Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Menulis Itu Penting dan Harus Di Sertakan dengan Membaca?

 

Mengapa Menulis itu Penting dan Harus Disertakan Dengan Membaca? Gambar : gorbysaputra.com
Mengapa Menulis itu Penting dan Harus Disertakan Dengan Membaca?
Gambar : gorbysaputra.com

“Pentingnya menulis dipadu membaca untuk perkembangan kreatif.”

Menulis dan Membaca: Dua Sisi Mata Uang Kreativitas

Pernahkah Anda merasa ide menulis begitu deras, namun sulit menemukan kata-kata yang pas? 

Atau sebaliknya, bingung memulai paragraf karena kosakata terasa terbatas? 

Di sinilah kekuatan membaca menjadi batu pijakan bagi para penulis.

Menulis tanpa membaca ibarat berlayar tanpa peta: bisa saja bergerak, tapi tak menentu arahnya. Sebaliknya, membaca tanpa menulis ibarat makan tanpa mencerna: informasi didapat, tapi tak pernah menjadi milik kita secara utuh.

Menciptakan Landasan Pengetahuan: Mengapa Membaca Adalah Investasi Terbaik bagi Penulis

Mari kita mulai dari hal paling mendasar: tak ada tulisan yang kuat tanpa fondasi pengetahuan yang kokoh. 

Dan dari mana datangnya pengetahuan itu? Betul sekali—dari membaca. 

Membaca bukan hanya soal menyelesaikan halaman demi halaman, tapi soal menyerap, memproses, dan pada akhirnya, menggunakan kembali apa yang telah kita cerna dalam bentuk tulisan. 

Di sinilah membaca berubah fungsi: dari aktivitas pasif menjadi senjata aktif bagi penulis.

Memperkaya Kosakata: Menyusun Senjata Kata-Kata Anda

  • Pernahkah Anda ingin menulis sesuatu tapi merasa kehabisan kata? 
  • Atau tahu persis apa yang ingin disampaikan, tapi bingung bagaimana mengungkapkannya? 

Itulah tanda bahwa Anda butuh memperkaya perbendaharaan kata. 

Setiap buku, artikel, atau bahkan caption Instagram berkualitas tinggi menyimpan potensi untuk memperluas kosakata Anda. 

Semakin banyak Anda membaca, semakin tajam pula “alat” yang Anda miliki untuk menyusun kalimat yang hidup dan menyentuh. Bukan sekadar indah, tapi juga tepat sasaran.

Memahami Gaya dan Suara: Menemukan Jati Diri dalam Tulisan

Tidak semua orang langsung tahu gaya menulis seperti apa yang cocok untuk dirinya. Bahkan banyak penulis hebat pun awalnya "meniru" penulis favorit mereka—bukan untuk menjiplak, tapi untuk belajar. 

Membaca berbagai jenis tulisan, mulai dari cerpen sastra hingga opini kritis di media digital, membuat Anda memahami perbedaan ritme, nada, dan struktur. 

Dari sanalah Anda bisa mencoba, bereksperimen, hingga akhirnya menemukan suara asli Anda. Ibarat musik: Anda harus mendengar banyak lagu sebelum tahu genre apa yang benar-benar "Anda banget".

Membangun Referensi: Menulis dengan Kredibilitas, Bukan Sekadar Karangan

Di era informasi yang membanjir, pembaca bukan hanya mencari tulisan yang enak dibaca, tapi juga bisa dipercaya. 

Nah, inilah pentingnya memiliki bank referensi yang kaya. Saat Anda membaca banyak sumber yang kredibel, Anda secara otomatis menabung informasi dan ilustrasi yang suatu hari bisa digunakan untuk memperkuat argumen Anda. 

Tak perlu lagi "ngarang-ngarang halus" demi membuat tulisan tampak pintar. Dengan referensi yang kuat, Anda menulis dengan percaya diri—dan pembaca akan merasakannya.

Singkatnya, membaca adalah proses membangun fondasi sebelum membangun rumah. Dan sebagai penulis, rumah Anda adalah tulisan Anda. 

Mau rumah itu kokoh dan tahan lama? Mulailah dengan membekali diri lewat membaca. 

Bukan sekadar hobi, tapi bagian dari perjalanan menjadi penulis yang tidak hanya lancar merangkai kata, tapi juga paham apa yang ia tulis.

Proses Sinergi antara Membaca dan Menulis: Dua Aktivitas yang Saling Menghidupkan

Pernah merasa tulisan Anda "kering", mentok di tengah jalan, atau terasa datar tanpa arah? 

