Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Setelah Sang Cahaya Pergi: Mengapa Pengikutnya Hidup dengan Kemewahan

 

Setelah Sang Cahaya Pergi Gambar : gorbysaputra.com
Setelah Sang Cahaya Pergi
Gambar : gorbysaputra.com

Antara warisan spiritual dan dunia yang berubah.

  • Ketika sang cahaya telah pergi, yang tersisa bukanlah terang, melainkan bayangan dari terang itu sendiri.
  • Bayangan yang dipuja, dijaga, dan dikonstruksi kembali menjadi keabadian palsu— sebuah keabadian dari benda, bukan dari makna.

Di masa lalu, para pengikut berjalan tanpa alas kaki di jalan tanah;

kini langkah-langkah mereka bergema di marmer dan batu pualam. Yang dulu berbagi roti kini berbagi saham, dan yang dulu menunduk dalam doa kini menegakkan kepala di hadapan kamera.

Sejarah bukan lagi tentang kesaksian;

ia berubah menjadi pementasan.

  • Seperti dikatakan Walter Benjamin, “di zaman reproduksi mekanis, aura telah lenyap.”

Namun barangkali yang lebih getir adalah ini:

bahwa di zaman spiritualitas yang direproduksi, aura kesucian justru dijual kembali dalam kemasan baru.

I. Warisan yang Menjadi Hiasan

Santo-santo lama tak pernah memerlukan mahkota untuk dikenang.

Tapi kini, relik suci dipajang di museum—dengan tiket masuk dan pencahayaan yang sempurna.

  • Pierre Bourdieu pernah menulis bahwa “rasa hormat seringkali adalah bentuk terselubung dari kekuasaan simbolik.”

Maka barangkali kemewahan para pengikut bukanlah penyimpangan, melainkan bagian dari sistem sosial yang terus mencari legitimasi dari kesucian yang telah berlalu.

Mereka bukan sekadar memuja masa lalu, mereka mengelolanya. 
Dan pengelolaan kesucian itu menuntut citra: citra yang indah, citra yang suci, citra yang menjual.

Mengapa Pengikutnya Hidup dengan Kemawahan Gambar : gorbysaputra.com
Mengapa Pengikutnya Hidup dengan Kemawahan
Gambar : gorbysaputra.com

II. Antara Zikir dan Zirkuit

Rumi pernah menulis, “Jangan cari Tuhan di masjid atau gereja, carilah di hatimu yang terbakar.”

  • Namun hati kini sibuk menghitung pengikut dan penonton.
  • Sujud berganti menjadi “konten,” dan karisma berubah menjadi algoritma.
  • Kemewahan bukan lagi dosa—ia jadi strategi eksistensi.

Dalam dunia yang mengukur makna lewat tampilan, kain sutra bisa lebih meyakinkan daripada doa yang lirih.

Namun, seperti kata sosiolog Zygmunt Bauman,

  • “modernitas cair membuat segala hal tampak sementara, bahkan kebenaran.”

Maka, di hadapan gemerlap itu, kesucian pun cair, menyesuaikan wadahnya: layar, panggung, podium, atau logo lembaga.

III. Tubuh, Kuasa, dan Simbol

Michel Foucault pernah menulis bahwa kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi juga memproduksi ketaatan.

  • Ketika tubuh para pengikut diselimuti jubah kemewahan, itu bukan sekadar bentuk penghormatan, tetapi cara agar tubuh itu terus terlihat pantas untuk ditaati.

Antropolog Clifford Geertz melihat agama sebagai sistem simbol yang menyatukan makna dan tindakan dalam satu lanskap budaya.

Dan kini, simbol itu bukan hanya menuntun, tapi juga menuntut—dari yang miskin, dari yang haus makna, dari mereka yang percaya bahwa kemegahan adalah bukti kehadiran Tuhan.

IV. Mistisisme yang Dikelola

Sufi berkata:

  • "Jalan menuju Tuhan harus sunyi, karena di sana hanya ada engkau dan Dia."

Namun kini, jalan itu ramai oleh spanduk, kamera, dan sponsor.

Kesunyian berubah menjadi festival rohani.

Mistikus menjadi selebritas spiritual, dan keheningan diperdagangkan dalam paket meditasi premium.

Tapi mari jujur: 

  • mungkin bukan mereka yang berubah, melainkan dunia yang tak lagi tahu cara menghormati sesuatu tanpa menjadikannya tontonan.

Seperti Nietzsche menulis dalam Genealogy of Morals:

  • "Kita membangun monumen untuk menutupi makam ide yang telah mati."

Kemewahan hanyalah batu nisan yang indah dari iman yang dulu hidup dengan lapar dan cinta.

V. Estetika Kesucian

Dalam seni, kemewahan bisa menjadi bahasa;

  • dalam iman, ia bisa menjadi pelindung sekaligus penghalang.
  • Keindahan yang berlebihan seringkali menutupi kehampaan.

Namun manusia, seperti dikatakan Roland Barthes,

  • “terpesona pada makna yang dibuat-buat karena ia takut pada makna yang sunyi.”

Maka, kemegahan altar, gedung, jubah, dan prosesi, adalah semacam mantra modern agar dunia masih percaya bahwa suci itu ada.

Bukan karena ia hadir, tetapi karena ia dipertontonkan.

VI. Refleksi di Tengah Bayangan

  • Mungkin kemewahan itu bukan bentuk pengkhianatan, melainkan rasa takut kehilangan.
  • Ketika cahaya telah pergi, manusia membangun cermin-cermin agar pantulan terakhirnya tetap hidup.

Namun semakin banyak cermin dipasang, semakin sulit membedakan mana cahaya, mana pantulan.

Dan di situlah tragedi spiritual modern berlangsung:

kita sibuk menjaga kemegahan makam, sementara tubuh cahaya itu sendiri telah lama meninggalkan dunia.

VII. Penutup

Kemewahan para pengikut bukan hanya cerita tentang dunia yang berubah, tetapi juga tentang manusia yang takut kehilangan makna.

Sejarah spiritual selalu berulang:

ketika guru pergi, murid membangun institusi;

  • ketika cahaya redup, manusia menyalakan lampu-lampu buatan.

Namun, seperti kata Rabindranath Tagore:

  • "Cahaya yang terlalu terang bisa membuat kita lupa arah."

Dan barangkali, untuk menemukan kesucian kembali, manusia harus berani berjalan tanpa cahaya— menyusuri kegelapan yang jujur, di mana yang suci tidak lagi tampak mewah, tetapi terasa nyata.

Posting Komentar untuk "Setelah Sang Cahaya Pergi: Mengapa Pengikutnya Hidup dengan Kemewahan"