Di Balik Amarah yang Suci: Mengapa Iman Tak Suka Dipertanyakan ?
![]() |
Di Balik Amarah Yang Suci : Mengapa Iman Tak Suka Dipertanyakan? Gambar : gorbysaputra.com |
Ketika keyakinan berubah menjadi benteng bagi rasa takut terdalam manusia.
Ada sesuatu yang halus, nyaris tak terucap, yang bergetar setiap kali agama disentuh oleh pertanyaan.
- Bukan karena agama itu rapuh — melainkan karena manusia yang memeluknya masih takut kehilangan maknanya.
- Setiap kritik, satire, atau logika yang menembus dogma, sering kali dianggap bukan sekadar gangguan intelektual,
- tetapi ancaman terhadap rumah batin yang selama ini melindungi jiwa dari kehampaan.
Agama bagi banyak orang bukan sekadar sistem kepercayaan — ia adalah ruang aman eksistensial. Tempat di mana pertanyaan hidup dan mati, nasib dan makna, bisa dijawab tanpa harus menatap jurang absurditas yang dalam.
![]() |
Di balik Amarah yang suci Gambar : gorbysaputra.com |
Jean-Paul Sartre pernah menulis bahwa manusia dikutuk untuk bebas.
- Namun kebebasan itu, bagi banyak jiwa, terlalu berat. Maka mereka memilih untuk tunduk — pada Tuhan, pada teks, pada tradisi — agar dunia tak lagi terasa kosong.
Di sanalah letak paradoksnya:
- yang dicintai karena memberi kedamaian, sering pula melahirkan ketakutan kehilangan damai itu.
- Ketika seseorang mempertanyakan keyakinan, ia seolah mengguncang fondasi psikologis tempat banyak orang berteduh dari badai keraguan.
Karenanya, reaksi keras itu bukan hanya ekspresi teologis, tetapi juga pertahanan diri yang sangat manusiawi.
Erich Fromm, dalam Escape from Freedom, menyebut bahwa manusia cenderung melarikan diri dari kebebasan karena takut pada ketidakpastian.
- Dalam konteks agama, kebebasan berpikir bisa terasa seperti kehilangan tanah pijakan.
Maka, mempertahankan keyakinan kadang menjadi bentuk lain dari mempertahankan identitas — karena di balik setiap “iman”, ada rasa takut yang ingin tetap diakui, tetap aman, tetap utuh.
Nietzsche menulis dalam Genealogi Moralitas, bahwa “manusia menciptakan Tuhan karena ia tak sanggup menatap kekosongan.”
- Pernyataan itu bukan penghinaan terhadap iman, tetapi sebuah cermin tajam yang memperlihatkan bahwa kepercayaan sering tumbuh dari luka eksistensial terdalam manusia.
Dan ketika luka itu disentuh oleh pertanyaan atau satire, rasa sakit yang muncul bukanlah tanda benci — melainkan ketakutan akan kehilangan sandaran yang memberi makna.
Dalam psikologi kolektif, agama juga berfungsi sebagai “cerita besar” yang mempersatukan identitas sosial.
- Ketika satu unsur cerita itu dikritik, masyarakat merasa dirinya ikut diserang.
Durkheim menyebut agama sebagai “cermin masyarakat” — maka menyerang agama sering kali dianggap menyerang diri bersama.
- Itulah mengapa kritik rasional terhadap agama kadang tidak dibalas dengan dialog, melainkan dengan kemarahan yang berakar pada rasa kehilangan makna kolektif.
Namun, yang paling menyedihkan bukanlah amarah itu sendiri —melainkan ketika amarah berubah menjadi keyakinan baru, sebuah keimanan terhadap kemarahan, yang menjadikan siapa pun yang bertanya sebagai musuh, bukan sesama pencari kebenaran.
![]() |
Dibalik Amarah Yang Suci Ketika Keyakinan.... Gambar : gorbysaputra.com |
Padahal, jika dipahami dengan lembut, pertanyaan bukanlah ancaman.
- Ia adalah cara langit berbicara melalui manusia — sebuah panggilan agar cahaya tidak hanya disembah, tetapi juga dipahami.
Kritik, satire, dan logika tidak membunuh iman;
- mereka mengujinya, membersihkannya dari kerak-kerak ketakutan, agar yang tersisa hanyalah keindahan paling murni dari keyakinan itu sendiri.
Mungkin, sebagaimana Jalaluddin Rumi pernah menulis:
- “Jangan takut pada keraguan, karena di sanalah imanmu bernafas.”
Dan di titik itu, kita menyadari — bahwa amarah para pengikut agama bukan sekadar tanda kebencian terhadap yang berbeda, tetapi juga ratapan halus dari jiwa yang takut kehilangan surga dalam dirinya sendiri.
Posting Komentar untuk "Di Balik Amarah yang Suci: Mengapa Iman Tak Suka Dipertanyakan ?"