Itu bisa jadi karena proses menulis Anda belum disinergikan dengan kebiasaan membaca. 

Menulis bukan sekadar memindahkan ide ke dalam kata-kata—itu adalah proses membangun makna, dan untuk membangun makna, kita butuh bahan baku. Nah, bahan baku terbaik datang dari apa yang kita baca.

Sinergi antara membaca dan menulis tidak terjadi secara kebetulan. Ia adalah proses aktif yang berlangsung dalam tiga tahap utama:

sebelum menulis, saat menulis, dan setelah menulis. Mari kita bedah satu per satu secara lebih rinci.

Pra-Menulis (Reading as Research): Membaca Bukan untuk Meniru, tapi Memahami

Sebelum jari-jari Anda mulai mengetik, luangkan waktu untuk membaca. Bukan membaca sembarangan, tapi membaca dengan tujuan. 

Cari bahan primer—artikel ilmiah, jurnal, laporan data, bahkan opini dari blog yang terpercaya. Fokuskan bacaan Anda pada topik yang akan ditulis.

Banyak penulis melewatkan tahap ini karena merasa sudah “tahu” apa yang akan ditulis. Akibatnya? Tulisan jadi dangkal, repetitif, atau lebih buruk—tidak akurat. 

Membaca di tahap ini memberi Anda pijakan: Anda tahu apa yang sudah pernah dibahas orang lain, Anda tahu celah mana yang belum tersentuh, dan dari sana Anda bisa menemukan sudut pandang unik.

Dan satu hal penting: buat catatan. Jangan hanya baca lalu tutup halaman. Tuliskan kutipan penting, data menarik, bahkan pertanyaan yang muncul dari bacaan. Catatan ini akan jadi bekal emas saat Anda mulai menulis.

Penulisan Draf (Drafting): Bacaan Menjadi Kompas, Bukan Borgol

Ketika mulai menulis, banyak penulis merasa kehilangan arah di tengah jalan. Padahal sebelumnya sudah semangat. 

Ini sering terjadi karena kehilangan fokus atau kehabisan bahan pendukung. 

Di sinilah catatan dari proses membaca tadi berperan. Bukan untuk dijiplak, tapi untuk dijadikan rujukan—sebagai penguat, pembanding, atau bahkan pemantik ide baru.

Misalnya, saat Anda menulis esai tentang perubahan iklim, Anda bisa menyisipkan data yang pernah Anda baca sebelumnya. 

Atau ketika menulis cerpen, mungkin Anda pernah membaca kisah serupa dan bisa membangun konflik yang lebih realistis berdasarkan narasi tersebut. 

Di tahap ini, membaca dan menulis seperti berdialog—tulisan Anda menjadi respons dari apa yang Anda baca, bukan sekadar monolog pribadi.

Yang penting: jangan sampai bacaan membatasi kreativitas. Anda tetap penulisnya, Anda yang menentukan arah. Bacaan hanyalah kompas, bukan borgol yang membelenggu gaya dan isi tulisan Anda.

Pasca-Menulis (Re-Reading & Editing): Menilai Tulisan dengan Mata yang Pernah Melihat Lebih Banyak

Menulis draf itu baru setengah perjalanan. Setelah selesai, jangan langsung puas. Lakukan re-reading alias membaca ulang—bukan hanya untuk mengecek typo, tapi untuk menilai: 

  • Apakah alur logis? 
  • Apakah gaya bahasanya konsisten? 
  • Apakah nada tulisannya terlalu datar, atau justru terlalu meledak-ledak?

Nah, inilah saat di mana pengalaman membaca Anda sebelumnya menjadi standar pembanding. 

Saat Anda pernah membaca artikel yang bagus, Anda tahu rasanya menikmati tulisan yang mengalir dan argumentatif. Anda pun jadi bisa menilai tulisan Anda sendiri lebih objektif: 

apakah sudah “seenak” itu dibaca?

Bahkan, beberapa penulis profesional sengaja membaca ulang tulisan mereka sambil membandingkannya dengan referensi yang digunakan. Bukan untuk meniru, tapi untuk menjaga konsistensi, akurasi, dan irama.

Membaca dan Menulis Itu Satu Napas

Jangan anggap membaca dan menulis sebagai dua hal terpisah. Mereka ibarat tarik dan hembus napas. Anda tidak bisa menulis dengan baik tanpa menyerap bacaan yang bermakna. 

Dan Anda tidak akan benar-benar memahami bacaan tanpa mencoba menuliskannya kembali dalam bentuk pemikiran Anda sendiri.

Jadi, mulai sekarang, kalau Anda mentok menulis, jangan buru-buru menyalahkan mood. Mungkin Anda hanya perlu membaca lebih dulu.

