“Tentang Pahlawan: Bayang-bayang yang Kita Ciptakan Agar Tidak Terlalu Sendirian dalam Kekalahan”
![]() |
| Tentang Pahlawan: Bayang-bayang yang kita ciptakan agar tidak terlalu sendirian dalam kekalahan Gambar : gorbysaputra.com |
I. Asal Luka Bernama Pahlawan
Manusia menciptakan pahlawan bukan karena ia berani, tetapi karena ia takut.
Takut pada kefanaan, takut pada kesia-siaan, takut bahwa hidupnya akan berlalu tanpa meninggalkan gema sekecil pun di ruang sunyi sejarah. Maka ia menulis nama-nama, menegakkan patung, memberi gelar “pahlawan” pada segelintir yang dianggap telah menembus batas manusia biasa.
Namun di balik itu, pengangkatan pahlawan adalah semacam ritus penyucian luka kolektif. Ia lahir dari rasa bersalah sebuah bangsa pada masa lalunya sendiri. Setiap patung yang ditegakkan sesungguhnya adalah bentuk penyesalan yang dibekukan dalam batu:
- penyesalan karena dulu mereka membiarkan seseorang berjuang sendirian.
Pahlawan adalah tubuh yang dikorbankan agar yang lain bisa merasa suci tanpa benar-benar berubah.
II. Pahlawan dan Ilusi Keabadian
Kita tidak benar-benar memuja pahlawan; kita memuja bayangan keabadian yang menempel padanya.
Setiap bangsa, negara, hingga komunitas terkecil, mendirikan mitologi agar tidak terasa rapuh. Dan di puncak mitologi itu selalu ada sosok pahlawan — bukan manusia, melainkan penyangga identitas.
Pahlawan dijadikan jembatan antara yang fana dan yang abadi.
- Di satu sisi, ia manusia: berdarah, berdosa, bisa gagal.
- Di sisi lain, ia disucikan menjadi lambang yang tak boleh disentuh kesalahannya.
Inilah ironi paling kelam:
- Kita mencintai pahlawan justru setelah ia tidak lagi bisa membantah tafsir kita.
Yang mati dijadikan simbol, yang hidup dijadikan ancaman.
III. Di Era Digital: Pahlawan Tanpa Daging
Kini, di dunia yang setiap hari menulis sejarahnya sendiri dalam arus data, pahlawan berubah bentuk.
- Ia bukan lagi prajurit di medan perang, melainkan figur viral di linimasa.
- Ia bukan lagi pembela kemerdekaan, melainkan pembela algoritma.
Pahlawan hari ini hidup dari like, share, dan trending topic, bukan dari darah dan prinsip.
- Ia tak perlu mati untuk dikenang, cukup lenyap dari timeline agar digantikan oleh yang baru.
Era digital melahirkan banjir kepahlawanan instan — di mana setiap orang merasa berhak menjadi pahlawan karena pernah marah di kolom komentar.
Ironinya, makin banyak yang disebut pahlawan, makin sedikit keberanian yang benar-benar nyata.
Kita menyebut “pahlawan digital” pada mereka yang bersuara lantang, tetapi lupa bahwa keberanian tanpa tanggung jawab hanyalah keinginan untuk dilihat, bukan untuk berjuang.
IV. Negara dan Pahlawan: Ritus Kekuasaan
Negara mengangkat pahlawan bukan karena cinta, melainkan karena kebutuhan.
- Ia butuh wajah untuk menutupi retak di fondasinya. Ia butuh simbol yang bisa mengikat rakyat pada satu emosi bersama: kebanggaan yang aman.
Setiap gelar kehormatan adalah transaksi simbolik — antara kekuasaan yang ingin terlihat bermoral dan rakyat yang ingin percaya bahwa pengorbanan masih punya makna.
Namun di situ pula kepalsuan paling tua bersembunyi:
- Negara selalu membutuhkan pahlawan, tetapi jarang mencintai mereka yang hidup.
Sebab pahlawan yang masih bernapas bisa mengkritik, sedangkan pahlawan yang sudah mati bisa dikutip sesuka hati.
V. Pahlawan dan HAM: Antara Keberanian dan Ketidakadilan
Dalam bingkai hak asasi manusia, setiap orang seharusnya punya nilai yang sama.
Namun ironinya, konsep pahlawan justru menegaskan ketidaksetaraan itu.
Ketika seseorang diangkat sebagai pahlawan, tanpa disadari yang lain ditetapkan sebagai “biasa-biasa saja.”
Pahlawan menjadi puncak piramida eksistensi, yang membuat mayoritas manusia hanya menjadi latar bagi kisah kepahlawanan orang lain.
