Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Evokatif Vs Kebutuhan Nalar: Dua Wajah Keseharian yang Tak Pernah Sepi

 

Evokatif Vs Kebutuhan Nalar : Dua Wajah Keseharian yang Tak Pernah Sepi Gambar : gorbysaputra.com
Evokatif Vs Kebutuhan Nalar : Dua Wajah Keseharian yang Tak Pernah Sepi
Gambar : gorbysaputra.com

Evokatif dan Nalar: Dua Wajah Keseharian yang Tak Pernah Sepi

Pagi hari dimulai dengan secangkir kopi. Di meja sebelah, seorang ibu mengaduk rempah-rempah warisan neneknya sambil berbisik doa—ritual yang diyakini menyembuhkan demam anaknya. 

Di sudut lain, seorang suami membuka aplikasi kesehatan di ponsel, menganalisis grafik tidur dan detak jantung, lalu memutuskan untuk konsultasi ke dokter. Keduanya sedang mencari solusi, tetapi dengan "bahasa" yang berbeda: satu digerakkan oleh apa yang diyakini turun-temurun, satu lagi oleh apa yang terukur. Ini bukan pertarungan ideologi, tapi potret keseharian yang sering kita alami tanpa sadar.

Pagi Hari: Ritual vs Rasionalitas

Dapur dan Keyakinan yang Diwariskan

Seorang nenek menuangkan air panas ke dalam cangkir berisi jahe, kunyit, dan madu. "Ini resep keluarga kita sejak dulu," katanya. 

Ia tak pernah bertanya mengapa ramuan ini bekerja; yang penting, setiap generasi sembuh setelah meminumnya. 

Anak cucunya mungkin mengernyit, tapi tetap menyeruput—rasa hangat yang masuk ke tubuh terasa seperti pelukan dari masa lalu.

Meja Kerja dan Angka-Angka yang Bicara

Di ruang kerja, seorang ayah membuka laptopnya. Ia mengecek laporan polusi udara, membandingkan data kualitas udara pagi ini dengan rekomendasi WHO.

Masker N95 dipilihnya setelah membaca riset tentang partikel PM2.5. Keputusannya tak berbasis cerita, tapi grafik dan persentase.

Apa yang Terjadi?

Kedua adegan ini sama-sama tentang "menjaga kesehatan", tetapi jalan yang ditempuh berbeda: satu dibangun dari kepercayaan akan tradisi, satu lagi dari kepercayaan akan metode. Keduanya valid, tapi sering kali saling memandang dengan curiga.

Siang Hari: Konflik di Sekolah dan Kantor

Di Kelas Matematika

Seorang guru menulis rumus Pythagoras di papan tulis. "Ini cara cepat menghitung segitiga," katanya. Seorang siswa bertanya, "Tapi kenapa rumusnya seperti ini?" Guru itu terdiam. 

Ia diajari untuk menghafal, bukan memahami asal-usul angka. Di kelas sebelah, guru lain menggunakan eksperimen sederhana dengan kertas dan gunting untuk menjelaskan konsep yang sama. 

Murid-muridnya tertawa saat melihat teori "hidup" dalam bentuk praktek.

Di Rapat Kantor

Manajer A mengusulkan kampanye iklan berbasis data tren konsumen: "Target usia 25-30 tahun lebih responsif di platform Instagram.

" Manajer B menyela: "Tapi intuisi saya mengatakan kita harus fokus ke cerita nostalgia—seperti iklan-iklan tahun 90an." 

Rapat pun macet. Tim terbelah: sebagian ingin mengandalkan algoritma, sebagian lagi ingin "merasakan" pasar.

Sore Hari: Teknologi dan Cara Kita Merawat Bumi

Di Sebuah Desa

Seorang pemuda memasang panel surya di atap rumahnya. Tetangga-tetangga mengolok: "Ngapain pakai listrik matahari? 

Selama ini kita pakai genset saja aman!" Tapi pemuda itu menunjukkan tagihan listrik yang turun 70%—angka yang tak terbantahkan. 