Berpikir Kritis: Dari “Wah, Keren” Menjadi “Kenapa Begitu?”

Pernahkah Anda membaca sebuah artikel atau opini yang terasa meyakinkan, lalu tiba-tiba muncul pertanyaan di kepala: “Memang ini data valid? Apa dasar klaimnya?” 

Itulah tanda berpikir kritis sedang bekerja. Membaca secara aktif—bukan sekadar menyantap kata demi kata—mendorong kita untuk:

Menganalisis Struktur Argumen: Misalnya, sebuah opini menegaskan “gadget membuat anak malas membaca.” Anda mulai meneliti: Siapa responden survei? Berapa banyak? 

Dalam konteks apa survei dilakukan? Dengan pertanyaan-pertanyaan ini, Anda melatih diri memeriksa kelemahan dan kekuatan tiap klaim.

  • Menimbang Bukti vs. Opini: Ketika membaca, Anda akan sering menemukan kombinasi data, kutipan pakar, dan pernyataan subjektif. 

Tantanglah diri Anda membedakan mana fakta (angka statistik, hasil penelitian) dan mana opini (kata “pasti,” “paling” tanpa bukti kuat).

  • Membangun Argumentasi Sendiri: Dengan kebiasaan ini, saat menulis, Anda tak lagi asal menorehkan pendapat. 

Tulisan Anda akan berdiri di atas landasan logis: “Menurut survei X (fakta), isu Y terjadi karena Z—sehingga bisa disimpulkan….” Pembaca pun merasakan kekokohan argumen Anda.

Kreativitas: Menyulap Jejak Bacaan Jadi Ide Orisinal

Banyak penulis mengeluh, “Ideku itu-itu saja,” atau “Tulisanku terasa klise.” Padahal, di luar sana jutaan pikiran bertabrakan dalam buku, blog, dan artikel—layaknya pameran seni ide. Membaca secara luas akan:

  • Menghubungkan Titik-titik Ide: Bayangkan Anda membaca esai tentang filosofi kopi di Perancis, lalu artikel tentang tren startup di Jakarta. 

Dua hal yang tampaknya jauh ini bisa menyatu menjadi tulisan unik: “Apa Pelajaran Manajemen Startup dari Ritual Minum Kopi Paris?”

  • Memancing Asosiasi Tak Terduga: Pernah lihat kata “awan” di puisi, lalu terbayang efek perubahan iklim? 
  • Tulislah esai metaforis: “Hujan Awan di Balik Layar Komputer.” Itulah kreativitas: meramu fragmen bacaan menjadi resep baru.
  • Memberi Ruang Eksperimen: Dengan bahan bakar bacaan, Anda berani mencoba format berbeda—puisi miniatur, dialog imajiner antar tokoh sejarah, atau liputan multimedia. Setiap bacaan menambah “tabungan percobaan” yang kelak Anda gunakan.

Empati dan Perspektif: Menjadi “YouTuber Bisu” dalam Paragraf Anda

Tahukah Anda, mengembangkan empati lewat membaca sama pentingnya bagi penulis fiksi maupun non-fiksi? 

Cara kerjanya:

  • Masuk ke Sepatu Orang Lain: Bacalah autobiografi, artikel opini, atau cerita nyata tentang pengalaman berbeda—misalnya hidup di pelosok desa, menjadi disabilitas, atau merantau sendirian. 
  • Otomatis, Anda paham detail kecil: bahasa tubuh, ungkapan perasaan, hingga konflik batin mereka.
  • Memperkaya Karakter dan Narasi: Saat menulis tokoh fiksi atau menggambarkan kasus nyata, Anda tak asal “klise pedih” tapi bisa menyajikan sudut pandang autentik: bagaimana rasa takut itu berdenyut, bagaimana harap terselip di balik canda.
  • Menjembatani Pembaca Beragam Latar: Dengan empati, tulisan Anda mampu berbicara pada banyak kalangan—tak sekadar mereka yang “sehaluan,” tapi juga pembaca dari latar budaya, usia, atau profesi berbeda. Sehingga tulisan Anda jadi panggung diskusi, bukan hanya monolog.

Ringkasnya, membaca bukan sekadar hobi di waktu senggang. Ia adalah gym bagi otak: menguatkan otot logika (berpikir kritis), melenturkan sendi imajinasi (kreativitas), dan meregangkan batasan ego (empati). Tanpa latihan ini, menulis bisa terasa berat, kaku, atau bahkan kehilangan nyawanya. Jadi, kapan terakhir kali Anda membaca sesuatu yang membuat otak Anda “terguncang”? Cobalah lagi—dan rasakan sendiri dampaknya pada tulisan Anda!

