🌑 Suara yang Turun dari Sunyi: Tentang Para Pembawa Risalah dan Cara Mereka Menyampaikan “Yang dari Langit”
![]() |
Suara yang turun dari sunyi: ketika pesan langit mencari bahasa manusia Gambar : gorbysaputra.com |
Ketika pesan langit mencari bahasa manusia.
- Mereka datang bukan membawa mahkota, melainkan kegelisahan yang dalam.
- Mereka tidak berteriak dari atas menara, melainkan berjalan di antara manusia yang lupa arah.
Para pembawa risalah itu — entah dari langit, entah dari bumi sebenarnya tidak membawa kebenaran baru.
- Mereka hanya membuka kembali sesuatu yang pernah kita ketahui,sebelum dunia terlalu bising untuk diingat.
Rainer Maria Rilke menulis:
- “Mungkin semua naga dalam hidup kita hanyalah putri-putri yang menunggu kita bertindak dengan lembut.”
Dan mungkin, pesan dari langit itu datang seperti itu:
- tidak dengan gemuruh, tapi dengan kelembutan yang sulit diterjemahkan.
- Mereka tidak menulis dengan tinta, mereka menulis dengan luka.
- Tidak berbicara dengan retorika, tapi dengan keheningan yang mengguncang hati.
Namun setiap kata suci yang lahir, selalu berisiko kehilangan makna.
ketika diterjemahkan oleh lidah yang haus pengaruh.
Karena begitu pesan turun dari sunyi,manusia tergoda untuk menjadikannya struktur, doktrin, sistem, seolah makna hanya bisa hidup dalam pagar.
Hermann Hesse pernah berkata:
- “Setiap ajaran, jika terlalu lama digenggam, menjadi kebohongan.”
Dan di situlah paradoksnya:
apa yang semula datang untuk membebaskan, akhirnya membentuk rantai dari keyakinan itu sendiri.
- Mereka yang dulu menyampaikan pesan dari langit melakukannya bukan karena ingin diagungkan tetapi karena mendengar sesuatu yang tak mungkin mereka diamkan.
- Mereka terbakar dari dalam, seperti lilin yang tak punya pilihan selain menyala.
Simone de Beauvoir pernah menulis:
- “Setiap manusia yang sungguh mendengar suara hatinya, akan berhadapan dengan tanggung jawab yang tak bisa ditolak.”
Dan barangkali itulah yang terjadi:
- para pembawa risalah itu tidak ingin menjadi pemimpin, mereka hanya tak bisa menolak panggilan yang tak terlihat.
Namun setelah mereka tiada, suara yang dahulu lembut itu mulai diterjemahkan oleh tangan-tangan yang ingin menetapkan bentuk.
Lalu muncullah garis keturunan, simbol kesucian, dan hierarki keagungan agar yang fana tampak abadi, agar yang hilang tetap terasa hadir.
Walter Benjamin menyebut sejarah sebagai “tumpukan reruntuhan yang disorot cahaya masa depan.”
Maka ajaran yang dulu hidup sebagai napas, perlahan menjadi monumen yang disembah.
- Yang dulu mengalir, kini mengeras.
- Yang dulu menjadi suara, kini menjadi sistem.
Dan manusia, seperti biasa, lebih nyaman menyembah batu daripada mendengar keheningan.
Karen Armstrong, dalam The Battle for God, menulis:
- “Ketika simbol kehilangan kedalaman spiritualnya, ia berubah menjadi ideologi.”
Maka yang terjadi bukan kematian iman, melainkan kehilangan kedalaman — kehilangan senyap.
Namun di sela sejarah, masih ada jiwa-jiwa yang mendengar gema yang sama:
- suara lembut yang dulu datang pada mereka yang pertama. Suara itu tidak memerintah, tidak mengancam.
Ia hanya berkata,
- “Lihatlah ke dalam, sebelum kau menatap ke langit.”
Dan di situlah pertemuan sejati antara pesan dan manusia:
- bukan di altar, bukan di kitab, bukan di mimbar, melainkan di hati yang masih berani mendengar.
Sebab seperti yang ditulis oleh Rabindranath Tagore:
- “Tuhan menunggu di dalam diri manusia, dan manusia mencari-Nya di langit.”
Kini, di zaman di mana cahaya bisa diproduksi dari layar, pesan langit mungkin sudah kehilangan bentuk.
![]() |
The Divine Whisper Gambar : gorbysaputra.com |
- Namun bukan berarti kehilangan arah. Karena suara suci tidak butuh pengeras suara, ia hanya butuh ruang di dalam kesadaran.
Dan siapa tahu, mungkin “langit” itu sendiri tidak pernah jauh ia hanya menunggu manusia berhenti berbicara sebentar, agar bisa kembali mendengar.
📚 Sumber Kutipan
- Rainer Maria Rilke – Letters to a Young Poet
- Hermann Hesse – Siddhartha
- Simone de Beauvoir – The Ethics of Ambiguity
- Walter Benjamin – Theses on the Philosophy of History
- Karen Armstrong – The Battle for God
- Rabindranath Tagore – Gitanjali
Posting Komentar untuk "🌑 Suara yang Turun dari Sunyi: Tentang Para Pembawa Risalah dan Cara Mereka Menyampaikan “Yang dari Langit”"