Beberapa bulan kemudian, tetangga yang dulu menertawakan mulai antri meminta bantuannya.

Di Kota Besar

Sebuah komunitas lingkungan menggalang dana dengan mengadakan konser musik. Mereka tak hanya memaparkan data kerusakan hutan, tapi juga menyisipkan puisi tentang sungai yang mati. 

Donasi mengalir deras—bukan hanya dari aktivis, tapi juga dari orang-orang yang tersentuh oleh lagu-lagu tentang bumi.

Malam Hari: Percakapan di Meja Makan

Pasangan Muda Berdebat

"Aku ingin pindah ke kampung, jauh dari keramaian. Di sana hidup lebih tenang," kata istri. 

Suaminya menghela napas: "Tapi bagaimana dengan pekerjaanku? 

Di sini jaringan internet cepat, akses transportasi mudah." Percakapan ini bukan sekadar tentang tempat tinggal, tapi tentang prioritas: ketenangan jiwa vs kemudahan logistik.

Keluarga yang Merencanakan Liburan

Anak sulung ingin ke planetarium: "Aku penjelajah luar angkasa! Aku mau lihat bagaimana bintang terbentuk." Anak bungsu merajuk: "Aku mau ke gunung kata teman, di puncak ada energi positif yang menyembuhkan." 

Orang tua mereka tersenyum kecut, mencoba memenuhi keinginan yang sama-sama kuat, tapi berasal dari sumber berbeda.

Tengah Malam: Refleksi yang Tak Pernah Selesai

Seorang wanita duduk di balkon, memandang langit berbintang. Ia teringat pesan almarhum ayahnya: "Hidup itu seperti sungai—mengalirlah, jangan melawan arus." 

Tapi di sisi lain, karirnya di bidang teknik mengharuskannya selalu menghitung, merencanakan, dan memprediksi. "Apa aku terlalu kaku?" gumamnya.

Di rumah seberang, seorang kakek menulis di jurnalnya: "Dulu aku percaya pertanda alam—gempa adalah amarah dewa. Sekarang, cucuku bilang itu pergeseran lempeng bumi. Mana yang benar?" Ia menutup buku, memilih untuk tidur. 

Besok, ia akan mengajak sang cucu memancing sambil mendiskusikan kedua jawaban itu.

Pertanyaan yang Muncul dari Keseharian

Kenapa sulit menerima cara orang lain yang berbeda?

  • Karena kita sering menganggap "kebenaran" hanya ada dalam bentuk yang kita pahami. Padahal, hidup punya banyak bahasa.

Bagaimana cara mengambil keputusan jika hati dan pikiran bertentangan?

  • Coba tulis di kertas: Apa risikonya jika ikut perasaan? Apa yang hilang jika hanya ikut logika? Pilihan terbaik sering ada di antara keduanya.

Apakah tradisi pasti ketinggalan zaman?

  • Tidak. Tradisi adalah akar yang memberi identitas, tapi akar harus tetap disiram agar tak membusuk. Artinya, tradisi bisa diadaptasi tanpa kehilangan esensinya.

Menari di Atas Kabel Tipis

Hidup bukanlah pertandingan antara "yang merasa" dan "yang berpikir". Ia lebih seperti tarian di atas kabel tipis—kadang kita condong ke kiri (mengikuti gejolak hati), kadang ke kanan (berpegangan pada data). Yang penting adalah tetap bergerak, tidak terjatuh ke dalam fanatisme buta atau kedinginan rasionalitas.

Seperti petani yang menanam padi: ia tahu musim hujan bisa diprediksi oleh ilmu cuaca, tapi juga percaya pada ritual sedekah bumi agar panen berlimpah. Hasilnya? Sawah yang subur, dan keluarga yang tetap bersyukur. 

Di situlah kita belajar: evokatif dan nalar bukan lawan, tapi partner yang saling mengisi celah-celah kehidupan yang tak pernah hitam putih.

Posting Komentar untuk "Evokatif Vs Kebutuhan Nalar: Dua Wajah Keseharian yang Tak Pernah Sepi"