Padahal sejarah tak pernah dibangun oleh satu nama; ia dibangun oleh ribuan tangan yang tak pernah disebut.
Keberanian yang disorot membuat keberanian yang sunyi lenyap dalam kabut.
Maka, penghargaan pada pahlawan bisa menjadi pengkhianatan terhadap manusia biasa — terhadap mereka yang tak sempat difoto, tak sempat diwawancara, tapi memikul nasib bersama dengan diam.
VI. Antropologi Pahlawan: Topeng dan Totem
Dalam pandangan antropologis, pahlawan adalah totem modern.
Sama seperti leluhur dalam suku-suku kuno, ia menjadi pusat pengikat identitas kolektif.
Kita tidak menyembah dirinya, tetapi makna yang kita tanamkan padanya.
Totem memberi rasa kebersamaan, sekaligus membatasi perbedaan.
Ketika bangsa, agama, atau komunitas mengangkat sosok pahlawan, ia menciptakan garis: “kita” dan “mereka.”
Mereka yang serupa dengan pahlawan dianggap bagian dari kita;
- yang lain dianggap ancaman.
Dengan demikian, pahlawan adalah alat identitas sekaligus alat pemisah.
Ia menyatukan sambil mengasingkan.
VII. Sosiologi Pahlawan: Hasrat untuk Diselamatkan
Manusia ingin percaya bahwa dunia bisa diperbaiki oleh satu orang.
Itu sebabnya, meski ribuan tahun berlalu, kita tetap menunggu penyelamat, mesias, atau reformator.
Dalam setiap zaman, manusia memproyeksikan hasrat untuk diselamatkan pada figur pahlawan.
Namun yang paling menyedihkan:
- Ketika pahlawan datang, manusia justru berhenti berjuang.
Ia menyerahkan tanggung jawabnya pada sosok yang dianggap lebih kuat, lebih suci, lebih tahu.
Pahlawan menjadi dalih untuk tidak ikut bertanggung jawab.
Maka, lahirlah paradoks:
- Kita membutuhkan pahlawan karena kita tidak ingin menjadi manusia yang utuh.
Kita ingin diselamatkan, bukan bertumbuh.
VIII. Sastra Kepahlawanan: Mitos tentang Ketidaksempurnaan
Sastra telah lama menulis pahlawan sebagai kisah tentang manusia yang gagal tetapi terus berjalan.
- Odysseus, Gilgamesh, Don Quixote, hingga pahlawan-pahlawan masa kini — semua hanyalah wajah-wajah dari kegigihan dalam absurditas.
Kisah pahlawan adalah dongeng agar manusia tidak gila oleh kesia-siaan.
Tanpanya, mungkin dunia terlalu sunyi untuk ditanggung sendirian.
Namun justru di sanalah kegelapannya:
- Pahlawan diciptakan agar kita bisa terus bermimpi, meski mimpi itu tidak pernah menyelamatkan siapa pun.
IX. Menuju Masa Depan Tanpa Pahlawan
Barangkali masa depan yang matang adalah masa depan tanpa pahlawan.
Bukan karena kita kehilangan keberanian, melainkan karena keberanian telah menjadi kualitas bersama, bukan milik satu nama.
Bayangkan dunia di mana setiap orang bertanggung jawab tanpa menunggu tokoh besar untuk memimpin.
- Dunia di mana patung-patung runtuh, tetapi solidaritas tetap berdiri.
- Dunia di mana pahlawan tak perlu diangkat, karena semua manusia telah menjadi saksi bagi kebaikan yang mereka jalani sendiri.
Namun itu hanyalah utopia yang pahit — sebab manusia mungkin tak sanggup hidup tanpa mitos.
Kita butuh bayangan untuk berdamai dengan gelap.
X. Bayangan Kita Sendiri
Pahlawan, pada akhirnya, bukan tentang mereka yang kita muliakan, melainkan tentang kekosongan yang ingin kita isi.
Selama manusia takut akan ketidakbermaknaan, pahlawan akan selalu ada — di patung, di layar, di algoritma, di hati yang ingin percaya bahwa pengorbanan masih mungkin berarti.
- Mungkin kelak, satu-satunya pahlawan yang tersisa hanyalah kejujuran untuk menatap kegelapan tanpa lari darinya.
Karena keberanian terbesar bukanlah berperang, bukan berkorban, tetapi berdiri di depan cermin dan mengakui bahwa kita semua adalah bagian dari sejarah yang tidak pernah benar-benar suci.


Posting Komentar untuk "“Tentang Pahlawan: Bayang-bayang yang Kita Ciptakan Agar Tidak Terlalu Sendirian dalam Kekalahan”"