Tentang Mereka yang Tak Lagi Percaya pada Cahaya
![]() |
Tentang Mereka yang tak lagi percaya pada cahaya Gambar : gorbysaputra.com |
Tentang kehilangan iman pada cahaya di tengah dunia yang penuh sorotan.
Di antara gemuruh kota dan sorak sorai layar, aku berjalan.
Cahaya dari ponsel menampar wajah-wajah yang tak lagi menengadah ke langit. Mereka menatap terang buatan dan menyebutnya pencerahan.
Tapi di balik retina yang lelah, aku melihat lubang—gelap yang tak lagi takut pada terang.
Di tengah kerumunan itu, aku mendengar Nietzsche tertawa kecil.
- “Dunia ini,” katanya dari dalam pikiranku, “telah membunuh Tuhan dengan tangan yang gemetar.” (Friedrich Nietzsche, The Gay Science)
Ia menyulut rokok imajiner, asapnya membentuk bayangan salib terbalik di udara.Namun tak ada yang peduli; semua sibuk memotret bayangannya sendiri.
Rumi menoleh pelan, dari antara wangi dupa yang tak nyata. Ia berbisik:
- “Jangan cari cahaya di luar dirimu, karena yang di luar hanyalah pantulan.” (Jalaluddin Rumi, Masnavi-i Ma’navi)
Aku ingin menjawabnya, tapi suaraku tenggelam oleh suara notifikasi dan iklan. Kerumunan menelan kata-kata seperti laut menelan doa.
Simone Weil berdiri di pinggir trotoar, tubuhnya kurus, matanya seperti kaca yang bening.
“Cahaya sejati,” katanya, “hanya datang pada mereka yang bersedia menanggung keheningan.”(Simone Weil, Gravity and Grace,)
Namun di dunia kini, keheningan dianggap penyakit;
orang-orang takut kehilangan sinyal lebih dari kehilangan makna.
- Seorang anak muda dengan earphone menatap ke layar, mendengarkan “motivasi spiritual” yang disponsori oleh iklan skincare.
Di belakangnya, Walter Benjamin menulis catatan kecil di buku yang tak pernah selesai.
- “Manusia modern,” ujarnya, “telah mengganti pengalaman dengan informasi.” (Walter Benjamin, The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction)
Aku melihat kata-katanya berubah jadi pop-up di layar neon:
“Subscribe for more wisdom.”
Aku tersenyum getir.
Di antara ribuan lampu dan algoritma, cahaya telah kehilangan arah. Ia kini dijual dalam format 4K.
Di stasiun yang ramai, seorang perempuan tua menatap kosong.
- “Dulu orang berdoa untuk bertemu Tuhan,” katanya lirih, “sekarang mereka berdoa agar sinyalnya stabil.”
Aku tak tahu apakah ia berbicara padaku atau pada langit yang berdebu.
Lalu Dostoevsky duduk di sebelahnya, menatap manusia yang tergesa-gesa.
“Tanpa Tuhan,” katanya pelan,“segala sesuatu menjadi diperbolehkan.”(Fyodor Dostoevsky, The Brothers Karamazov,)
Namun dalam dunia kini, bahkan dosa pun telah kehilangan arah— ia tak lagi mengguncang nurani, hanya trending sesaat.
Seorang sosiolog modern datang—bayangan Hannah Arendt. Ia menatap massa yang menari di bawah cahaya layar.
“Kejahatan terbesar,” katanya, “adalah banalitas: saat manusia berhenti berpikir, berhenti merasa.” (Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem,)
Aku ingin menanyakan, apakah banalitas kini bernama konten viral?
Namun Arendt sudah hilang, digantikan influencer yang berbicara tentang kesadaran spiritual, di sela endorsement dan tautan donasi.
Di tengah kerumunan itu, Derrida berbisik dalam tawa lembutnya:
- “Setiap makna akan hancur oleh tanda yang menumpuk.”
(Jacques Derrida, Of Grammatology,)
Dan aku sadar, mungkin inilah zaman di mana kata cahaya sendiri telah kehilangan arti. Ia dipakai untuk menjual, untuk menipu, untuk memoles gelap yang tak ingin diakui.
Malam turun perlahan.
Aku berjalan menyusuri jalan yang dipenuhi layar, di mana wajah manusia menyala lebih terang dari bintang.
Di antara kerumunan, aku melihat sosok Rumi, Nietzsche, dan Arendt berjalan berdampingan.
Mereka tidak berbicara satu sama lain;
hanya menatap manusia yang menatap dirinya sendiri.
Dari kejauhan, seorang anak kecil memegang lilin kecil— api kecil yang bergetar, tapi nyata.
Aku mendekatinya dan bertanya, “Mengapa kau menyalakan itu di tengah lampu kota?” Ia menjawab tanpa menoleh, “Karena semua cahaya di sini tidak menghangatkan.”
Mungkin di situlah makna terakhir dari risalah:
bukan untuk membuat dunia terang, tetapi untuk menjaga satu nyala kecil agar tak padam di tengah gemerlap palsu.
Dan mungkin, mereka yang tak lagi percaya pada cahaya sebenarnya hanya tak lagi menemukan alasan untuk mempercayai manusia yang mengaku membawanya.
Catatan Referensi:
- Nietzsche, Friedrich. The Gay Science.
- Rumi, Jalaluddin. Masnavi-i Ma’navi.
- Weil, Simone. Gravity and Grace .
- Benjamin, Walter. The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction.
- Dostoevsky, Fyodor. The Brothers Karamazov.
- Arendt, Hannah. Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil.
- Derrida, Jacques. Of Grammatology.
Posting Komentar untuk "Tentang Mereka yang Tak Lagi Percaya pada Cahaya"