.
Namun masih banyak wilayah yang minim fasilitas kesehatan, dan lebih banyak lagi masyarakat yang menormalisasi stres sebagai “tanda tangguh”.
Padahal, kerja tanpa kesehatan bukanlah produktivitas, melainkan perlahan-lahan bentuk bunuh diri sosial.
11. Pajak, Iuran, dan Biaya Hidup Kolektif
Pajak kendaraan, pajak penghasilan, iuran keamanan, infaq lingkungan, biaya sampah, dan sumbangan sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan urban.
Solidaritas sosial kini diukur dari seberapa sering seseorang “ikut berkontribusi”.
- Namun beban itu sering terasa berat, terutama bagi mereka yang penghasilannya tak menentu.
Kita hidup dalam ironi: solidaritas terasa wajib, bukan lahir dari kesadaran.
12. Status Sosial dan Mitos Kerja
Bagi sebagian masyarakat, kerja ideal adalah menjadi ASN, karyawan tetap, atau pebisnis mapan.
- Namun dunia telah berubah. Banyak profesi fleksibel menuntut inovasi lebih dari sekadar loyalitas waktu.
Sayangnya, pandangan sosial belum bergeser: kerja 9 jam masih dianggap bukti tanggung jawab, sementara bekerja dari rumah sering dianggap “belum serius”.
Kita masih menilai status, bukan kontribusi. Dan dari situlah banyak kebingungan eksistensial modern berawal.
13. Penutup: Adaptasi yang Manusiawi
Masyarakat produktif Indonesia kini hidup di antara struktur lama dan logika digital.
- Mereka dipaksa terus menyesuaikan diri, namun jarang diberi ruang untuk beristirahat dan berpikir.
Solusi masa depan bukan sekadar menambah lapangan kerja, tetapi menata ulang makna kerja itu sendiri:
- bahwa produktivitas tidak harus berarti kelelahan, dan stabilitas tidak harus berarti stagnasi.
- Kerja seharusnya menjadi bagian dari kehidupan manusiawi, bukan mesin yang menguras kemanusiaan.
Jika kita gagal memahami hal ini, bonus demografi yang kita banggakan bisa berubah menjadi kutukan generasi yang lelah secara massal.

Posting Komentar untuk "Masyarakat Produktif di Persimpangan Zaman: Antara Struktur Sosial, Privilege, dan Keterjebakan Modernitas"