Jadwalkan “30 Menit Bacaan” Setiap Hari Sebelum Menulis

Bayangkan Anda duduk di depan laptop, jari sudah di atas keyboard, tapi kepala masih kosong. Pernah? 

  • Untuk menghindari momen “staring at the cursor” itu, cobalah memulai dengan blok waktu khusus membaca—cukup 30 menit:

Pilih Waktu yang Konsisten

  • Misalnya, setiap jam 7 pagi sebelum memeriksa email atau sebelum kopi sore Anda. Dengan konsistensi, otak akan terlatih bahwa “jam ini adalah waktu menyerap ide.”

Siapkan Bahan Bacaan yang Sesuai Tujuan

  • Jika hari ini Anda hendak menulis review film, siapkan artikel kritikus atau wawancara sutradara. Kalau menulis esai opini, kumpulkan opini-opini segar di media online.

Atur Suasana

  • Matikan notifikasi ponsel, alirkan musik instrumental ringan, atau cari sudut rumah/kafe yang tenang. Fokus membaca selama 30 menit membuat Anda “memanaskan mesin” kreativitas—sehingga saat menulis, ide sudah mengalir bak air mengalir.

Gunakan Aplikasi “Read Later” untuk Menyimpan Artikel Inspiratif

  • Sering nemu artikel bagus saat scroll media sosial, tapi terlupakan keesokan harinya? Solusinya: simpan ke aplikasi Read Later. Berikut cara agar fitur ini benar-benar membantu:

Pilih Satu Aplikasi & Pelajari Fitur Dasarnya

  • Misalnya Pocket atau Instapaper. Pelajari cara menandai (tag), arsip, dan memberi tanda “favorit.” Semakin cepat Anda familiar, semakin jarang artikel terlewat.

Triage Artikel Setiap Minggu

  • Sisihkan 15–20 menit pada akhir pekan untuk memilah: mana yang langsung layak dibaca minggu ini, mana yang bisa dihapus. Ini mencegah penumpukan bacaan menumpuk hingga ratusan tanpa pernah Anda sentuh.

Integrasikan dengan Draft Anda

  • Ketika suatu artikel masuk dalam folder “Untuk Draft,” beri tag spesifik, misalnya “latih-deskripsi” atau “referensi-data.” Saat menulis, tinggal buka folder itu—tak perlu lagi cari-cari di lautan bookmark.

Buat Catatan Ringkas: Highlight Kutipan Kunci dan Ide-Ide yang Menonjol

Membaca tanpa mencatat sama saja seperti menonton film tanpa subtitle—banyak yang terlewat. Berikut langkah mencatat yang efisien:

Gunakan Metode Cornell Ringkas

  • Bagi halaman catatan jadi dua kolom: kiri untuk kutipan/kata kunci, kanan untuk refleksi singkat (“mengapa penting?” atau “bisa dipakai kemana?”). Saat menulis, Anda tinggal meninjau kolom kanan untuk memicu ide.

Manfaatkan Highlighter Digital

  • Jika membaca di tablet atau komputer, gunakan highlight bawaan (di PDF reader atau e-reader) lalu ekspor sekilas kutipan ke dokumen teks. Simpan dalam satu file “Kutipan dan Ide”—mudah di-search.

Konversi Kutipan ke Pertanyaan

  • Setelah highlight, tulis satu kalimat pertanyaan: “Bagaimana data ini mendukung gagasan saya?” atau “Sudut pandang apa yang belum disentuh penulis asli?” Pertanyaan ini akan memandu Anda saat memasukkan kutipan ke dalam tulisan, sehingga tak sekadar menempel fakta.

Inti dari semua ini: menggabungkan membaca dan menulis bukan soal menambah beban, tapi menciptakan ekosistem kerja yang saling menguatkan. Dengan jadwal baca rutin, koleksi artikel terkelola, dan catatan ringkas yang siap pakai, Anda tak hanya menghemat waktu, tapi juga meningkatkan kualitas tulisan—karena setiap kata yang Anda ketik punya “jejak bacaan” yang matang.

Selamat mencoba—semoga rutinitas baru ini membuat sesi menulis Anda jadi lebih lancar dan penuh inspirasi!


FAQ tentang menulis dan membaca Data : gorbysaputra.com
FAQ tentang menulis dan membaca
Data : gorbysaputra.com

FAQ yang sering di tanyakan

“Kok saya susah banget cari waktu baca sebelum menulis, padahal niatnya mau atur ‘30 menit bacaan’ tiap hari?”

