Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KORUPSI, KEKUASAAN LOKAL, DAN REPRODUKSI KEJATUHAN POLITIK

 

Kekuasaan Lokal, Korupsi, dan Reproduksi Kejatuhan Gambar : gorbysaputra.com
Kekuasaan Lokal, Korupsi, dan Reproduksi Kejatuhan
Gambar : gorbysaputra.com


Mengapa Kejatuhan Terlihat Selalu Sama?

Setiap kali seorang kepala daerah, pejabat, jaksa, atau hakim daerah tertangkap, publik biasanya bereaksi dengan dua kalimat yang hampir selalu sama:

“Sayang, padahal kelihatannya baik.”
atau
“Sudah biasa, memang begitu.”

Dua kalimat ini menunjukkan sesuatu yang menarik:

  • korupsi tidak lagi mengejutkan, tetapi juga tidak sepenuhnya dimengerti.
  • Ia diterima sebagai peristiwa, bukan dibaca sebagai pola.
Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi individu, tetapi mencoba membaca mengapa kejatuhan politik terus direproduksi, khususnya di tingkat lokal.

Kekuasaan Lokal: Ketika Jabatan Terlalu Dekat dengan Kehidupan Sehari-hari

Kekuasaan di daerah memiliki ciri khas yang sering luput diperhatikan.

Ia tidak anonim.

Bupati, wali kota, kepala dinas, jaksa, atau hakim daerah:

  • tinggal di kota yang sama,
  • bertemu orang yang sama,
  • hadir di acara keluarga yang sama,
dan sering kali punya sejarah relasi yang panjang dengan lingkungannya.

Di sinilah perbedaan mendasarnya.

Kekuasaan lokal bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga hubungan.

Dalam kondisi seperti ini, keputusan publik sering kali bercampur dengan:

  • rasa sungkan,
  • utang sosial,
  • balas jasa,
  • dan keinginan menjaga harmoni.

Masalahnya bukan selalu niat jahat,

tetapi kaburnya batas antara urusan publik dan relasi personal.

Dari Kesalahan Besar ke Kebiasaan Kecil

  • Korupsi jarang dimulai dari tindakan besar.

Ia hampir selalu berawal dari hal-hal kecil yang tampak masuk akal:

“Ini hanya mempercepat proses.”

“Semua orang juga melakukan.”

“Daripada ribut, lebih baik diberi jalan.”

Ketika hal-hal kecil ini dilakukan berulang, ia berubah menjadi kebiasaan.

  • Dan ketika kebiasaan dibiarkan, ia kehilangan rasa bersalah.
Dalam psikologi kekuasaan, kondisi ini dikenal sebagai penurunan sensitivitas moral—bukan karena seseorang tidak tahu mana benar dan salah, tetapi karena otaknya sudah terbiasa hidup dalam rasa aman.
Kejatuhan biasanya terjadi bukan di awal,
melainkan ketika seseorang sudah terlalu lama merasa tak tersentuh.

Lingkaran Sosial yang Tidak Pernah Netral

Pejabat daerah jarang berdiri sendirian.

Di belakang satu jabatan, ada banyak pihak yang merasa ikut berperan:

  • keluarga,
  • tim sukses,
  • kerabat,
  • tokoh lokal,
  • organisasi lama.
Tekanan tidak selalu datang dalam bentuk ancaman.
Sering kali ia datang sebagai permintaan halus.

Menolak bisa berarti:

  • dianggap lupa diri,
  • dicap tidak tahu balas budi,
atau dipersepsikan tidak peduli pada lingkungan sendiri.

  • Dalam kondisi seperti ini, integritas bukan hanya soal moral pribadi,
tetapi soal ketahanan menghadapi tekanan sosial.

Budaya Memberi, Bahasa yang Melunakkan

Dalam kehidupan sehari-hari, memberi dan menerima adalah hal yang wajar.

  • Masalah muncul ketika praktik itu masuk ke ruang kekuasaan.
Menariknya, bahasa jarang menyebutnya sebagai “suap” atau “korupsi”.

Yang digunakan justru istilah yang terdengar ringan:

  • uang rokok,
  • uang terima kasih,
  • uang komunikasi.
Bahasa yang lunak membuat pelanggaran terasa tidak terlalu serius.

Di sinilah budaya berperan besar:

bukan membenarkan, tetapi membuat pelanggaran terasa normal.
  • Politik yang Mahal dan Jabatan yang Menjadi Beban
Kontestasi politik di daerah membutuhkan biaya besar.
Mulai dari kampanye, logistik, hingga menjaga dukungan setelah terpilih.
Ketika biaya ini tidak sebanding dengan pendapatan resmi jabatan,

jabatan perlahan berubah makna:

dari amanah publik menjadi posisi yang harus “menutup ongkos”.
  • Dalam situasi seperti ini, korupsi sering tidak dipahami sebagai kejahatan,

melainkan sebagai konsekuensi yang “terpaksa”.

  • Ini bukan pembenaran, tetapi gambaran realitas yang terjadi.

Hukum yang Hidup di Ruang yang Terlalu Sempit

Penegakan hukum di daerah menghadapi tantangan unik.
Aparat hukum hidup di lingkungan yang sama dengan mereka yang diawasi.

Mereka:

  • satu kota,
  • satu komunitas,
  • kadang satu lingkar pergaulan.
Keadilan membutuhkan jarak.

Namun jarak sulit tumbuh di ruang sosial yang terlalu akrab.

Di titik inilah intervensi eksternal seperti OTT muncul—bukan karena sistem lokal bekerja baik, tetapi karena ia terlalu tertutup oleh kedekatan.

Pendidikan, Media, dan Cara Kita Memahami Kekuasaan

Pendidikan banyak melatih kecakapan teknis,
tetapi jarang menyiapkan seseorang menghadapi godaan kekuasaan.
Media, di sisi lain, sering fokus pada momen penangkapan.
Kejatuhan menjadi tontonan,
sementara proses panjang sebelum jatuh jarang dibahas.

Akibatnya, publik mengenal korupsi sebagai drama,
bukan sebagai proses sosial yang bisa dipelajari dan dicegah.

Mengapa Pola Ini Terus Berulang?

Selama kekuasaan:

  • terlalu dekat dengan kepentingan,
  • terlalu akrab dengan relasi personal,
  • terlalu mahal secara politik,
  • dan terlalu minim refleksi etis,
maka kejatuhan akan terus direproduksi.
Bukan karena manusia selalu buruk,
tetapi karena sistem sering kali tidak memberi ruang untuk tetap bersih tanpa harus sendirian.

Sumber yang diambil dan telah saya sunting

  • Susan Rose-Ackerman – Corruption and Government
  • Robert Klitgaard – Controlling Corruption
  • OECD – Integrity and Corruption in Subnational Governments
  • Transparency International – Corruption Perceptions Index & Regional Reports
  • Daniel Kahneman – Thinking, Fast and Slow

Posting Komentar untuk "KORUPSI, KEKUASAAN LOKAL, DAN REPRODUKSI KEJATUHAN POLITIK"