⚖️ Retakan di Cermin Langit: Ketika Iman Beranak Menjadi Aliran
![]() |
| Retakan Di Cermin Langit : Ketika Iman Beranak Menjadi Aliran Gambar : gorbysaputra.com |
Dari kesatuan suci menuju ribuan tafsir yang saling memantulkan bayangan.
Segalanya bermula dari satu bisikan, satu cahaya, satu makna yang turun dalam keheningan.
Namun begitu menyentuh tanah, ia pecah menjadi serpihan-serpihan kata,
didekap oleh lidah yang berbeda, ditafsir oleh mata yang tak sama.
Dari satu api, lahirlah seribu nyala. Dan dari satu kebenaran, lahirlah banyak kebenaran kecil yang saling menatap dengan curiga.
Sejarah pun mencatat:
setiap ajaran yang lahir dari kesatuan, pasti suatu saat akan berhadapan dengan cermin dirinya sendiri.
- Cermin itu retak — bukan karena dosa, tetapi karena manusia tak sanggup menatap cahaya terlalu lama.
Albert Camus pernah menulis:
- “Manusia selalu ingin memilih antara cahaya dan bayangan, padahal kebenaran lahir di antara keduanya.”
Maka lahirlah aliran, mazhab, sekte, pembaruan, dan pembangkangan. Bukan semata karena ingin berbeda, tapi karena setiap manusia memandang langit dari sudut yang lain.
- Yang satu melihat kilatnya, yang lain hanya melihat cahaya yang tersisa di air.
Dan begitulah, sejarah agama tidak hanya ditulis oleh nabi dan orang suci, tetapi juga oleh mereka yang menafsir ulang — yang berani berkata, “Barangkali makna telah berubah arah.”
Michel Foucault menyebut pengetahuan sebagai bentuk kekuasaan yang tersembunyi.
- “Setiap sistem kebenaran,” katanya, “adalah struktur kekuasaan yang membentuk cara kita memandang dunia.”
Dan agama pun tidak luput dari hukum itu:
ia adalah bahasa yang hidup, dan setiap bahasa, cepat atau lambat, akan membentuk hierarki.
- Apa yang dulu menjadi ajaran, menjadi hukum.
- Apa yang dulu menjadi pemahaman, menjadi kebenaran tunggal.
Apa yang dulu terbuka untuk ditafsir, menjadi dinding dengan tulisan:
- “Jangan sentuh.”
Namun sejarah juga membuktikan bahwa setiap dinding selalu menunggu tangan yang berani menulis ulang.
Martin Luther berdiri di depan pintu gereja dengan gulungan tesis, tidak untuk menolak iman, tetapi untuk mengingatkan bahwa iman pun harus bernafas.
- Begitu pula setiap pembaharu dalam sejarah — dari Timur hingga Barat, dari pujangga hingga ilmuwan — mereka bukan sedang menghancurkan agama, tetapi sedang mencoba membuka jendela agar cahaya bisa masuk lagi.
Carl Jung menulis,
- “Yang tidak berubah hanyalah keinginan manusia untuk memahami Tuhan dengan wajahnya sendiri.”
Dan mungkin di sanalah rahasia segala perpecahan:
bukan karena Tuhan berbeda, melainkan karena manusia menatap dengan mata yang tak sama.
![]() |
| Dari Kesatuan Suci Menuju Ribuan Tafsir yang saling memantulkan Bayangan Gambar : gorbysaputra.com |
Lalu waktu berjalan, dan apa yang dulu menjadi perdebatan spiritual, berubah menjadi institusi, politik, bahkan perang.
Namun di balik setiap benturan itu,
ada satu hal yang selalu sama:
- kerinduan untuk menemukan makna yang dulu hilang di awal.
Hannah Arendt pernah mengingatkan,
- “Setiap kali manusia berhenti berpikir, ia akan menggantinya dengan keyakinan yang kaku.”
Maka mungkin, yang retak bukan cermin langit, melainkan kemampuan manusia untuk melihat pantulannya dengan jernih.
- Kini, ribuan tahun setelah para pembawa risalah tiada, agama-agama berdiri seperti rimba — penuh suara, penuh bayangan, penuh arah.
Ada yang menuduh satu sama lain, ada yang mencoba menyatukan semuanya dalam satu titik cahaya.
- Namun siapa tahu, kebenaran tidak menunggu di tengah, melainkan justru di antara perbedaan itu sendiri.
Karena seperti kata Umberto Eco:
- “Setiap tafsir yang terlalu yakin pada dirinya, sedang kehilangan daya untuk mendengar yang lain.”
Dan mungkin, hanya mereka yang masih mau mendengar
yang masih bisa menemukan gema yang sama yang dulu turun dari langit pertama kali — bukan dalam bentuk kata, melainkan dalam bentuk diam yang mengandung segalanya.
📚 Sumber Kutipan
- Albert Camus – The Myth of Sisyphus
- Michel Foucault – Power/Knowledge
- Martin Luther – Ninety-Five Theses
- Carl Gustav Jung – Memories, Dreams, Reflections
- Hannah Arendt – The Life of the Mind
- Umberto Eco – The Name of the Rose



Posting Komentar untuk "⚖️ Retakan di Cermin Langit: Ketika Iman Beranak Menjadi Aliran"