  • Tenang, ini jam terbang semuanya. Coba identifikasi “jendela waktu” kecil—misalnya sambil nunggu kopi matang, istirahat siang kantor, atau 10 menit sebelum tidur. Kalau benar-benar padat, gabungkan: sambil antre air panas, buka artikel di ponsel. Intinya, ubah kebiasaan “scroll tanpa tujuan” jadi “scroll sambil menyimpan bacaan bernas.”

“Saya simpan ratusan artikel di Pocket, tapi lupa bacanya—bagaimana mencegah penumpukan?”

  • Lakukan triase rutin: seminggu sekali, cukup 10–15 menit. Buat tiga folder sederhana—“Baca Minggu Ini,” “Bisa Dihapus,” “Referensi Tulisan.” Fokuslah pada folder “Baca Minggu Ini.” Yang tidak sempat, berpindah ke “Bisa Dihapus” atau “Referensi Tulisan” kalau suatu saat akan digunakan.

“Kalau catatan saya numpuk di mana-mana—kertas, dokumen, highlight e-reader—gimana cara menatanya biar praktis?”

  • Konsolidasi menjadi satu “Master Notes” digital. Misalnya di Google Docs atau Notion, dengan tiga kolom: Kutipan, Refleksi Singkat, Tag (misal “data,” “ide kreatif,” “narasi”). Setiap kali baca selesai, segera masukkan highlight + satu kalimat refleksi ke situ. Nanti tinggal search tag.

“Saya sering merasa ‘terbelenggu’ kutipan saat menulis—nanti jadi terlalu banyak referensi, kehilangan suara sendiri?”

  • Ingat: kutipan itu bumbu, bukan menu utama. Pastikan setiap kutipan Anda ikuti dengan kalimat “saya berpendapat…” atau “kalau menurut saya….” Sehingga gaya Anda tetap dominan. Bila ragu, kurangi: cukup satu kutipan kuat per paragraf, lalu kembangkan analisis pribadi Anda.

“Kadang saya dilema: baca topik A atau topik B dulu sebelum menulis?”

  • Kembali ke tujuan tulisan. Buat outline kasar: subjudul, poin utama. Lihat bagian mana yang paling “kosong” pengetahuan Anda, itulah yang perlu bacaan prioritas. Misal, Anda yakin sudut pandang kreatif sudah solid, tapi butuh data, maka baca jurnal/data dulu. Begitu pun sebaliknya.

“Gimana caranya menilai apakah saya sudah cukup membaca sebelum mulai mengetik?”

  • Tanda sederhana: Anda merasa punya minimal 3–5 ide turunan untuk dikembangkan di tiap subjudul. Atau, Anda bisa menjawab pertanyaan “so what?” untuk setiap poin. Jika masih bingung “so what”-nya, berarti Anda butuh baca lagi untuk memperkaya argumen.

“Saya sering “stuck” di tengah draf, gimana solusinya?”

  • Cek catatan bacaan Anda: apakah ada kutipan atau data yang belum Anda sisipkan? Kadang menuliskan satu fakta baru memancing ide lanjutan. Alternatifnya, alihkan dulu: baca 10 menit artikel ringan seputar topik—mungkin muncul sudut pandang segar, lalu lanjutkan draf.

“Apakah saya harus banyak membaca genre yang sama dengan yang saya tulis?”

  • Boleh—tapi jangan terpaku. Membaca genre lain (misal fiksi saat Anda menulis non-fiksi) justru memberi sudut pandang unik: gaya narasi, dramatisasi, metafora. Ini bisa jadi “bumbu” yang membuat tulisan non-fiksi Anda lebih hidup, dan sebaliknya.

“Bagaimana agar empati yang saya peroleh dari membaca benar-benar terasa di tulisan?”

  • Praktikkan “writing prompt” berempati: pilih satu kutipan pengalaman orang lain, lalu tulis paragraf pendek seakan Anda mengalami sendiri. Lantas baca ulang—perhatikan nada, kata-kata yang membuat ‘pembaca’ merasakan emosi tersebut.

“Kalau mood menulis lagi jelek, apa hubungan membaca bisa membantu?”

  • Mood susah muncul biasanya karena otak “kering” bahan. Buka bacaan inspiratif: cerpen singkat, puisi, atau opini menggugah. Dalam 5–10 menit, mood mengetik seringkali ikut tergugah oleh kata-kata atau ide segar yang Anda temui.

Posting Komentar untuk "Mengapa Menulis Itu Penting dan Harus Di Sertakan dengan Membaca?"